Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Festival Melayu XIII: Menjaga Marwah di Era Simulasi dan Hiperrealitas
22 Oktober 2024 19:16 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Syamsul Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Syamsul Kurniawan (Anggota Pengurus di Departemen Pendidikan dan Pelatihan, Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat)
Di penghujung Oktober 2024, tepatnya dari tanggal 19 hingga 24, masyarakat Melayu Kalimantan Barat merayakan Festival Melayu XIII di Rumah Melayu. Ini bukan hanya serangkaian acara tradisional yang dipenuhi dengan pawai, lomba, dan seni budaya. Di balik semua kemeriahan itu, ada misi yang jauh lebih besar: menjaga marwah Melayu di tengah derasnya arus globalisasi dan simulasi yang kian menggerus identitas lokal. Festival ini mengusung semangat untuk mempertahankan jati diri di era yang kerap kali melupakan akar budaya dan menggantinya dengan citra-citra yang dangkal.
ADVERTISEMENT
Festival Melayu XIII ini harus dilihat sebagai upaya serius untuk mempertahankan habitus Melayu. Saya meminjam konsep habitus dari Pierre Bourdieu, yang menjelaskan bahwa identitas kita dibentuk oleh pola perilaku yang kita ulang dalam kehidupan sehari-hari. Setiap lomba, setiap pertunjukan dalam festival ini bukan hanya hiburan, tetapi cara untuk memperkuat hubungan kita dengan akar budaya yang telah tertanam selama berabad-abad. Di sinilah kita melihat bagaimana festival ini bukan sekadar perayaan estetika, tetapi sebuah praktik hidup yang memperkuat identitas kolektif Melayu.
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil. Di era postmodern ini, kita hidup di dunia yang dipenuhi oleh simulacra, istilah yang digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menggambarkan representasi yang menggantikan realitas. Dunia yang kita hadapi saat ini sering kali terjebak dalam citra-citra yang terlihat nyata, tetapi sebenarnya kosong dari makna. Festival Melayu XIII adalah bentuk perlawanan terhadap simulasi ini. Ia hadir untuk membawa kita kembali merasakan budaya bukan sebagai tontonan, tetapi sebagai pengalaman hidup yang nyata dan penuh makna.
ADVERTISEMENT
Festival ini juga membuka ruang bagi dialog, ruang di mana tradisi dipertanyakan, dibahas, dan dipertahankan. Saya meminjam gagasan Jurgen Habermas tentang “public sphere” untuk memahami festival ini sebagai ruang publik di mana masyarakat Melayu dapat berinteraksi secara terbuka, berbicara tentang masa lalu mereka, serta merumuskan masa depan budaya mereka. Seminar Internasional Budaya Melayu, diskusi tentang busana pengantin Melayu, dan workshop Pantun serta Tari Jepin menjadi arena bagi masyarakat untuk mempertimbangkan bagaimana tradisi ini tetap relevan di era modern.
Namun, pertanyaan yang lebih mendesak adalah: Bagaimana kita bisa menjaga agar festival ini tidak tergelincir menjadi sekadar ajang komoditas pariwisata? Baudrillard telah memperingatkan kita tentang bahaya hiperrealitas, di mana yang nyata digantikan oleh citra-citra kosong yang dijajakan demi keuntungan ekonomi. Di sinilah letak pentingnya Festival Melayu XIII sebagai ruang untuk melawan banalitas simulasi tersebut. Tradisi yang dirayakan di sini bukan sekadar kemasan untuk dijual, tetapi harus dijaga sebagai sumber makna yang otentik.
ADVERTISEMENT
Dalam festival ini, habitus Melayu dipertahankan dan dipraktikkan melalui berbagai kegiatan seperti Lomba Uri Gasing, Lomba Sampan Bidar, hingga Lomba Rancang Motif Melayu. Kegiatan-kegiatan ini bukan hanya mencerminkan estetika budaya, tetapi juga menunjukkan bagaimana budaya tersebut hidup dalam tubuh dan pikiran masyarakatnya. Setiap gerakan gasing yang berputar, setiap bidar yang melaju di Sungai Kapuas, adalah cara untuk memperkuat hubungan kita dengan akar tradisi yang selama ini membentuk identitas Melayu.
Namun, menjaga marwah di era simulasi bukanlah tugas yang mudah. Kita hidup di zaman digital, di mana generasi muda lebih sering berinteraksi dengan budaya melalui layar ponsel, mengonsumsi budaya dalam bentuk citra-citra visual yang sering kali kehilangan esensinya. Festival Melayu XIII menjadi penting sebagai ruang bagi mereka untuk kembali terhubung dengan budaya secara langsung, bukan sekadar melalui representasi media yang kerap kali dangkal. Di sinilah kita melihat bagaimana Festival Melayu XIII menjadi lebih dari sekadar ajang seremonial—ia adalah perlawanan terhadap simulacra yang mendominasi kehidupan kita hari ini.
ADVERTISEMENT
Lomba Masak Asam Pedas, misalnya, bukan hanya soal siapa yang paling pandai meracik bumbu. Kompetisi ini adalah upaya untuk memperkenalkan kembali kuliner tradisional sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang otentik. Begitu pula dengan pementasan Tari Melayu dan Tari Kreasi, yang menjadi lebih dari sekadar pertunjukan estetis, tetapi juga sarana untuk menjaga agar interaksi sosial dan identitas lokal tetap terjaga di tengah modernitas yang semakin homogen.
