Konten dari Pengguna

Seksualitas Perempuan dalam Iklan Rokok: Ilusi Kebebasan dan Komodifikasi

Syamsul Kurniawan
Syamsul Kurniawan yang merupakan dosen IAIN Pontianak ini, merupakan lulusan tercepat dan terbaik Program Doktoral (S3) Studi Islam, Konsentrasi Kependidikan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2021.
17 Oktober 2024 20:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syamsul Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen Pribadi, 2024
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen Pribadi, 2024
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Syamsul Kurniawan (Dosen di IAIN Pontianak)
Sore itu, saya duduk menatap layar televisi, memperhatikan iklan yang muncul satu per satu. Salah satunya adalah iklan rokok—meski tak ada adegan orang yang merokok. Sorotan kamera jatuh pada seorang perempuan, bukan dengan rokok di tangannya, tapi dengan tatapan penuh percaya diri, busana elegan, dan gerakan tubuh yang menyiratkan kebebasan. Ia adalah representasi dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar produk tembakau. Ia adalah simbol kebebasan, pemberontakan, dan otonomi perempuan modern—setidaknya begitulah narasi yang dibentuk. Namun, di balik layar itu, saya bertanya: Apakah ini benar-benar kebebasan, ataukah hanya strategi pemasaran yang cerdas dari industri kapitalisme yang terus mengeksploitasi seksualitas perempuan?
ADVERTISEMENT
Iklan rokok tak pernah menunjukkan tindakan merokok karena aturan ketat, tetapi itu tidak menghentikan mereka untuk menjual gaya hidup. Gaya hidup itu, kini, semakin sering dibalut dengan citra perempuan. Rokok dipromosikan melalui visual perempuan yang tampak bebas dan mandiri. Ini mengingatkan saya pada bagaimana seksualitas selalu menjadi alat kekuasaan. Seksualitas tidak hanya menjadi bentuk ekspresi diri, tetapi juga dijadikan alat kontrol dalam berbagai konteks, termasuk dalam iklan. Dan dalam iklan rokok, perempuan tidak diberi ruang untuk benar-benar menunjukkan kebebasan sejati mereka—mereka menjadi sekadar elemen yang memperkuat ilusi kebebasan yang ingin dijual oleh iklan.
Tubuh perempuan dalam iklan rokok berperan sebagai komoditas yang dijual secara halus. Mereka tidak secara langsung menyodorkan rokok, tetapi menjadi pusat perhatian yang menyampaikan pesan bahwa merokok adalah bagian dari kehidupan perempuan yang glamor, kuat, dan independen. Kamera memutar setiap gerakan mereka, memperlihatkan keindahan yang dibalut dalam konsep modernitas dan pemberontakan terhadap norma. Namun, jika kita telaah lebih dalam, ini bukan tentang kebebasan perempuan. Ini tentang bagaimana seksualitas perempuan dimanfaatkan untuk menciptakan daya tarik emosional yang kuat pada produk yang dijual.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan citra perempuan dalam iklan rokok sering kali digunakan untuk menjual gagasan kebebasan. Namun, yang benar-benar terjadi adalah bentuk lain dari eksploitasi, di mana seksualitas perempuan dipakai sebagai alat untuk menarik konsumen. Kapitalisme, yang memanfaatkan narasi kebebasan, dengan cerdik menciptakan ilusi bahwa perempuan dalam iklan rokok adalah figur yang mandiri, sementara di balik itu, tubuh mereka hanya diperalat oleh pasar untuk keuntungan komersial. Kebebasan yang ditawarkan oleh rokok hanyalah kebebasan semu—tidak pernah benar-benar membebaskan perempuan, melainkan membuat mereka semakin terjebak dalam kerangka komodifikasi.
Tidak ada rokok di tangan perempuan-perempuan dalam iklan tersebut, namun kehadiran mereka menjadi kunci yang mengikat antara produk dan fantasi kebebasan. Seksualitas perempuan menjadi titik sentral dalam pemasaran ini, di mana mereka bukan lagi sekadar individu, melainkan simbol yang dimanipulasi oleh industri. Dalam iklan rokok, perempuan dihadirkan untuk merayu, bukan dengan kata-kata atau tindakan, tetapi dengan tubuh dan kehadiran mereka yang diatur sedemikian rupa untuk menstimulasi keinginan konsumen. Seksualitas mereka bukan lagi tentang otonomi, melainkan tentang memenuhi standar estetika dan gaya hidup yang telah ditentukan oleh pasar.
