Literasi Gaya Hidup: Biar Tekor Asal Kesohor

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
20 Desember 2019 10:13 WIB
comment
16
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tekor Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tekor Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mendongkrak gaya hidup, bisa jadi konsekuensi era digital. Eksistensi manusia lebih diukur dari gaya hidupnya. Maka wajar bila akhirnya, lebih besar pasak daripada tiang. Karena terlalu memaksakan gaya hidup. Biar dibilang keren, dibilang mantul. Akibat gengsi dan status sosial, gaya hidup jadi lebih ditonjolkan.
ADVERTISEMENT
Bila ada pejabat terlibat di penjara akibat korupsi, artis yang berani pasang rate per sekali kencan. Atau bahkan gemar dugem, jiwa konsumtif, hedonis, hingga terlibat narkoba. Semua itu berpangkal dari “gaya hidup yang berlebihan”. Gaya hidup; biar tekor asal kesohor.
Apakah mereka kekurangan uang?
Sama sekali tidak. Karena uang itu hanya sebagian kecil dari rezeki. Mereka hanya punya gaya hidup yang berlebihan. Lupa bersyukur. Maka jadi masalah, hingga jatuh ke lubang kesengsaraan. Ada sinyalemen, 3 dari 10 orang Indonesia punya perilaku negatif akibat gaya hidup. Dan faktanya kini, sekitar 15,6 juta orang Indonesia mengalami depresi alias gangguan jiwa akibat gaya hidup.
Literasi gaya hidup perlu disosialisasikan
Gaya hidup, atau bahasa 'keren'-nya, lifestyle itu jahat.
Karena gaya hidup itu sifatnya memaksa, terlalu mengumbar nafsu, agar dibilang mentereng, citranya bagus. Karena mampu bergaya dalam hidup. Walau hanya terlihat dari “bungkus”-nya saja. Agar kelas sosialnya meningkat. Maka wajar hari ini, berapa banyak orang yang terseret ke dalam gaya hidup di luar kemampuannya. Berjiwa konsumtif, hedonis, dan mencintai “kesenangan sesaat”. Gaya hidup yang dipaksakan, bukan apa adanya. Di situlah pentingnya literasi gaya hidup. Cara sederhana memahami dan memampukan kendali terhadap gaya hidup di era supermodern seperti sekarang.
ADVERTISEMENT
Gaya hidup itu hanya sekunder, bukan primer. Tapi sayangnya, banyak orang ingin mengubah gaya hidupnya. Hingga lebih senang menonjolkan kemewahan, konsumerisme, dan hedonisme yang bersifat sesaat. Gaya hidup bisa dikenali dari cara menghabiskan waktunya (aktivitas), lalu apa-apa dianggap menyenangkan di mata orang lain (minat) agar terbentuk apa yang orang pikirkan tentang dirinya (opini). Jadi, gaya hidup bertujuan hanya untuk mendongkrak citra diri dan status sosialnya.
Maka, literasi gaya hidup kian penting.
Agar masyarakat paham. Bahwa gaya hidup yang berpotensi jadi masalah harus dihindari. Caranya, harus dimulai dari diri sendiri. Mulai membenahi dan mengendalikan diri. Bahwa gaya hidup hanya bersifat kamuflase. Perilaku yang hadir akibat gengsi dan eksistensi sosial. Mereka yang “gagal memahami” tentang sikap, konsep diri, motif, persepsi bahkan pergaulan dalam hidup.
ADVERTISEMENT
Literasi gaya hidup. Agar paham bahwa tiap orang punya perilaku budaya yang berbeda. Kelas sosial pun beda. Bahkan pekerjaan dan kadar kemampuan keuangan pun tidak sama. Itu artinya, gaya hidup harus disesuaikan, bukan dipaksakan. Karena gaya hidup yang berlebihan atau dipaksakan, biasanya punya implikasi buruk pada diri penganutnya seperti:
Biar tekor asal kesohor, begitulah motto pemilik gaya hidup berlebihan. Berjiwa konsumtif, berperilaku hedonis. Sementara rumah masih cicil atau sewa. Kendaraan masih kredit. Biaya sekolah anak terbengkalai. Membeli barang yang tidak dibutuhkan. Lalu hidup penuh keluhan, stres dan depresi. Sungguh, itu semua terjadi karena gaya hidup yang berlebihan, gaya hidup yang dipaksakan.
ADVERTISEMENT
Korban gaya hidup jadi begini
Literasi gaya hidup, sejatinya bukan sekadar pengetahuan apa dan bagaimana hidup. Tapi soal cara memahami dan memampukan diri dalam hidup. Agar punya kesadaran untuk menjadikan hidup lebih baik, lebih bermanfaat. Karena gaya hidup keren itu adalah “apa adanya” bukan “ada apanya”. Gaya hidup yang sederhana tapi bermakna.
Literasi gaya hidup. Hanya mengajarkan kita untuk mensyukuri atas apa yang dimiliki. Bukan mengeluhkan apa yang orang lain miliki. Karena apa yang kita miliki saat ini adalah pantas untuk kita. Itulah literasi gaya hidup. Bukan tekor asal kesohor.
ADVERTISEMENT
#LiterasiGayaHidup #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi