Konten dari Pengguna

Siklus Distopia: Perang, Perdamaian, dan Manipulasi Global

Syamsul Kurniawan
Syamsul Kurniawan yang merupakan dosen IAIN Pontianak ini, merupakan lulusan tercepat dan terbaik Program Doktoral (S3) Studi Islam, Konsentrasi Kependidikan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2021.
18 November 2024 9:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syamsul Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi (Sumber: https://www.freepik.com/free-ai-image/toxic-e-waste-world-background_93564516.htm#fromView=keyword&page=1&position=7&uuid=f3f392f2-f7ee-4d68-bc34-742933c0574f)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (Sumber: https://www.freepik.com/free-ai-image/toxic-e-waste-world-background_93564516.htm#fromView=keyword&page=1&position=7&uuid=f3f392f2-f7ee-4d68-bc34-742933c0574f)
ADVERTISEMENT
Oleh: Syamsul Kurniawan (Dosen di IAIN Pontianak)
Kita hidup di dalam dunia yang dilingkupi oleh bayang-bayang distopia. Perang, konflik, dan ketidakadilan menyelimuti berbagai belahan bumi, sementara mimpi perdamaian terasa semakin menjauh. Jika kita mengamati situasi dunia saat ini, kita tidak hanya dihadapkan pada perang fisik, tetapi juga pada perang informasi dan perang ekonomi. Seolah-olah dunia telah memasuki siklus kebrutalan yang tiada akhir, di mana kekerasan bukan lagi hanya terjadi di medan tempur, tetapi merasuki semua aspek kehidupan kita. Seperti kutukan Sisyphus dalam mitologi Yunani, kita terperangkap dalam siklus tak berujung antara kekerasan dan perdamaian yang semu.
ADVERTISEMENT
“Homo homini lupus”, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ungkapan klasik ini tampak begitu relevan saat kita melihat dunia yang dipenuhi oleh perang. Di Gaza, Timur Tengah, dan banyak wilayah lainnya, manusia saling menghancurkan dengan dalih pertahanan diri atau ideologi. Yang lebih ironis, di balik tragedi kemanusiaan ini, terdapat peran dari dunia yang lebih besar, di mana kekuatan-kekuatan global dan standar ganda memainkan narasi tentang siapa yang benar dan salah. Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan hanyalah salah satu contoh di mana narasi global sering kali terpecah dan terdistorsi oleh kepentingan politik.
Jean Baudrillard, dalam karyanya Simulacra dan Simulasi (1994), menegaskan bahwa kita hidup dalam dunia yang dikelilingi oleh citra-citra yang tidak lagi berhubungan dengan realitas. Dunia perang saat ini bukan lagi tentang pertempuran fisik semata, tetapi tentang bagaimana perang diproyeksikan melalui layar televisi, media sosial, dan berita. Konflik telah berubah menjadi tontonan, sebuah simulasi yang mengaburkan batas antara yang nyata dan yang artifisial. Perang tak lagi sekadar tentang pertempuran militer, tetapi lebih merupakan representasi yang dimanipulasi oleh aktor-aktor besar yang mendominasi narasi global.
ADVERTISEMENT
Distorsi ini memperparah kebingungan kita tentang siapa yang benar dan siapa yang salah dalam konflik-konflik global. Kita terbiasa mengonsumsi citra-citra perang yang dikendalikan oleh media massa, sehingga persepsi kita tentang kebenaran sering kali tergantung pada bagaimana informasi tersebut disajikan. Perang di Gaza, misalnya, digambarkan melalui lensa yang berbeda-beda tergantung dari siapa yang melaporkan — dan ini menciptakan realitas yang terpecah belah. Standar ganda yang diterapkan oleh negara-negara Barat terhadap konflik ini semakin memperjelas simulasi global yang mempermainkan persepsi kita.
Perang dan perdamaian bukan lagi soal fakta di lapangan, tetapi tentang bagaimana mereka diolah dan dijual sebagai komoditas politik. Setiap kali kita melihat konflik seperti yang terjadi di Timur Tengah, Ukraina, atau di bagian lain dunia, kita tidak hanya melihat benturan fisik, tetapi juga pertarungan untuk mengendalikan narasi global. Perang menjadi alat kekuasaan, dan perdamaian sering kali hanya menjadi topeng yang digunakan untuk menutupi kepentingan geopolitik. Dunia Barat, yang sering kali berbicara tentang hak asasi manusia, kerap menunjukkan sikap standar ganda ketika berhadapan dengan konflik yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
ADVERTISEMENT
Situasi ini membawa kita semakin dekat ke jurang distopia. Di dunia yang didominasi oleh simulasi dan hiperrealitas, kekerasan menjadi bagian dari realitas sehari-hari. Citra-citra perang terus membombardir kita, menciptakan ilusi bahwa perang adalah sesuatu yang normal, bahkan wajar. Inilah dunia yang kita hadapi sekarang — sebuah dunia di mana peperangan tidak lagi dipandang sebagai tragedi, melainkan sebagai simulasi yang kita konsumsi tanpa perasaan. Dalam konteks ini, perang tak lagi menjadi alat untuk mencapai tujuan politik, tetapi menjadi tujuan itu sendiri.
