Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Homo Homini Lupus
31 Oktober 2024 5:55 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Syamsul Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
SECANGKIR kopi pahit di tangan saya terasa semakin getir ketika saya menyeruputnya, seolah-olah ada yang kurang—seperti gula yang terlupakan. Dalam diam, saya merenungi rasa itu sambil menatap ke luar jendela. Langit di luar gelap, dan suara hujan yang tadi deras kini mulai reda. Kopi ini, yang biasanya memberi kehangatan, justru mengingatkan saya akan ketidaksempurnaan hidup, terutama perjalanan umat manusia yang penuh kontradiksi.
ADVERTISEMENT
Seperti rasa pahit ini, kisah umat manusia juga tergores oleh kegelapan yang kerap menodai kemajuan peradaban. Dalam buku Sapiens karya Yuval Noah Harari, yang baru saja saya tamatkan, saya diingatkan bahwa sejarah manusia adalah tentang bertahan hidup—melawan segala ancaman yang ada, baik dari alam, hewan, maupun sesama manusia. Tetapi, seperti yang diungkapkan oleh filsuf Thomas Hobbes, manusia sering kali bukan hanya korban dari kekuatan eksternal. Dalam naluri dasarnya, manusia bisa menjadi ancaman terbesar bagi sesamanya. Homo homini lupus—manusia adalah serigala bagi manusia lain.
Kenyataan pahit ini terpantul dalam setiap lembar sejarah yang kita kenal, dari peradaban kuno hingga masa kini. Di balik setiap monumen yang megah, terdapat bayangan kelam dari konflik dan kekerasan. Dari perang, kelaparan, hingga perselisihan politik, kita melihat manusia saling memangsa untuk bertahan hidup. Seperti kopi ini, yang seharusnya manis jika ada gula, peradaban kita seharusnya indah—tetapi kenyataannya, sering kali pahit oleh pergolakan konflik.
ADVERTISEMENT
Konflik Israel dan Palestina: Siklus Kekerasan Tak Berkesudahan
Salah satu contoh paling mencolok dari kegelapan ini adalah konflik Israel dan Palestina, yang telah berlangsung selama lebih dari seratus tahun. Konflik ini bukan hanya soal perebutan wilayah, tetapi tentang identitas, sejarah, dan rasa kehilangan. Tanah yang dijanjikan bagi satu pihak adalah tanah air yang direbut bagi yang lain. Seperti secangkir kopi yang terus diaduk tanpa pernah menemukan keseimbangan rasa, konflik ini berputar-putar tanpa solusi yang nyata.
Israel dan Palestina adalah cerminan bagaimana manusia dapat terjebak dalam narasi besar yang tidak mudah diubah. Generasi demi generasi lahir di tengah konflik ini, mewarisi rasa sakit dan ketakutan yang mendalam. Pertanyaan yang selalu muncul: apakah kita ditakdirkan untuk terus hidup dalam siklus kekerasan ini? Atau, apakah ada cara untuk melampaui naluri purba yang memaksa kita saling menghancurkan demi bertahan hidup?
ADVERTISEMENT
Di era digital, konflik ini semakin menjadi sorotan, tidak hanya di medan perang, tetapi juga di dunia maya. Algoritma media sosial tampaknya menari-nari di atas tragedi ini, memperkuat narasi-narasi kebencian dan kemarahan yang sering kali menyebar lebih cepat daripada pesan damai. Manusia tertarik pada drama dan konflik, dan algoritma ini tahu bagaimana memanipulasi minat kita untuk terus memancing keterlibatan. Pertanyaannya, apakah media sosial ini memperburuk konflik atau hanya mencerminkan naluri dasar kita sebagai manusia yang senang menyaksikan perseteruan?
