Konten dari Pengguna

Video Syur Selebritas: antara Privasi dan Sensasi

Syamsul Kurniawan
Syamsul Kurniawan yang merupakan dosen IAIN Pontianak ini, merupakan lulusan tercepat dan terbaik Program Doktoral (S3) Studi Islam, Konsentrasi Kependidikan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2021.
31 Agustus 2024 12:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syamsul Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi industri film porno. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi industri film porno. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penyebaran "video syur" selebritas di dunia digital telah menciptakan fenomena yang menarik perhatian luas, menciptakan sensasi sekaligus mengusik privasi individu yang terlibat. Fenomena ini tidak hanya memperlihatkan bagaimana teknologi mempengaruhi kehidupan pribadi, tetapi juga bagaimana masyarakat merespons dengan gelombang reaksi yang sering kali berlebihan, atau yang dikenal dengan istilah “moral panic”.
ADVERTISEMENT
Jean Baudrillard, dalam bukunya Simulacra and Simulation (1994), memperkenalkan konsep hyperreality untuk menggambarkan suatu kondisi di mana batas antara kenyataan dan simulasi menjadi kabur. Dalam era digital ini, konsep hyperreality menjadi sangat relevan, terutama dalam konteks penyebaran video syur selebritas. Video yang seharusnya menjadi rekaman pribadi, berubah menjadi komoditas digital yang dikonsumsi massal oleh publik, menciptakan realitas baru yang lebih kuat dari kejadian aslinya.
Di dalam hyperreality, video syur tidak lagi dilihat sebagai representasi dari kenyataan yang murni, tetapi sebagai sebuah "peristiwa" yang diinterpretasikan ulang oleh media dan publik. Video tersebut bukan hanya bukti fisik dari perilaku tertentu, tetapi juga menjadi simbol dari ketakutan, hasrat, dan kecemasan kolektif masyarakat yang lebih luas. Publik tidak lagi berbicara tentang identitas selebritas sebagai manusia nyata; mereka berbicara tentang bagaimana simulasi dari identitas dan perilaku tersebut direpresentasikan dan dikonsumsi di ruang publik.
ADVERTISEMENT

Moral Panic: Peran Media dalam Menciptakan Narasi

Untuk memahami bagaimana fenomena ini memicu reaksi publik, kita dapat menggunakan konsep moral panic yang diperkenalkan oleh Stanley Cohen dalam bukunya Folk Devils and Moral Panics (2011). Cohen menggambarkan moral panic sebagai situasi di mana suatu kelompok atau fenomena dipandang sebagai ancaman besar terhadap nilai-nilai sosial yang mapan. Dalam konteks penyebaran video syur selebritas, media sering kali memperkuat persepsi ini dengan menciptakan narasi yang dramatis dan memposisikan selebritas yang terlibat sebagai 'folk devils'—sosok yang dianggap sebagai simbol dari dekadensi moral.
Peran media dalam memproduksi moral panic sangat signifikan. Media tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga membangun narasi yang memposisikan kejadian ini sebagai ancaman serius terhadap tatanan sosial. Media menggunakan istilah-istilah seperti "skandal besar" atau "krisis moral" untuk memperkuat anggapan bahwa masyarakat sedang menghadapi ancaman yang nyata dan harus segera ditangani. Namun, moral panic yang muncul sering kali tidak proporsional dengan ancaman sebenarnya. Dalam banyak kasus, selebritas yang terlibat menjadi sasaran utama dari serangan publik, meskipun mereka mungkin lebih merupakan korban dari kebocoran data atau pelanggaran privasi daripada pelaku dari skandal moral.
ADVERTISEMENT