Namun, apakah kita harus menyerah pada distopia ini? Seperti Sisyphus yang terus-menerus mendorong batunya ke puncak hanya untuk melihatnya jatuh lagi, kita tampaknya terperangkap dalam siklus perang dan perdamaian yang tak berujung. Setiap kali kita mencapai kesepakatan damai, segera muncul konflik baru yang menggagalkan upaya tersebut. Ini bukan hanya soal kebetulan atau nasib buruk, melainkan hasil dari algoritma kekuasaan global yang terus memanipulasi konflik untuk kepentingan tertentu. Perdamaian yang kita impikan hanyalah ilusi — simulasi yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan besar untuk menenangkan kita sementara mereka terus memainkan permainan mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Jean Baudrillard menggambarkan realitas kita sebagai hiperreal — sebuah dunia yang diisi oleh simulakra, representasi dari representasi yang telah kehilangan hubungannya dengan realitas asli. Begitu juga dengan konsep perdamaian di era modern. Perdamaian yang kita lihat di media sering kali tidak lebih dari citra yang diproduksi untuk kepentingan politik. Di balik janji-janji perdamaian, ada permainan kekuasaan yang lebih dalam, yang dikendalikan oleh algoritma kepentingan global. Inilah bentuk distopia yang paling mengerikan — dunia di mana kita tidak lagi mampu membedakan antara perdamaian sejati dan perdamaian yang disimulasikan.
Namun, apa yang membuat situasi ini semakin tragis adalah bahwa kita terus-menerus terlibat dalam simulasi ini tanpa menyadarinya. Kita menerima perang sebagai bagian dari hidup kita, kita mempercayai narasi-narasi yang disajikan kepada kita, dan kita terus berharap pada perdamaian yang sesungguhnya tidak pernah ada. Seperti Sisyphus, kita terus berjuang tanpa menyadari bahwa perjuangan kita telah dipermainkan oleh kekuatan-kekuatan yang jauh lebih besar daripada kita. Dalam distopia ini, kita menjadi pion dalam permainan yang lebih besar, tanpa kendali atas nasib kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun dunia kita tampak terjebak dalam distopia, masih ada harapan. Seperti Sisyphus yang menemukan pemberontakan dalam kesadarannya akan absurditas, kita juga dapat menemukan kekuatan dalam memahami simulasi yang telah mencengkeram dunia kita. Kita dapat melawan dengan menolak narasi-narasi yang didiktekan kepada kita, dengan mencari kebenaran di balik simulasi dan hiperrealitas yang memenuhi kehidupan kita. Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya menghentikan perang, tetapi kita bisa berusaha untuk mengubah cara kita memahami perang dan perdamaian.
Namun, perlawanan ini tidaklah mudah. Di dunia yang dipenuhi oleh simulakra, kebenaran menjadi sesuatu yang sangat sulit dicari. Algoritma yang mengendalikan media sosial dan informasi publik sering kali memperkuat polarisasi dan memecah belah kita, membuat kita semakin sulit untuk menemukan titik temu. Kita terperangkap dalam gelembung informasi yang saling bertentangan, dan ini menciptakan dunia di mana perdamaian semakin sulit dicapai. Di sinilah letak tantangan terbesar kita — melawan hiperrealitas dan mencari kebenaran di tengah kebingungan.
ADVERTISEMENT
Sisyphus mungkin terkutuk untuk terus-menerus gagal, tetapi kita tidak harus mengikuti nasibnya. Kita bisa memilih untuk mendorong batu kita dengan kesadaran penuh akan absurditas dunia ini. Kita bisa memilih untuk melawan distopia dengan menciptakan narasi-narasi alternatif, dengan membangun solidaritas dan pemahaman yang melampaui standar ganda dan simulasi yang menghancurkan. Di dunia di mana simulasi begitu mendominasi, tindakan nyata dan kemanusiaan menjadi bentuk perlawanan yang paling radikal.
Perdamaian mungkin tampak seperti utopia yang tak terjangkau, tetapi itu tidak berarti kita harus menyerah. Meskipun kita hidup di dunia yang dipenuhi oleh standar ganda, simulakra, dan hiperrealitas, kita tetap memiliki pilihan. Kita bisa memilih untuk tidak terperangkap dalam narasi-narasi yang didiktekan kepada kita, untuk melihat di balik simulasi dan mencari kebenaran yang lebih dalam. Di tengah semua kekacauan dan kebingungan ini, kita masih memiliki kemampuan untuk bertindak, untuk menciptakan dunia yang lebih baik, meskipun itu berarti terus mendorong batu ke puncak bukit hanya untuk melihatnya jatuh kembali.
ADVERTISEMENT
Distopia mungkin tampak seperti nasib yang tak terelakkan, tetapi seperti Sisyphus, kita bisa menemukan makna dalam perjuangan kita. Kita bisa memilih untuk melawan simulasi dan hiperrealitas yang mencengkeram dunia kita, dan dengan demikian, kita bisa menciptakan ruang untuk harapan. Perjuangan ini mungkin tidak akan pernah selesai, tetapi itu tidak berarti kita harus berhenti berusaha. Karena dalam kesadaran kita akan absurditas dunia ini, kita bisa menemukan pemberontakan, dan dalam pemberontakan itu, kita bisa menemukan harapan untuk masa depan yang lebih baik.***