ADVERTISEMENT
Jika kita kembali pada paradoks di atas, kita akan melihat dengan jelas bahwa perempuan dalam iklan rokok dihadapkan pada dilema yang sama. Tubuh mereka, yang seharusnya menjadi ekspresi kebebasan dan otonomi personal, malah dijadikan komoditas. Ini adalah bentuk pengaturan yang licik, di mana perempuan diberikan tempat di panggung utama, tetapi hanya untuk melayani kepentingan kapitalisme. Tubuh mereka, yang dijual sebagai simbol pemberontakan dan kebebasan, sebenarnya tetap berada di bawah kontrol kekuatan ekonomi yang jauh lebih besar.
Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah benar kebebasan perempuan bisa diwujudkan melalui citra yang dipoles dalam iklan rokok? Atau ini hanyalah bentuk lain dari penindasan yang terselubung? Perempuan dalam iklan ini seolah-olah memiliki kendali atas hidup mereka, tetapi pada kenyataannya, mereka masih diatur oleh standar yang ditetapkan oleh industri yang menggunakan seksualitas mereka sebagai alat pemasaran. Kebebasan yang dijual dalam iklan-iklan ini bukanlah kebebasan yang hakiki, melainkan kebebasan yang dikendalikan oleh pasar dan kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Dalam iklan rokok, perempuan ditempatkan sebagai figur yang tampaknya kuat, tetapi kekuatan ini hanyalah ilusi. Ini adalah trik yang halus, di mana perempuan diberi ruang untuk tampil di depan, tetapi hanya sebagai objek yang disesuaikan dengan selera pasar. Seksualitas mereka dipamerkan bukan sebagai sesuatu yang otonom, tetapi sebagai sesuatu yang harus dikendalikan dan diatur oleh industri. Mereka tidak benar-benar bebas untuk mengekspresikan diri mereka, melainkan dipaksa masuk ke dalam narasi yang telah ditentukan oleh kapitalisme dan patriarki modern.
Peran seksualitas perempuan dalam iklan rokok juga mencerminkan bagaimana patriarki masih beroperasi dalam sistem yang tampaknya lebih progresif. Perempuan mungkin tampak lebih bebas dalam iklan-iklan ini dibandingkan dengan masa lalu, tetapi kebebasan itu tetap dibatasi oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh industri periklanan. Tubuh perempuan dipermainkan sebagai objek, dan seksualitas mereka dijadikan alat untuk menjual produk, sementara pesan tentang kebebasan yang disampaikan hanyalah ilusi yang diciptakan oleh kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Pesan-pesan tentang pemberdayaan perempuan dalam iklan rokok menjadi tidak lebih dari narasi palsu. Apa yang dipasarkan sebagai kebebasan sebenarnya adalah strategi eksploitasi yang cerdas, di mana tubuh perempuan dijadikan komoditas yang bisa dijual demi keuntungan. Ini menunjukkan bahwa seksualitas perempuan dalam iklan tidak benar-benar tentang mereka, melainkan tentang bagaimana kapitalisme menggunakan tubuh perempuan untuk mengekalkan kekuasaan dan keuntungan.
Akhirnya, apa yang tampak sebagai otonomi dan kekuatan dalam iklan rokok hanyalah refleksi dari cara patriarki modern dan kapitalisme bekerja secara bersamaan. Perempuan mungkin tampil lebih mandiri dalam iklan-iklan ini, tetapi pada kenyataannya, tubuh mereka tetap dikendalikan oleh norma-norma yang diciptakan oleh industri yang lebih besar. Kebebasan sejati bagi perempuan tidak akan bisa terwujud jika seksualitas mereka terus dijadikan komoditas yang dijual oleh kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Perempuan dalam iklan rokok tidak benar-benar menggambarkan kebebasan. Mereka adalah cerminan dari bagaimana sistem ekonomi yang patriarkal masih menggunakan tubuh mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang jauh dari pemberdayaan sejati. Jika kita ingin memahami makna kebebasan yang sejati bagi perempuan, kita harus membongkar ilusi yang dijual oleh iklan-iklan ini. Tubuh perempuan bukanlah alat untuk memperkaya industri, melainkan harus dihargai sebagai ekspresi kebebasan yang otonom, tanpa terjebak dalam eksploitasi yang halus.
Kesimpulannya, iklan rokok bukan hanya soal pemasaran produk tembakau, tetapi juga tentang bagaimana kapitalisme dan patriarki terus menggunakan seksualitas perempuan sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi. Tubuh perempuan dalam iklan rokok adalah komoditas, dan kebebasan yang dijual hanyalah ilusi yang menutupi eksploitasi yang sebenarnya. Jika kita ingin membebaskan perempuan dari cengkeraman kapitalisme patriarkal, kita harus mulai dengan memahami bagaimana tubuh dan seksualitas mereka terus dieksploitasi dalam narasi iklan yang dikendalikan oleh pasar.***
ADVERTISEMENT