Seiring dengan itu, Festival Melayu XIII juga menciptakan ruang untuk refleksi intelektual. Seminar-seminar dan diskusi yang diadakan di dalamnya membuka pintu bagi pertanyaan yang lebih mendalam tentang bagaimana tradisi Melayu dapat terus relevan di dunia yang berubah cepat. Apakah busana pengantin Melayu, misalnya, hanya akan dipajang sebagai simbol estetika masa lalu, ataukah ia dapat terus hidup dan berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman? Bagaimana kita menjaga agar tradisi ini tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diadaptasi?
ADVERTISEMENT
Pada titik inilah, gagasan Habermas tentang ruang publik terasa sangat relevan. Dalam festival ini, masyarakat Melayu tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi juga menjadi peserta aktif yang ikut berperan dalam menentukan masa depan budaya mereka. Setiap seminar, setiap diskusi, adalah kesempatan bagi masyarakat untuk berdebat, bertukar pandangan, dan mencari jalan agar tradisi Melayu tidak kehilangan arah di tengah arus perubahan global.
Namun, tantangan terbesar adalah menjaga agar semua ini tidak berhenti hanya pada festival. Seperti yang diingatkan oleh Albert Camus dalam metafor Sisyphus, perjuangan untuk mempertahankan tradisi sering kali terasa seperti usaha tanpa akhir. Setiap kali kita mendorong “batu” identitas budaya ke puncak, arus globalisasi dan digitalisasi datang kembali, menggulingkannya ke bawah. Namun, di dalam perjuangan inilah terdapat kebebasan, dan di setiap langkah kita mempertahankan tradisi, ada makna yang kita temukan.
ADVERTISEMENT
Festival ini, dengan segala kemeriahannya, bukan sekadar perayaan nostalgia. Ia adalah pernyataan bahwa budaya Melayu masih hidup, berdenyut dalam tubuh masyarakatnya, dan siap untuk terus berkembang menghadapi tantangan zaman. Setiap pawai budaya, setiap irama pantun, setiap tarian yang dipentaskan, adalah cara untuk menjaga agar nakhoda budaya Melayu tidak kehilangan arah di tengah lautan simulasi yang semakin dalam.
Pada akhirnya, ketika lampu festival padam dan panggung mulai kosong, esensi dari perayaan ini tidak boleh hilang. Marwah Melayu harus terus dibawa ke dalam kehidupan sehari-hari, menjadi bagian dari habitus yang diperbarui dan terus dijaga. Tanpa pengulangan praktik-praktik budaya ini dalam kehidupan nyata, tradisi yang dirayakan dalam festival ini hanya akan menjadi fosil yang indah namun mati—sesuatu yang hanya bisa kita lihat dari jauh, tanpa benar-benar kita rasakan maknanya.
ADVERTISEMENT
Tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga agar festival ini tidak berubah menjadi sekadar komoditas wisata. Kita harus terus mengingat bahwa setiap langkah dalam festival ini adalah upaya mempertahankan yang otentik di tengah arus simulasi yang semakin deras. Apakah kita hanya akan menyaksikan budaya Melayu sebagai tontonan yang eksotis untuk dijual, ataukah kita akan merasakannya sebagai bagian dari hidup yang sebenarnya?
Ketika Festival Melayu XIII usai, kita tidak bisa hanya berpuas diri bahwa tradisi telah dirayakan. Tantangan berikutnya adalah bagaimana menjaga agar semangat festival tetap hidup ketika festival berakhir. Habitus Melayu harus terus diperbarui dalam kehidupan sehari-hari. Setiap tarian, setiap pantun, setiap masakan tradisional yang kita buat harus menjadi bagian dari hidup, bukan sekadar tontonan dalam acara seremonial.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah kita mampu menjaga marwah Melayu di era simulasi dan hiperrealitas? Festival Melayu XIII memberi kita jawaban bahwa, meskipun sulit, kita masih memiliki kekuatan untuk menjaga agar tradisi kita tidak larut dalam citra-citra yang dangkal. Setiap pawai, setiap lomba, setiap diskusi di festival ini adalah bagian dari perjuangan panjang untuk mempertahankan yang otentik di tengah gelombang yang ingin menggantikannya.
Festival Melayu XIII adalah simbol dari perlawanan terhadap homogenitas globalisasi. Di tengah derasnya arus simulasi, festival ini adalah mercusuar yang menegaskan bahwa budaya Melayu masih hidup dan harus terus hidup. Identitas budaya ini bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi kompas yang akan terus memandu kita, selama kita tidak berhenti memperjuangkannya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, festival ini mengajarkan kita bahwa tradisi tidak boleh mati dalam citra. Ia harus terus dirasakan, dipraktikkan, dan diperbarui. Kita berada dalam perjalanan panjang untuk menjaga marwah Melayu, dan seperti Sisyphus, meskipun tantangan tampak tanpa akhir, di dalam perjuangan ini terdapat kebebasan, dan di setiap langkah kita menjaga tradisi, ada makna yang kita temukan. ***