Suriah: Perang dan Manipulasi Kekuatan Besar
Suriah, negara yang hancur lebur oleh perang sejak 2011, adalah contoh nyata dari bagaimana naluri manusia untuk bertahan hidup sering kali berubah menjadi kehancuran total. Perang saudara ini tidak hanya melibatkan rakyat Suriah yang berjuang melawan rezim yang menindas, tetapi juga diintervensi oleh berbagai kekuatan besar yang mengejar kepentingan mereka sendiri. Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara lain memanfaatkan krisis ini sebagai ajang unjuk kekuatan geopolitik. Hasilnya, sebuah bangsa yang dulunya kuat kini terpecah belah dan hancur.
ADVERTISEMENT
Manusia memang tak pernah terlepas dari naluri untuk mengendalikan. Seperti kopi yang terasa pahit tanpa gula, setiap konflik menyisakan kepahitan yang mendalam di hati para korban. Setiap keputusan politik atau militer yang dibuat di level global selalu berdampak pada kehidupan manusia biasa yang tak berdaya. Di Suriah, rumah-rumah hancur, keluarga-keluarga tercerai-berai, dan masa depan negara itu berada di ambang kehancuran total.
Freud mungkin akan melihat perang ini sebagai manifestasi dari “id” manusia, dorongan dasar untuk kekuasaan dan kendali. Ketika terancam, manusia tidak segan untuk bertindak agresif demi mempertahankan wilayah atau identitasnya. Sementara itu, “ego”—akal sehat—dan “superego”—moralitas—sering kali terabaikan ketika ambisi politik dan ketakutan eksistensial menguasai.
Yaman: Krisis Kemanusiaan di Tengah Perang
Tidak jauh berbeda dengan Suriah, Yaman menjadi simbol betapa manusia mampu menciptakan bencana kemanusiaan melalui perang dan perebutan kekuasaan. Konflik di Yaman dimulai karena ketegangan politik dan etnis, tetapi dampaknya jauh melampaui batas-batas politik. Kelaparan, wabah penyakit, dan blokade yang dilakukan oleh koalisi yang dipimpin Saudi menciptakan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat Yaman.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, homo homini lupus mengambil bentuk yang lebih halus tetapi tak kalah kejam. Manusia menggunakan kontrol atas sumber daya dasar—seperti makanan dan obat-obatan—untuk memanipulasi dan menundukkan sesama. Seperti secangkir kopi yang menjadi pahit karena kurangnya gula, kehidupan di Yaman terasa getir karena kekurangan yang diakibatkan bukan oleh alam, tetapi oleh kebijakan dan keputusan manusia. Setiap blokade dan serangan udara menjadi bukti nyata bagaimana manusia bisa memangsa sesamanya demi kepentingan politik dan kekuasaan.
Perang di Yaman menunjukkan bahwa manusia tidak hanya berperang dengan senjata, tetapi juga dengan kelaparan dan penderitaan. Kelangsungan hidup, dalam konteks ini, bukan lagi tentang siapa yang memiliki senjata paling kuat, tetapi siapa yang bisa mengendalikan akses terhadap sumber daya vital. Pertanyaannya, sampai kapan kita terus menerus memelihara rasa takut dan ambisi ini, sementara jutaan orang harus menanggung akibatnya?
ADVERTISEMENT
Rusia dan Ukraina: Geopolitik dan Pertarungan Identitas
Aneksasi Krimea oleh Rusia pada tahun 2014 memicu konflik geopolitik yang terus membara hingga saat ini. Bukan hanya soal tanah atau batas wilayah, konflik antara Rusia dan Ukraina juga melibatkan identitas nasional dan ambisi global yang lebih luas. Rusia, merasa terancam oleh pengaruh Barat di perbatasannya, mengambil tindakan yang memperdalam ketegangan internasional, sementara Ukraina, yang ingin mempertahankan kedaulatannya, berusaha melawan dominasi kekuatan besar.
Di sini, kita melihat bahwa pertarungan geopolitik tidak sekadar tentang wilayah fisik, tetapi juga tentang pengakuan dan hak untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dipercayai oleh suatu bangsa. Bagi Rusia, kontrol atas Ukraina menjadi simbol kekuatan dan pengaruhnya di dunia. Bagi Ukraina, konflik ini adalah perjuangan untuk diakui sebagai negara yang berdaulat, yang tidak bisa diintervensi oleh negara lain.
ADVERTISEMENT
Kita bisa melihat bagaimana “homo homini lupus” bekerja dalam skala global. Negara-negara besar saling memangsa, berusaha mendominasi satu sama lain, sering kali dengan mengorbankan kehidupan jutaan orang. Di balik strategi-strategi geopolitik yang kompleks, ada manusia biasa yang kehilangan rumah, kehidupan, dan harapan. Seperti kopi yang kehilangan keseimbangan tanpa gula, kehidupan manusia menjadi tak seimbang ketika kekuasaan diperebutkan dengan cara-cara yang merusak.
Apakah Perdamaian Mungkin?
Di tengah semua konflik ini, pertanyaan yang terus muncul dalam pikiran saya adalah: apakah kita, sebagai spesies, bisa melampaui naluri purba kita untuk saling menghancurkan? Harari menunjukkan bahwa kita telah menciptakan peradaban besar, membangun narasi-narasi yang menyatukan jutaan orang di bawah bendera yang sama. Namun, narasi ini juga bisa memecah belah. Ketika kita melihat dunia hari ini, tampaknya narasi kebangsaan, agama, dan identitas lebih sering menjadi alasan perpecahan daripada persatuan.
ADVERTISEMENT
Secangkir kopi pahit yang saya pegang ini mengingatkan saya pada realitas yang kita hadapi. Kita telah mencapai begitu banyak hal sebagai spesies—teknologi, ilmu pengetahuan, seni—tetapi kita masih terjebak dalam konflik-konflik yang seharusnya bisa kita hindari. Apakah kita terikat pada nasib yang tidak bisa kita kendalikan, di mana naluri bertahan hidup kita selalu membawa kita pada kekerasan dan perpecahan?
Freud mungkin akan menjawab bahwa dorongan agresif ini adalah bagian tak terpisahkan dari jiwa manusia, sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya kita hilangkan. Namun, Harari lebih optimis, menunjukkan bahwa meskipun sejarah kita penuh dengan kekerasan, kita juga memiliki kemampuan luar biasa untuk menciptakan perubahan dan mengatasi naluri destruktif ini.
Di tengah dunia yang tampaknya terjebak dalam siklus kekerasan, Harari menunjukkan bahwa umat manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk menciptakan narasi baru yang bisa membawa perdamaian. Sejarah tidak hanya tentang perang dan konflik; di dalamnya juga terkandung kisah-kisah kerja sama, diplomasi, dan solidaritas manusia. Manusia tidak semata-mata digerakkan oleh naluri untuk bertahan hidup dengan cara memangsa sesama, tetapi juga oleh keinginan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
ADVERTISEMENT
Namun, untuk mencapai itu, kita harus mampu mengendalikan dorongan purba yang sering kali membawa kita pada konflik. Harari menunjukkan bahwa kunci dari perkembangan manusia adalah kemampuan kita untuk menciptakan mitos dan narasi besar yang menyatukan banyak orang dalam kelompok-kelompok besar. Narasi ini memungkinkan kita untuk bekerja sama melampaui batas-batas kecil, seperti keluarga atau suku, dan membentuk peradaban yang lebih kompleks. Tetapi, seperti kopi yang terasa pahit karena lupa menaruh gula, narasi-narasi ini juga bisa memicu konflik ketika digunakan untuk memecah belah.
