Roberto Baggio, Antara Dosa dan Perjalanan Taubat Sepak Bola

Syukron Achmad Fadillah
Berbuat baik dimana saja dan kepada siapa saja. Menulis apa yang harus ditulis dan yang tidak boleh dikatakan
Konten dari Pengguna
24 Juli 2017 15:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syukron Achmad Fadillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Roberto Baggio, Antara Dosa dan Perjalanan Taubat Sepak Bola
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang sepak bola Italia, tentu tak bisa lepas dari pertahanan super kokoh serta aksi individu para pengatur serangan yang ciamik dalam menggiring bola. Kala masih mendominasi sepak bola dunia dan Eropa, tidak jarang pemain belakang dan pemain bernaluri menyerang asal negeri Pizza kerap menjadi perbincangan.
ADVERTISEMENT
Nama yang teramat fenomenal kala kiblat sepak bola bukanlah Barcelona, Chelsea atau pun Paris Saint Germain, Italia memiliki sosok Roberto Baggio. Pemain gondrong dengan ciri khas kuncir kuda serta mengenakan anting itu kerap kali mempertontonkan aksinya yang menyorot mata di samping jalannya pertandingan itu sendiri.
Penulis tak ingin buru-buru masuk terkait kegagalan Baggio dalam menjebol gawang Brazil di Final Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat dalam drama adu penalti, melainkan memulai kisah transfer Baggio ke Juventus dari Fiorentina yang menegaskan tak akurnya publik sepak bola Turin dan Firenze.
Sebelum gong putaran final Piala Dunia 1990 di Italia, pecinta sepak bola di Italia langsung digegerkan dengan mega transfer Roberto Baggio dari Fiorentina ke Juventus senilai 8 hingga 10 juta pound. Praktis saat itu Baggio menjadi pemain termahal dunia mengalahkan transfer Ruud Gullit dari PSV Eindhoven ke AC Milan sebesar 6 juta pound.
ADVERTISEMENT
Aksi protes dari fans fanatik La Viola, Il Gigliati, tumpah ruah di jalanan kota Firenze yang menyebabkan sedikitnya 50 orang fans La Viola terluka. Namun, setidaknya bersama Juventus Baggio sukses mengangkat sejumlah tropi seperti Piala UEFA (1992/1993), Scudetto 1995/1995) dan Coppa Italia di tahun yang sama. Kesemuanya itu tak didapatkan Baggio bersama Fiorentina.
Meski sukses membantu Juventus meraih gelar, nampaknya tak mudah bagi Baggio untuk merebut hati fans Bianconeri. Setidaknya butuh dua musim bagi fans garis keras Juventus menerima keberadaan Baggio di Stadion Delle Alpi.
Sebagai seorang pesepakbola sekaligus sebagai manusia biasa, Baggio juga memiliki sisi negatif yang membuat karir sepak bolanya cepat betul meredup. Kebiasaannya yang kerap mengkritik pelatih kepala membuatnya sulit untuk menembus susunan tim inti.
ADVERTISEMENT
Tak bisa dipungkiri bahwa untuk menang apalagi menjadi juara di dalam permainan sepak bola dibutuhkan juru taktik yang hebat serta keahlian individu pemain. Mungkin bagi sebuah tim memiliki seoarang Baggio adalah suatu nilai lebih untuk mendekatkan diri dengan banyak gelar. Tetapi di sisi yang lain, menaati atau menghormati keputusan pelatih kepala atas penerapan strategi di lapangan juga merupakan hal yang tak kalah penting.
Dalam buku otobiografi yang berjudul ‘Una Porta Nel Cielo’, Baggio mengakui bahwa dirinya banyak mengalami pertengkaran dengan manajer klub dan timnas. Kebiasannya mengkritik manajer menyebabkan dia tidak diberangkatkan ke Piala Dunia 2002 oleh pelatih Giovanni Trapattoni.
Hingga akhirnya hal yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh Baggio, seorang pesepakbola dengan skill di atas rata-rata pun datang. Final Piala Dunia 1994, tepatnya pada 17 Juli 1994, malaikat maut seolah mencabut kegemilangan Baggio sebagai pesepakbola.
ADVERTISEMENT
Ia gagal mengeksekusi penalti yang sekaligus mengantarkan Romario dan seluruh pemain timnas Brazil merayakan kemenangan. Lima gol yang diciptakannya di babak-babak sebelumnya seperti tak berguna. Kisah Piala Dunia 1994 pun menjadi kedukaan yang mendalam bagi Baggio dan seluruh rakyat Italia.
Kembali penulis menegaskan, inilah babak pembuka dari kehancuran Baggio yang berlumur dosa karena gagal mengeksekusi penalti.
Ibarat sebuah hari pembalasan seperti kisah keagamaan tentang akherat, kegemilangan Baggio sebagai pesepakbola menurun drastis. Gelar pemain terbaik dunia 1993 atau sekarang dikenal dengan istilah Ballon d’Or tak nampak pasca Piala Dunia 1994.
Munculnya The Rising Star pada diri Del Piero serta kehadiran Marcelo Lippi di Juventus dan ditambah cedera yang dialami Baggio seolah bersekongkol menenggelamkannya. Lippi lebih tergoda pada bakat Del Piero dan memarkir Baggio di bangku cadangan yang kebetulan saat itu cedera.
Del Piero bersama piala Liga Champions. (Foto: WIkimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Del Piero bersama piala Liga Champions. (Foto: WIkimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Hari pembalasan belum usai, Baggio seperti sedang dicuci akan dosanya. Ia pun terbuang ke AC Milan seiring publik Turin yang telah ‘kedanan’ pada sosok Del Piero.
Meski membantu Milan meraih gelar Seria di musim 1995/96, faktanya Fabio Capello lebih menunjukan sikap menyia-nyiakan Baggio. Hingga akhirnya pintu Timnas Italia untuk gelaran Piala Eropa 1996 pun tertutup bagi pemaian yang kerap mengenakan nomor 10 itu. Arrigo Sacchi tak mengangkut Baggio ke Inggris.
Tak terpakai di Milan, Baggio memilih terjun paying untuk bergabung dengan tim papan bawah Serie A Bologna. Baggio balum habis, sebagai striker ia masih produktif, 22 gol selama semusim diberikannya untuk Bologna.
Seolah dosanya terangkat, tapi sebetulnya tidak, Baggio pun kembali masuk timnas Italia di Piala Dunia 1998 di Perancis. Tapi sayangnya kemegabintangan Baggio hanya tinggal nama, ia hanya menjadi pelapis bagi Del Piero.
ADVERTISEMENT
Pasca Piala Dunia 98, Baggio kembali bermain untuk tim papan atas Serie A, ia memilih Inter Milan untuk melanjutkan karirnya. Berharap bias kembali gemilang, kondisi Baggio malah kian parah. Untuk kedua kalinya, Baggio bertemu dengan Lippi kali ini di Inter.
Tak jauh seperti kala di Juventus, Lippi pun menganggap Baggio hanyalah pilihan kedua. Lippi lebih mempercayakan Vieri, Recoba, Zamorano atau Adrian Mutu di lini serang Inter. Kali ini perlakuan Lippi ke Baggio lebih parah. Setelah Baggio menolak menjadi mata-mata bagi Lippi di ruang ganti pemain, setelah itu pula karir sepak bola Baggio di Inter pun tamat. Sejak saat itu Lippi menganggap Baggio tidak lagi ada di skuad hitam-biru.
Lippi bersama Baggio dan Vialli. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Lippi bersama Baggio dan Vialli. (Foto: Wikimedia Commons)
Brescia menjadi pelabuhan Baggio selanjutnya sekaligus sebagai tempatnya menutup karir sepak bola. Baggio kembali menggiring bola dan mencetak gol untuk Brescia.
ADVERTISEMENT
Sebagai pemain senior Baggio menemukan kedamaian bermain bola. Meskipun beberapa pihak mengumpat bahwa Brescia tak layak bagi seorang maestro macam Baggio. Tiga tahun dihabiskan Baggio mengabdi untuk Brescia sebelum akhirnya gantung sepatu.
Semua manusia pasti pernah salah termasuk Baggio. Tapi setidaknya ia telah menjebol gawang lawan sebanyak 300 kali dan menjadi pesepakbola pertama Italia yang mencetak gol di tiga piala dunia berbeda.
"Kegagalan penalti di Final Piala Dunia 1994 adalah momen terburuk saya. Jika saya bisa menghapus momen dalam karir saya, maka itu mungkin menjadi salah satu bagian yang akan saya hapus," ucap Baggio dalam buku biografinya mengakui.
Setidaknya Baggio sadar kegagalannya di drama adu penalti telah membuatnya berlumur dosa. Karir sepak bolanya yang seketika ‘mampet’ pasca Piala Dunia 94 ibarat sebuah perjalanan taubat Baggio mensucikan diri dari dosa.
ADVERTISEMENT