Siswa Tantang Guru, Potret Pendidikan Indonesia

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
28 Maret 2019 22:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada apa di balik fenomena siswa menantang guru?
Kasus siswa SMP PGRI Wringinanom Gresik menantang gurunya di dalam kelas mengundang reaksi banyak pihak. Sebelumnya, ada siswa SMP Negeri di Takalar menganiaya petugas kebersihan di sekolah. Bahkan persis setahun lalu, guru Budi merenggut nyawa di tangan siswanya sendiri di Sampang. Belakangan ada fenomena, siswa berani menantang guru.
ADVERTISEMENT
Siswa kian berani menantang guru. Bahkan berani mengancam atau melakukan kekerasan pada guru. Menurut data KPAI, setidaknya ada 445 kasus bidang pendidikan sepanjang 2018 dan 51% persen di antaranya merupakan kasus kekerasan baik fisik, seksual, dan verbal. Fenomena ini bisa jadi potret hitam dunia pendidikan Indonesia. Siswa tantang guru, bila sering terjadi, sungguh menjadi tragedi dunia pendidikan yang sangat serius. Bagaimana mungkin, siswa tidak terima ditegur guru di kelas?
Revolusi industri 4.0, bisa jadi era yang dikagumi banyak orang. Tapi di saat bersamaan, era disrupsi dunia pendidikan pun menguat. Tatanan pendidikan berubah. Logika menjadi begitu penting daripada etika. Siswa belajar terkesan hanya untuk meraih hasil berupa nilai, bukan proses belajarnya. Maka tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab kian “jauh panggang dari api”. Proses pendidikan kian tercerabut dari akarnya.
ADVERTISEMENT
Adalah fakta, kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari memadai. Laporan PISA 2015 menyebutkan, kualitas pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 69 negara. Sementara UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, pendidikan Indonesia menempati posisi ke-10 dari 14 negara berkembang. Besarnya anggaran pendidikan tahun 2018 yang mencapai Rp444 triliun atau 20% dari total APBN boleh dibilang tidak memberi dampak yang signifikan. Maka, harus ada langkah serius untuk membenahi kualitas pendidikan di Indonesia.
Pendidikan karakter penting untuk siswa
Maraknya fenomena siswa menantang guru adalah soal serius. Karena pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak; baik sekolah, guru, siswa, orang tua, dan pemerintah. Sangat salah bila memvonis bahwa pendidikan adalah tanggung jawab guru atau sekolah semata. Apalagi menganggap "uang" adalah segalanya dalam pendidikan. Dunia pendidikan hari ini, sungguh dihadapkan pada realitas degradasi moral, karakter, etika, dan peradaban yang menjadi sebab utama terjadinya perilaku menyimpang di sekolah, baik siswa maupun guru. Apalagi di tengah era digital, berapa banyak siswa yang menjadi “yatim piatu semu”, anak-anak yang statusnya punya orang tua tapi realitas kesehariannya “tidak dekat” dengan orang tua.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari kondisi ini, pemerintah harus hadir untuk mengatasi fenomena “siswa tantang guru” dengan menguatkan pendidikan karakter di sekolah, di samping merevitalisasi peran bimbingan konseling (BK) di sekolah. Bahkan orang tua pun harus terlibat aktif, minimal memperkuat pola pengasuhan di rumah. Karena harus diakui, pendidikan yang sehat hanya lahir dari proses belajar-mengajar yang sehat pula. Dunia pendidikan bukan soal “lembut atau keras” tapi soal “berkarakter atau tidak berkarakter”.
Pendidikan Karakter
Menyikapi fenomena siswa menantang guru, maka solusinya adalah memperkuat pendidikan karakter di sekolah. Sekolah bukanlah tempat untuk meraih nilai akademis yang tinggi. Bukan pula tempat untuk menjawab pertanyaan yang sulit. Bahkan sekolah, bukan tempat untuk melahirkan generasi yang pintar namun tanpa karakter. Tapi sekolah adalah tempat untuk mempertahankan semangat berprestasi, semangat kebaikan agar mampu bertahan hidup dalam beragam tantangan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan karakter adalah ruh inti dari proses pendidikan. Pendidikan yang tidak hanya bertumpu pada logika (pikiran) tapi mampu memperkokoh etika (hati dan spiritual), estetika (rasa), dan kinestetik (perilaku). Maka melalui pendidikan karakter, proses belajar intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler yang berlangsung sekolah harus terintegrasi dan berbasis pada pengembangan budaya sekolah.
Bila disadari, Kurikulum 2013 yang diberlakukan saat ini justru diorientasikan agar lebih memiliki muatan pendidikan karakter pada diri siswa. Agar dapat menumbuhkan budi pekerti dan menguatkan karakter positif siswa. Ini berarti, sekolah dan guru harus dekat dengan siswa. Agar mengenal kepribadian dan perilaku siswa. Karena sekolah, sekali lagi, bukan hanya untuk mencapai target intelektualitas semata, namun juga kepribadian siswa.
Berat dan ketatnya hidup dan peradaban masa kini, sungguh hanya bisa "dilawan" oleh siswa dan generasi yang memiliki karakter. Keluaran pendidikan yang mau berpikir positif, optimistik, kreatif, dan mampu berkompetisi dengan mengedepankan akhlak dan budi pekerti.
ADVERTISEMENT
Fenomena siswa menantang guru harus menjadi sinyal agar dunia pendidikan "kembali ke khittah" untuk memprioritaskan pendidikan karakter siswa. Melalui pendidikan karakter, pendidikan mengharamkan: 1) adanya perilaku kekerasan dalam belajar, apapun bentuknya dan dari siapapun, 2) tumbuhnya paham radikalisme dan intoleransi sekecil apapun, dan 3) terjadinya plagiarisme dan pelecehan nilai-nilai ilmiah di manapun dan oleh siapapun.
Konsekuensinya, guru sebagai ujung tombak pendidikan pun harus berani berbenah diri, mau meningkatkan kompetensi. Guru bukan hanya harus berwibawa di depan kelas. Tapi memiliki kemampuan pedagodik yang menyenangkan, bukan membosankan. Karena guru adalah kreator pembelajaran, bukan pelaksana kurikulum. Hari ini, pendidikan sangat membutuhkan guru yang mampu mengajar dengan hati, bukan hanya logika.
Sekali lagi, inilah momentum untuk kembali ke pendidikan karakter. Agar tidak ada lagi kasus “siswa menantang guru” dan sejenisnya di sekolah. Kita patut kasihan terhadap dunia pendidikan. Karena sudah terlalu banyak diskusi tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Tapi di saat yang sama, kita mengabaikan arti penting pendidikan karakter. Sungguh, sangat sulit bagi pendidikan, bila belajar pada akhirnya "meninggalkan" karakter manusia seperti yang seharusnya.
ADVERTISEMENT