Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Guru Agama di Era Digital: Menemukan Kembali Makna Pendidikan
25 November 2024 10:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Syamsul Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Syamsul Kurniawan
Dalam mitologi Yunani, Raja Midas terkenal karena tragedi yang lahir dari keinginan tak terpuaskannya. Ketika Dionysus, dewa anggur dan kegembiraan, menawarkan untuk mengabulkan satu permintaan, Midas tanpa ragu meminta kekuatan untuk mengubah segala yang disentuhnya menjadi emas. Awalnya, kekuatan itu tampak seperti berkah: pohon, batu, bahkan bunga-bunga liar di taman istana berubah menjadi emas yang cemerlang. Namun, kebahagiaan itu segera berubah menjadi kepedihan ketika ia menyadari bahwa makanan dan minuman pun berubah menjadi emas. Bahkan, anak perempuannya, yang ia sayangi, menjadi patung emas yang dingin saat disentuhnya.
ADVERTISEMENT
Raja Midas, dalam hasratnya yang membara untuk kekayaan, kehilangan sesuatu yang lebih berharga: hubungan dengan dunia nyata dan makna kebahagiaan itu sendiri. Tragedi Midas adalah peringatan abadi tentang bagaimana obsesi terhadap sesuatu yang bersifat materialistik atau dangkal dapat menjauhkan manusia dari esensi kehidupan.
Kisah ini memiliki resonansi yang mendalam dalam kehidupan modern, terutama dalam dunia pendidikan. Seperti Midas, sistem pendidikan kita sering kali terjebak dalam pencapaian yang dangkal: angka, skor, atau penguasaan teknis tanpa refleksi mendalam tentang tujuan akhirnya. Di era digital, obsesi ini diperburuk oleh teknologi yang menjanjikan efisiensi tetapi sering kali mengorbankan kedalaman.
Era Digital: Sentuhan Midas dalam Pendidikan
Dalam dunia pendidikan hari ini, teknologi memainkan peran yang mirip dengan kekuatan Midas. Platform pembelajaran daring, perangkat lunak canggih, dan algoritma berbasis kecerdasan buatan menjanjikan keajaiban: akses tanpa batas, efisiensi waktu, dan kemampuan teknis yang mumpuni. Tetapi, seperti sentuhan emas Midas, teknologi ini sering kali mengubah substansi pendidikan menjadi sesuatu yang dangkal—simulasi yang kehilangan esensi.
ADVERTISEMENT
Jean Baudrillard (1994), dalam teorinya tentang hiperrealitas, menyebut dunia di mana realitas digantikan oleh tanda dan simbol yang tak lagi merepresentasikan kenyataan. Dalam pendidikan, fenomena ini tampak dalam cara siswa sering kali hanya berinteraksi dengan citra-citra digital tanpa pemahaman mendalam. Mereka mungkin terlihat "belajar," tetapi sebenarnya hanya mengulang pola tanpa memahami nilai-nilai di balik apa yang mereka pelajari.
Guru agama, yang selama ini menjadi penjaga moral dan nilai, menghadapi tantangan berat di tengah situasi ini. Dalam tradisi pendidikan, guru agama adalah mereka yang membantu siswa menemukan makna hidup, hubungan dengan Tuhan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, bagaimana peran ini bisa dimainkan ketika dunia digital menawarkan begitu banyak gangguan, dan nilai-nilai spiritual sering kali terpinggirkan?
ADVERTISEMENT
Teknologi dan Kehampaan Nilai
Seperti Midas yang tak mampu memakan makanannya sendiri, siswa hari ini sering kali merasa kenyang oleh informasi tetapi lapar akan makna. Mereka terjebak dalam lautan data yang dangkal, tanpa ada refleksi tentang apa yang benar-benar penting. Pendidikan agama, yang seharusnya menjadi oasis di tengah keterasingan ini, justru sering kali kehilangan tempatnya dalam prioritas kurikulum yang lebih berorientasi pada keterampilan teknis.
Neil Postman, dalam The End of Education (1995), memperingatkan bahwa pendidikan yang kehilangan arah moral hanya akan menjadi alat produksi tenaga kerja. Guru agama harus mampu melampaui peran teknis ini dengan menawarkan perspektif yang lebih besar, yang mampu menjawab pertanyaan eksistensial siswa: Mengapa saya belajar? Apa tujuan hidup saya? Bagaimana saya bisa menjadi manusia yang lebih baik?
