Konten dari Pengguna

Kawin Hamil: Analisis Hukum dan Implikasinya

Syeh Maulana Yasir
Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Jakarta Syarif Hidayatullah 2022
8 Mei 2024 9:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syeh Maulana Yasir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: https://www.pexels.com/id-id/
zoom-in-whitePerbesar
Foto: https://www.pexels.com/id-id/
ADVERTISEMENT
Kawin hamil merupakan perkawinan seorang pria dengan seorang yang sedang hamil; yaitu dihamili dahulu baru dikawini, atau dihamili oleh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan menghamilinya. Dengan kata lain, perkawinan wanita hamil ialah perkawinan yang didahului dengan adanya sebab perzinaan yang mengakibatkan kehamilan di luar perkawinan yang sah. Kawin hamil, yang juga dikenal sebagai perkawinan dengan wanita hamil di luar nikah, adalah suatu fenomena yang telah menjadi perhatian dalam berbagai diskusi dan analisis hukum. Dalam konteks hukum Islam, kawin hamil dapat dilihat dari beberapa perspektif, termasuk hukum syara', hukum positif, dan implikasinya terhadap status hukum anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum syara', kawin hamil dilarang karena dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Dalam QS Al-Isra' ayat 32 memperingatkan manusia untuk tidak mendekati zina, karena perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani juga mengatakan bahwa perkawinannya itu sah tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir. Pendapat ini didasari oleh hadits yang artinya "Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir...".
Dalam hukum positif, kawin hamil dapat dilihat sebagai suatu perbuatan yang tidak sah secara hukum. Pasal 53 KHI menjelaskan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, tetapi tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Namun, dalam beberapa kasus, kawin hamil dapat dilihat sebagai suatu perbuatan yang tidak sah secara hukum, terutama jika dilakukan tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang terkait.
ADVERTISEMENT
Implikasi hukum dari kawin hamil dapat dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, status hukum anak yang lahir dari perkawinan tersebut dapat berbeda-beda tergantung pada lama kelahiran dari waktu perkawinan. Jika lebih dari enam bulan maka status anak adalah sah sehingga berhak atas kedua orang tuanya. Jika kurang dari enam bulan maka status adalah anak tidak sah, sehingga hanya berhak atas ibunya baik dari nasab, hak perwalian, maupun hak kewarisan. Kedua, kawin hamil dapat memiliki implikasi pada status hukum orang tua dan anak. Dalam hukum Islam, adanya hubungan yang kokoh dari hubungan pertalian darah oleh hukum syara' diberikan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Adanya hubungan nasab antara orang tua dengan anak, menimbulkan hak-hak anak atas orang tuanya, yaitu hak radha’ah, hak hadhanah, hak waliyah, dan hak nafkah.
ADVERTISEMENT
Kawin hamil adalah suatu fenomena yang telah menjadi perhatian dalam berbagai diskusi dan analisis hukum. Dalam hukum syara', kawin hamil dilarang karena dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Dalam hukum positif, kawin hamil dapat dilihat sebagai suatu perbuatan yang tidak sah secara hukum. Implikasi hukum dari kawin hamil dapat dilihat dalam beberapa aspek, termasuk status hukum anak yang lahir dan hak-hak orang tua dan anak. Oleh karena itu, penting untuk memahami hukum dan implikasinya dalam kawin hamil agar dapat mengantisipasi dan mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan fenomena ini.