Menimbang Respons Moral Masyarakat Indonesia

Jonathan Haidt, dalam bukunya The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (2013), memberikan wawasan penting tentang bagaimana masyarakat menilai dan merespons isu-isu moral. Haidt berpendapat bahwa penilaian moral manusia sering kali didasarkan pada insting emosional daripada logika rasional. Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia yang dikenal religius dan memiliki nilai moral yang kuat cenderung merespons fenomena video syur dengan reaksi moral yang keras.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama sering kali melihat fenomena seperti video syur sebagai ancaman terhadap nilai-nilai moral dan agama yang mereka junjung tinggi. Reaksi ini diperkuat oleh media, yang sering kali memperkuat narasi bahwa fenomena seperti video syur adalah tanda dari kerusakan moral yang lebih luas. Media sosial memperkuat hal ini dengan cepat, dengan berbagai komentar dan pembagian yang memperbesar reaksi publik terhadap video tersebut. Dalam konteks ini, moral panic muncul bukan hanya sebagai reaksi terhadap fenomena itu sendiri, tetapi juga sebagai cara untuk menegaskan kembali identitas moral dan nilai-nilai kolektif masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Rhenald Kasali, dalam bukunya Disruption (2017), mengungkapkan bagaimana teknologi digital telah mengubah cara kita hidup dan berinteraksi. Disrupsi digital ini tidak hanya berdampak pada ekonomi dan bisnis, tetapi juga pada tatanan sosial dan budaya. Penyebaran video syur selebritas adalah contoh nyata dari bagaimana disrupsi ini bekerja di ranah sosial, di mana media sosial dan platform digital memungkinkan informasi tersebar dengan cepat dan sering kali tanpa kontrol yang memadai.
Fenomena video syur selebritas tidak hanya menunjukkan perubahan dalam cara kita mengkonsumsi konten, tetapi juga bagaimana kita bereaksi terhadapnya. Media sosial, dengan kecepatan dan skalabilitasnya, memungkinkan informasi tersebar luas dalam hitungan detik, menciptakan gelombang reaksi publik yang cepat dan sering kali emosional. Disrupsi digital juga telah mengubah cara kita memandang privasi dan identitas. Di era di mana hampir setiap aspek kehidupan kita dapat direkam dan dibagikan, batas antara yang publik dan yang privat menjadi semakin kabur. Video syur selebritas, yang mungkin pada awalnya dimaksudkan untuk konsumsi pribadi, dapat dengan mudah tersebar luas dan menjadi konsumsi publik.
ADVERTISEMENT
Ray Surette, dalam Media, Crime and Criminal Justice (2014), menunjukkan bahwa media sering kali mendapatkan keuntungan dari moral panic dengan meningkatkan jumlah pembaca atau penonton mereka melalui konten yang sensasional. Dalam era disrupsi digital, fenomena video syur selebritas menjadi salah satu komoditas yang sangat menguntungkan bagi media. Tingginya angka klik, share, dan engagement dari konten semacam ini menunjukkan bahwa disrupsi digital bukan hanya mengubah cara kita mengkonsumsi informasi, tetapi juga cara media memproduksi dan mendistribusikan konten.

Konsumsi Konten, Voyeurisme, dan Kecaman Moral

Reaksi publik terhadap fenomena video syur selebritas sering kali merupakan campuran antara voyeurisme dan moralitas. Di satu sisi, ada ketertarikan untuk melihat sesuatu yang "terlarang," sementara di sisi lain, ada dorongan untuk mengutuk dan menghakimi. Ini menunjukkan bagaimana moral panic bukan hanya tentang kecemasan terhadap keruntuhan moral, tetapi juga tentang penguatan identitas moral kita sendiri sebagai masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, video syur selebritas menjadi semacam peristiwa yang mengungkap "kebenaran" yang selama ini tersembunyi di balik citra publik selebritas. Publik, dengan rasa ingin tahu yang besar, tergoda untuk melihat sisi "nyata" dari selebritas yang biasanya hanya kita kenal melalui representasi media yang telah dimediasi dan diatur sedemikian rupa. Ironinya, ketika publik memutuskan untuk mengkonsumsi video tersebut, mereka memperkuat sistem hyperrealitas yang sama yang mereka kecam. Kita melihat selebritas tidak sebagai manusia nyata dengan kelemahan dan privasi, tetapi sebagai objek simulasi yang dapat dipakai dan dibuang sesuai keinginan.
Dalam menghadapi fenomena seperti video syur selebritas, penting untuk mempertimbangkan perspektif etis yang lebih luas. Apakah benar bahwa kehidupan pribadi seseorang, yang diabadikan dalam momen-momen intim, harus menjadi objek konsumsi publik? Apakah kita tidak bersalah ketika kita berpartisipasi dalam penyebaran dan konsumsi konten seperti ini? Mungkin ada kebutuhan untuk kembali mengkaji konsep privasi dan moralitas dalam konteks digital yang terus berkembang ini.
ADVERTISEMENT
Di tengah gelombang moral panic yang sering kali ditimbulkan oleh media, ada kebutuhan untuk mengembangkan literasi media yang lebih kritis. Literasi ini tidak hanya melibatkan kemampuan untuk memilah informasi yang benar dari yang salah, tetapi juga kemampuan untuk memahami bagaimana informasi dibingkai, direpresentasikan, dan didistribusikan. Literasi media yang kuat memungkinkan kita untuk mengenali kapan kita sedang dimanipulasi oleh narasi moral panic dan kapan kita benar-benar dihadapkan pada masalah moral yang nyata.
Empati juga harus menjadi bagian integral dari respons kita terhadap fenomena ini. Penting untuk diingat bahwa selebritas yang terlibat dalam video syur adalah manusia nyata yang hidupnya mungkin terganggu oleh penyebaran video tersebut. Reaksi moral panic yang sering kali bersifat menghukum bisa mengabaikan dampak emosional dan psikologis pada individu yang menjadi subjek dalam video tersebut.***
ADVERTISEMENT