Di balik setiap konflik yang terjadi di dunia, ada pertarungan identitas, rasa takut, dan kebutuhan untuk bertahan hidup. Di Israel dan Palestina, pertarungan ini bukan hanya tentang tanah, tetapi tentang hak untuk eksis di tempat yang sama. Di Suriah dan Yaman, perang bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang kelangsungan hidup jutaan orang yang terjebak di antara kekuatan besar yang saling bertarung. Di Ukraina, konflik bukan hanya soal geopolitik, tetapi juga tentang perjuangan untuk mempertahankan identitas dan kedaulatan.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaan besarnya tetap ada: apakah kita bisa melampaui siklus kekerasan ini? Apakah kita bisa belajar dari sejarah, atau apakah kita ditakdirkan untuk mengulanginya lagi dan lagi?
Freud, dengan teorinya tentang “id”, mungkin akan berkata bahwa kekerasan adalah bagian dari kodrat manusia. Kita memiliki dorongan-dorongan dasar yang, ketika berada di bawah tekanan, akan memaksa kita untuk bertindak agresif demi bertahan hidup. Tetapi “ego” dan “superego”—akal sehat dan moralitas kita—memberikan kita peluang untuk mengendalikan dorongan ini. Kita tahu bahwa perang dan konflik membawa penderitaan, dan kita memiliki kapasitas untuk mencari solusi yang lebih damai.
Dalam dunia yang semakin terhubung, kita memiliki peluang lebih besar untuk menyebarkan narasi-narasi damai. Media sosial, yang sering kali digunakan untuk menyebarkan kebencian dan memperburuk konflik, juga bisa menjadi alat untuk menyebarkan pesan-pesan positif. Kita bisa memilih untuk menggunakan teknologi ini bukan hanya untuk memperkuat pertarungan antar kelompok, tetapi juga untuk menjembatani perbedaan dan menemukan titik temu.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti kopi yang membutuhkan keseimbangan antara rasa pahit dan manis, dunia kita juga membutuhkan keseimbangan antara kekuasaan dan moralitas, antara ambisi dan solidaritas. Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa naluri untuk bertahan hidup sering kali membawa kita pada konflik, tetapi kita juga harus menyadari bahwa kita memiliki kemampuan untuk melampaui naluri itu.
Epilog: Jalan Panjang Menuju Perdamaian
Saat kopi di cangkir saya mulai dingin, saya menyadari bahwa perjalanan umat manusia menuju perdamaian masih panjang. Sejarah menunjukkan bahwa manusia sering kali menjadi ancaman terbesar bagi dirinya sendiri, tetapi sejarah juga menunjukkan bahwa kita mampu berubah. Di tengah konflik yang tak kunjung usai, ada harapan bahwa kita bisa menemukan cara untuk melampaui siklus kekerasan ini.
ADVERTISEMENT
“Homo homini lupus” menggambarkan sisi gelap dari kodrat manusia, tetapi di balik itu, ada potensi besar untuk menciptakan perubahan positif. Kita tidak harus terus terjebak dalam perang dan konflik. Seperti secangkir kopi yang bisa diimbangi dengan rasa manis, kita juga bisa menyeimbangkan ambisi kita dengan kepedulian terhadap sesama.
Hujan mungkin sudah berhenti, tetapi di belahan bumi sana, perjuangan manusia untuk menemukan kedamaian mungkin masih berlanjut. Di balik setiap konflik, ada peluang untuk berdialog, untuk membangun kembali, dan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pertanyaannya adalah, apakah kita siap untuk mengubah narasi kita? Ataukah kita akan terus menjadi serigala bagi sesama, terjebak dalam kegelapan yang kita ciptakan sendiri?
Perjalanan panjang umat manusia adalah perjalanan menuju pemahaman diri. Di dalam setiap krisis, di tengah setiap konflik, ada peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih damai—jika kita bersedia untuk belajar dari sejarah dan mengendalikan naluri destruktif kita. Dan, seperti kopi yang seharusnya manis, peradaban kita seharusnya bisa lebih baik, lebih harmonis, jika kita mau menambahkannya dengan rasa saling menghormati dan pengertian yang tulus.***
ADVERTISEMENT