Kesepian, Circle Pertemanan, dan Bunuh Diri

Syamsul Rijal
Dosen Bahasa dan Sastra Universitas Mulawarman, Samarinda-Kaltim
Konten dari Pengguna
1 Desember 2023 17:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syamsul Rijal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kesepian. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kesepian. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada suatu kesempatan, diskusi teman-teman tentang kajian budaya mencoba mengkategorikan generasi Z saat ini sebagai generasi stroberi. Generasi seperti apa itu? Mereka yang tergolong generasi stroberi adalah anak-anak muda yang lahir sekitar akhir tahun 90-an sampai tahun 2000-an.
ADVERTISEMENT
Generasi stroberi ini dimanjakan dengan kecanggihan teknologi dan kemapanan akses informasi. Akan tetapi, mereka rapuh dalam pemecahan masalah. Akibatnya, tingkat stres yang tidak terkendali sering dialami oleh generasi stroberi hingga frustasi berlebihan. Pada tahap ini, beberapa di antara mereka berniat mengakhiri masalahnya dengan bunuh diri.
Lantas apa yang menyebabkan rapuhnya mental generasi stroberi ini? Jawaban umumnya adalah karena kompleksitas masalah yang begitu rumit dan tidak ditemukannya solusi efektif dalam menghadapi suatu masalah. Dari pandangan subjektif saya, penyebab utamanya adalah pergaulan dan fashion. Kedua hal ini yang menentukan circle pertemanan seorang anak.
Mari kita mulai membahas dari penyebab kedua, yakni masalah fashion. Fashion dapat diartikan secara luas, yakni segala hal yang berkaitan dengan mode serta hal-hal yang mendukung mode tersebut. Mode dapat berupa pakaian seperti: baju, celana, rok, jaket, topi, jilbab, sepatu, dan sandal.
ADVERTISEMENT
Mode juga dapat berupa aksesoris, seperti gelang, kalung, cincin, anting, dan lain-lain. Atau hal-hal yang mendukung mode tersebut seperti telepon seluler, sepeda motor, mobil, dan produk-produk kosmetik untuk kecantikan, terutama bagi remaja putri. Jika seorang anak muda atau remaja menyandarkan kehidupannya pada fashion tertentu, yakinlah mereka telah membatasi pergaulannya.
Secara fisik, mereka kelihatan santai. Tetapi secara mental, mereka sangat sibuk. Mereka jarang keluar rumah, tetapi sibuk mem-posting foto dan video di media sosialnya. Dari foto dan video inilah yang menyibukkan mentalnya. Mereka harus terlihat cantik, glowing, dan fashionable di media sosial. Jika tidak seperti itu, mereka akan di-bully oleh followers-nya.
Dalam lingkaran seperti itu, mereka tidak boleh terlihat mundur. Mereka harus terus menyesuaikan dengan perubahan fashion yang begitu cepat. Jika tidak menyesuaikan, mereka akan tertinggal dengan sendirinya. Di sinilah tantangan beratnya. Para anak muda harus menyiapkan banyak biaya untuk terlihat fashionable.
ADVERTISEMENT
Jika gagal, beban mental dan stres akan mendatanginya. Mereka juga akan terkucilkan dari circle pertemanannya. Namun jika salah satu di antara circle-nya berhasil lebih fashionable dari temannya yang lain, mereka akan menyandang predikat sebagai selebgram. Itulah pencapaian tertinggi dari generasi Z saat ini.
Kondisi di atas banyak dialami oleh remaja di Korea Selatan. Korea Selatan sebagai negara produk fashion terbesar dunia kini menjadi kiblat sebagian anak-anak muda di Indonesia, terutama remaja putri. Bahkan, Korea Selatan sudah mulai menggeser Prancis sebagai kiblat fashion dunia. Sebagian besar anak mudanya mengadu nasib untuk bisa terlihat fashionable di mata orang dan dunia.
Hal ini terlihat pada banyaknya boy band dan girl band yang digandrungi oleh anak muda. Efek budaya K-Pop ini menjadikan negara Korea Selatan sebagai salah satu negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Masalahnya ada dua, bahkan mungkin bisa disebut masalahnya seperti pedang. Tajam ke atas dan juga tajam ke bawah. Mereka yang gagal menjadi artis boy band atau girls band akan mengalami sedih berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Efek-efek psikologis mulai masuk. Mereka stres, sakit, gila, dan bahkan bunuh diri. Bagi yang berhasil menjadi artis akan mencapai puncak ketenaran dan kemewahan. Akan tetapi, beban fisik dan mental mereka terpenjara. Secara fisik, mereka sangat lelah mengikuti ritme dunia hiburan yang sangat padat.
