Konten dari Pengguna

Pentingnya Ruang Kontemplatif bagi Manusia

Syeftyan Afat
Santri di Pondok Tremas Pacitan. Sedang merintis membuka pojok baca di kampung tempat tinggal.
6 Januari 2025 9:53 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syeftyan Afat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Lukisan Shofa Abdi di sebuah pameran. dokumen pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan Shofa Abdi di sebuah pameran. dokumen pribadi.
ADVERTISEMENT
Dalam riuhnya kehidupan modern, manusia kerap kali terjebak dalam pusaran aktivitas tanpa henti. Kesibukan seolah menjadi tanda produktivitas, sementara diam dianggap sebagai kelemahan. Namun, di tengah gemuruh ini, ruang kontemplatif menjadi kebutuhan yang mendesak—tempat di mana manusia dapat berhenti, merenung, dan menemukan kembali dirinya.
ADVERTISEMENT
Ruang kontemplatif tidak harus berbentuk fisik; ia bisa berupa waktu khusus yang didedikasikan untuk merenung, atau sebuah kondisi mental di mana kita menjernihkan pikiran dari kebisingan dunia. Dalam tradisi spiritual, ruang ini kerap diwujudkan dalam bentuk meditasi, zikir, atau munajat. Dalam konteks sekuler, ia hadir melalui journaling, berjalan di alam, atau sekadar duduk dalam diam. Apa pun bentuknya, ruang kontemplatif memberikan manusia kesempatan untuk mengolah pengalaman, mengevaluasi makna, dan menyelaraskan kembali tujuan hidupnya.
Menyembuhkan dari Kelelahan
Kehidupan yang terus bergerak tanpa jeda cenderung membawa kelelahan fisik dan mental. Psikolog menyebut ini sebagai burnout, kondisi di mana seseorang merasa hampa dan kehilangan motivasi akibat tekanan berlebihan. Ruang kontemplatif memungkinkan manusia untuk memproses emosi, mengidentifikasi penyebab stres, dan merestorasi energi. Diam yang terarah menjadi alat pemulihan yang ampuh.
ADVERTISEMENT
Menghubungkan Diri dengan Makna Hidup
Dalam dunia yang sering kali fokus pada hal-hal superfisial, ruang kontemplatif mengajak manusia untuk melihat ke dalam. Merenungkan pertanyaan mendasar seperti siapa saya atau untuk apa saya hidup membantu membangun kesadaran tentang nilai-nilai yang benar-benar penting. Di sinilah manusia menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar prestasi, tetapi juga tentang memperkaya jiwa dan memberikan dampak positif bagi sesama.
Menghidupkan Kreativitas
Banyak ide besar lahir dari keheningan. Dalam buku The Artist's Way, Julia Cameron menyebut kreativitas membutuhkan waktu hening, tempat di mana ide-ide dapat tumbuh tanpa intervensi dunia luar. Ruang kontemplatif memberi manusia kebebasan untuk mengeksplorasi pikiran tanpa tekanan, membuka pintu bagi kreativitas dan inovasi.
ADVERTISEMENT
Perspektif Islam tentang Kontemplasi
Dalam Islam, kontemplasi adalah bagian penting dari spiritualitas. Allah memerintahkan manusia untuk tafakkur (merenung) atas ciptaan-Nya, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal." (QS. Ali Imran: 190).
Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri mengawali perjalanan kenabiannya dengan menyendiri di Gua Hira, sebuah ruang kontemplatif yang menjadi saksi atas turunnya wahyu pertama. Islam mengajarkan bahwa merenung bukan hanya jalan untuk mengenal diri, tetapi juga untuk mendekat kepada Sang Pencipta.
Menciptakan Ruang Kontemplatif
Menciptakan ruang kontemplatif tidak membutuhkan biaya besar. Beberapa langkah sederhana dapat dilakukan, seperti:
ADVERTISEMENT
1. Menentukan Waktu Khusus: Sisihkan beberapa menit setiap hari untuk merenung, baik melalui doa, meditasi, atau menulis jurnal.
2. Menghindari Distraksi: Matikan gawai dan jauhkan diri dari hiruk-pikuk informasi selama momen tersebut.
3. Menghargai Alam: Alam adalah ruang kontemplatif alami yang sering kali terabaikan. Berjalan di taman atau duduk di bawah pohon dapat membantu menjernihkan pikiran.
Pada akhirnya, ruang kontemplatif adalah investasi untuk jiwa. Di dalamnya, manusia menemukan ketenangan, kebijaksanaan, dan kekuatan untuk menghadapi dunia. Dalam keheningan, manusia kembali pada esensinya—sebagai makhluk yang bukan hanya bekerja dan berlari, tetapi juga berpikir, merenung, dan menghargai makna hidup.[]