ADVERTISEMENT
Guru Agama: Penjaga Makna di Dunia Digital?
Guru agama memiliki peran unik yang tidak bisa digantikan oleh teknologi. Mereka adalah jembatan antara dunia digital yang serba instan dan nilai-nilai spiritual yang membutuhkan refleksi mendalam. Tetapi, untuk memainkan peran ini secara efektif, guru agama harus bertransformasi. Mereka harus memahami teknologi, bukan untuk menyainginya, tetapi untuk memanfaatkannya sebagai alat yang mendukung pembelajaran yang bermakna.
Namun, transformasi ini tidak mudah. Banyak guru agama masih terjebak dalam pola pikir tradisional yang melihat teknologi sebagai ancaman, bukan peluang. Di sisi lain, mereka yang mencoba mengadopsi teknologi tanpa pemahaman mendalam sering kali hanya memindahkan metode konvensional ke ranah digital, tanpa mengubah esensi pembelajaran itu sendiri.
James A. Banks, dalam gagasannya tentang pendidikan multikultural, mengingatkan bahwa pendidikan harus membantu siswa memahami bahwa tidak ada satu kebenaran tunggal. Guru agama dapat menggunakan pendekatan ini untuk membantu siswa melihat bahwa nilai-nilai agama tidak bertentangan dengan keberagaman, tetapi justru memperkaya cara kita memahami dunia.
ADVERTISEMENT
Melalui pendidikan multikultural, siswa diajak untuk memahami bahwa nilai-nilai seperti keadilan, kesabaran, dan kasih sayang relevan di semua konteks budaya. Pendekatan ini dapat membantu mengurangi keterasingan siswa dari nilai-nilai spiritual di tengah dunia digital yang sering kali menonjolkan individualisme dan materialisme.
Hari Guru: Refleksi untuk Masa Depan
Hari Guru Nasional, lebih dari sekadar seremonial, harus menjadi momen refleksi tentang arah pendidikan kita. Guru agama, khususnya, harus melihat peran mereka sebagai lebih dari sekadar pengajar materi. Mereka adalah pembimbing moral yang membantu siswa memahami hubungan mereka dengan dunia, sesama, dan Tuhan.
Namun, untuk memainkan peran ini, guru agama membutuhkan dukungan yang nyata. Pelatihan teknologi, penyusunan kurikulum yang relevan, dan pengakuan atas pentingnya pendidikan agama adalah langkah-langkah yang harus diambil. Tanpa ini, guru agama akan terus berjuang di tengah arus yang semakin deras, tanpa alat yang memadai untuk membawa siswa menuju makna yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, pendidikan adalah tentang membentuk manusia yang utuh. Teknologi hanyalah alat; ia tidak bisa menggantikan nilai-nilai yang hanya bisa ditanamkan melalui hubungan manusia yang mendalam. Guru agama memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ini. Dengan pendekatan yang reflektif, kritis, dan humanistik, mereka dapat membantu siswa menemukan kembali makna belajar di tengah dunia yang sering kali kehilangan arah.
Kisah Raja Midas mengajarkan kita bahwa obsesi terhadap materialisme tanpa refleksi mendalam hanya akan membawa kehancuran. Dalam dunia pendidikan, guru agama adalah pengingat bahwa ada sesuatu yang lebih besar daripada angka, skor, atau keterampilan teknis. Ada makna yang harus ditemukan, hubungan yang harus dijaga, dan nilai-nilai yang harus ditanamkan.
Hari Guru Nasional adalah pengingat bahwa pendidikan, pada akhirnya, bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi tentang siapa yang kita bentuk. Guru agama, sebagai penjaga moral di era digital, memegang kunci untuk membawa pendidikan kembali ke akarnya: membentuk manusia yang sadar, bermoral, dan memiliki kedalaman berpikir. Dengan keberanian, kebijaksanaan, dan dedikasi mereka, guru agama dapat menjadi cahaya yang membimbing siswa keluar dari keterasingan, menuju dunia yang lebih bermakna dan penuh kesadaran.***
ADVERTISEMENT