Jadi Driver Baca Keliling, Kenapa Saya Harus Malu?

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
18 Februari 2023 7:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kadang, terpintas rasa malu. Saat saya menjadi driver atau pengemudi MOtor BAca KEliling (MOBAKE) Taman Bacaan Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Kesannya seperti orang yang tidak punya kerjaan tiap Minggu sore, membawa 200 buku dengan motor keliling kampung. Hanya untuk menyediakan akses bacaan kepada anak-anak kampung. Kata orang, mendingan “ngojek” masih ada duitnya. Buat apa keliling kampung hanya membawa buku-buku bacaan?
ADVERTISEMENT
Apalagi di musim hujan begini. Jadi driver mnotor baca keliling, bisa jadi tidak sedikit orang yang ngomongin. Hujan-hujan atau mendung tapi tetap berkeliling kampung “ditemani” buku-buku bacaan dan 2 lembar tikar alas baca. Saat mangkal di pinggir jalan, hati senang karena ada anak-anak yang membaca. Tapi bila tidak ada anak-anak yang membaca, pasti “dikasihani” banyak orang. Tentu, lebih malu lagi bila disangka “orang yang nggak punya kerjaan”. Untuk apa keliling kampung bawa motor hanya untuk menyediakan akses bacaan? Hello, zaman digital begini masih bawa-bawa buku manual. Iya juga ya.
Malu. Sifat yang kadang perlu kadang tidak perlu. Kadang, malu sering dianggap sebagai perilaku sebagai pengganggu seseorang untuk maju. Penghambat untuk berbuat kebaikan kepada orang lain. Selalu ada label negatif yang disematkan untuk rasa malu. Tapi di sisi lain, orang-orang hebat di dunia bisnis atau apapun justru berhasil menyingkirkan rasa malu. Bermental baja dan pantang menyerah untuk berbuat dan berkarya. Asal baik dan tidak mengganggu orang lain. Jadi sebagai driver motor baca keliling, saya harus malu atau tidak ya?
Driver motor baca keliling, kenapa saya harus malu?
Dan akhirnya sebagai driver motor baca keliling (MOBAKE) TBM Lentera Pustaka saya pun berkata. Hello, kenapa saya harus malu? Karena jadi driver motor baca keliling bukan perbuatan tercela tercela dan hina. Saya mengajak anak-anak kampung yang tidak punya akses bacaan untuk membaca buku. Sekalipun hanya seminggu 2 kali tapi anak-anak itu punya kesempatan untuk membaca buku daripada bermain gawai melulu. Toh, saya juga tidak minta makan dan tidak minta uang untuk beli bensin yang berprasangka apapun kepada saya. Maka rasa malu pun saya sudah buang jauh-jauh. Saat menjadi driver motor baca keliling, saya hanya niat dan ikhtiar untuk menebar kebaikan kepada sesama. Selebihnya, biarkan Allah SWT yang “bekerja” untuk saya.
ADVERTISEMENT
Insya Allah, jadi driver MOBAKE (MOtor BAca KEliling) TBM Lentera Pustaka mengantarkan buku-buku untuk dibaca anak-anak sudah cukup. Tanpa malu tanpa gengsi. Justru aktivitas jadi driver motor baca keliling membuat profesi saya sebagai dosen di PBSI FBS Unindra dan konsultan jadi lebih berkah, jadi lebih bermanfaat. Sekaligus jadi "legacy" atau warisan untuk umat. Bila suatu saat saya dipanggil Allah SWT. Agar tidak terlalu fokus untuk urusan dunia yang tidak kelar-kelar dan tidak ada habisnya.
Jadi driver motor baca keliling, memang soal kecil dan sederhana bagi sebagian orang. Tapi bagi saya, jadi kemewahan yang tidak ternilai harganya. Tanpa perlu ras amalu atau gengsi. Karena saya dan sebagian orang tidak hidup dari malu dan gengsi. Ubah niat baik jadi aksi nyata. Maka singkirkan malu, lalu genggam kebaikan di mana pun. Salam literasi #MotorBacaKeliling #KisahPegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
ADVERTISEMENT