Secara mental, mereka tidak bebas bergaul, bepergian, atau bahkan jalan-jalan di tempat umum seperti orang-orang biasa lainnya. Pada tahap ini, masalah-masalah psikologis sudah mulai menghantui artis-artis Korea ini. Dampak terburuknya adalah sama dengan yang gagal menjadi artis, yakni stres, sakit, gila, hingga bunuh diri.
Kematian karena bunuh diri di Korea Selatan mencapai angka 13.352 pada tahun 2021 (bbc.com). Angka ini menjadikan Korea Selatan sebagai negara maju yang paling tinggi angka bunuh dirinya. Budaya kompetitif dan individual di Korea Selatan turut memengaruhi penyebab bunuh diri ini. Orang Korea Selatan memasang target tinggi untuk sukses. Hal itu biasanya diukur dengan penghasilan dan kekayaan.
ADVERTISEMENT
Sementara di sisi lain, orang Korea memiliki budaya yang susah mengutarakan keluhannya kepada orang lain. Terjadilah pertemuan antara beban hidup dan budaya individual yang menghasilkan tekanan batin. Dengan berkaca pada budaya ini, orang Korea Selatan ternyata tidak memiliki ruang-ruang terbuka dan aman untuk mengutarakan kesulitan mereka.
Tampaknya, mereka tertutup satu sama lain. Satu satunya cara mengutarakan permasalahan adalah dengan mengunjungi psikolog. Itu pun harus dengan mengeluarkan biaya tertentu dengan intensitas konsultasi yang harus rutin.
Bagaimana jika posisi anak muda tersebut sedang terkucilkan dari circle atau lingkaran pertemanannya. Jawaban terdekatnya adalah mereka akan kesepian. Sama dengan anak muda Korea Selatan yang banyak mengalami kesepian akibat kesenjangan ekonomi. Kondisi ini lebih rawan terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kesepian akan menjadi pintu masuknya penyakit-penyakit psikologis lainnya. Kesepian dapat mengundang kecemasan yang berlebihan. Kecemasan yang terus menerus akan menurunkan daya tahan tubuh. Pelan-pelan kecemasan ini memengaruhi pikiran sehingga kadang-kadang menyebabkan berbagai penyakit medis. Kecemasan juga dapat memengaruhi kejiwaan seseorang hingga menjadi stres dan mudah panik. Akibat terburuknya, anak muda seperti ini bisa saja menempuh jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya, yakni bunuh diri.
Pada intinya, bunuh diri bukanlah solusi, meskipun di Jepang bunuh diri dianggap sebagai solusi permanen. Konteks bunuh diri di Jepang dengan di Indonesia berbeda. Bunuh diri di Indonesia lebih mirip dengan konteks bunuh diri di Korea Selatan. Sama-sama karena adanya kesepian dan lingkaran pertemanan yang kurang tepat.
ADVERTISEMENT
Lingkaran pertemanan yang tidak sehat akan membuat susah seorang anak muda menceritakan masalah hidupnya. Tuntutan untuk tampil sempurna menjadi beban berat. Sementara, lingkungan pertemanan mengharuskan mereka tampil fashionable. Mereka pasti terkucilkan dengan sendirinya. Jadilah kesepian.
Kita tidak boleh serta merta meniru bunuh diri di Jepang sebab budaya mereka telah melegalkannya sejak ratusan tahun yang lalu. Orang-orang Jepang sudah terbiasa bunuh diri sehingga mereka sudah siap secara mental dan keuangan, termasuk keluarga dan keturunan orang Jepang sudah siap menghadapinya.
Sementara, bunuh diri di Indonesia kadang-kadang masih dianggap aib. Mungkin karena dianggap bahwa keluarga tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Mungkin juga untuk segera memangkas kesedihan. Atau, mungkin ada rahasia besar di balik bunuh diri itu. Informasinya lebih sering ditutupi. Oleh karena itu, bunuh diri di Indonesia tidak tercatat dengan jelas angkanya
ADVERTISEMENT
Bunuh diri lebih cenderung pada masalah keinginan. Sementara, keinginan dapat dicegah. Membiarkan masalah berlarut-larut tanpa sepengetahuan orang terdekat akan memperburuk keadaan. Jadi sebenarnya, bunuh diri bisa dicegah selama seseorang bersedia menceritakan masalahnya.
Bunuh diri lebih banyak meninggalkan duka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Sekali lagi, bunuh diri bukanlah solusi. Masih banyak solusi lain yang dapat ditempuh. Bunuh diri tidak menyelesaikan masalah. Masalahnya tidak hilang; hanya berpindah ke masalah lain. Tetaplah jaga pertemanan dan pergaulan di lingkungan yang positif, yakinlah mental kita akan tetap sehat.