IWD 2024: Perempuan (Masih) dalam Belenggu Patriarki

Tama Margaretha Nauli
I am a bachelor of Political Science at UPNVJ. Has a huge interest in socio-political issues, humanity, social justice, feminism issues, and environmental justice issues and leads me to be a bitter realist.
Konten dari Pengguna
11 Maret 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tama Margaretha Nauli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tanggal 8 Maret 2024 kita merayakan Hari Perempuan Internasional/IWD 2024. Mirisnya, perempuan masih saja terjebak dalam belenggu patriarki. Mengingat ratusan tahun perempuan telah berjuang dalam mengambil haknya yang telah dirampas, dapat dikonklusikan bahwa perjuangan ini tidak instan, melainkan melalui proses panjang dengan kolektif yang masif. IWD 2024 bertema dalam PPHAM adalah “Perempuan Pembela HAM dan Rapor Hitam Demokrasi”. Sementara GEBRAK juga memiliki agenda serupa, yaitu "Perempuan dan Rakyat Bersatu Membangun Kekuatan Politik Alternatif, Tolak Politik Dinasti, dan Lawan Rezim Oligarki". Menurut seorang demonstran dalam IWD 2024 tema ini diusung karena perempuan dan anak selalu menjadi korban yang paling dirugikan dalam pembangunan. Contohnya, jika ada sebuah pembangunan yang merugikan warga sekitar dan tidak jelasnya Pemerintah dalam menanggulangi masalah warga yang terdampak, istri menjadi bahan empuk untuk dijadikan pelarian kekesalan para suami (Orasi dalam IWD, 2024).
Sumber: Foto Pribadi. Dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional, para puan dan tuan berkumpul untuk long march dari Gedung ILO ke depan Istana Negara.
"Tapi setiap hal memiliki maksud dan tujuannya! Begitu juga laki-laki dan perempuan, kita punya peran masing-masing." Adalah ungkapan yang sering terdengar dalam perbincangan mengenai feminisme. Hal ini dapat dipatahkan dalam segala aspek. Priyanka Chopra dalam setiap interviewnya selalu memberikan semangat kepada setiap wanita untuk dapat merasa dihargai, mempunyai hak untuk melawan ketidakadilan (IDN, 2021). Meluruskan kekeliruan "setiap hal memiliki maksud dan tujuan" dalam setiap diskusi atau perdebatan mengenai feminisme, kesetaraan gender merupakan suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam hak secara hukum dan kondisi atau kualitas hidup yang sama. Jadi, benar, kita memiliki peran yang berbeda, namun kesetaraan terhadap hak politik, pekerjaan, hidup, kita berada dalam level yang -seharusnya- setara.
ADVERTISEMENT
Konten-konten non-konsensual dan patriarkis masih terbilang ramai di kanal media sosial. Cukup makan hati kalau lihat konten seperti itu, ya. Hal-hal serupa makin membuat saya skeptis soal konsep pernikahan, ditambah lingkungan budaya masyarakat kita yang misoginis: kaum adam jauh dari sanksi. "Perempuan dalam belenggu patriarki" adalah ungkapan yang merujuk pada kondisi di mana perempuan dianggap terikat atau terbatas oleh sistem sosial, politik, dan budaya yang didominasi oleh kepentingan dan kontrol laki-laki. Patriarki adalah sebuah sistem sosial di mana kekuasaan dan otoritas dipegang oleh laki-laki, dan perempuan seringkali dianggap lebih rendah atau dikecualikan dari proses pengambilan keputusan serta memiliki akses terbatas terhadap sumber daya dan kesempatan.
Sumber: Foto Pribadi. Pengabadian foto dalam rangka merawat perjuangan peremuan sedunia.
Persoalan pernikahan, dalam masyarakat kita, perempuan akan selalu jadi objek yang disalahkan jika memutuskan untuk tidak mau memiliki anak. Tragic? It is. Padahal persoalan punya atau tidaknya anak merupakan diskursus yang wajib dibicarakan dalam sudut pandang yang setara antara kedua pasangan. Pada konteks Indonesia, pendapat Ibu harus lebih diutamakan karena sejarah membuktikan bahwa urusan anak seringkali dilimpahkan dalam bentuk tanggung jawab tunggal seorang Ibu. Tidak bermaksud untuk mendegradasi peran Ayah, tapi faktanya dalam hal membesarkan anak, peran Ibu di Indonesia masih kental sekali. Sejarah membuktikan bahwa urusan anak seringkali dilimpahkan dalam bentuk tanggung jawab tunggal seorang Ibu. Seminggu yang lalu sempat ramai di Twitter perbincangan soal Indonesia yang berada di urutan ketiga ketiadaan peran ayah atau fatherless, kan? Hal ini terbukti, kok, dari pengalaman saya dan teman-teman saya bahwa peran ayah memang minim dalam proses tumbuh kembang anak.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, di Indonesia sendiri masih banyak masyarakat yang memiliki keyakinan bahwa tugas domestik mengurusi anak, ya, peran ibu: semua dilimpahkan ke perempuan. Sedangkan laki-laki? “Cari duit…” pikir mereka.
"Ya kalo ceweknya mau jadi IRT, terus mau disalahin?" Ya, tidak. Balik lagi, persoalan ini merupakan bagian dari kesepakatan konsensual dalam rumah tangga. Tapi, sadar, kan? Banyak wanita yang menggugurkan mimpinya hanya untuk memuaskan nafsu sosial dengan berusaha menjadi sosok “menantu”, “istri”, juga “ibu” yang baik? Secara tidak sadar, wanita dituntut untuk menjadi selfless, subordinat, dan dipaksa untuk menjadi kelas sosial nomor dua dengan ancaman sanksi sosial bagi yang membangkang. Kasarnya, wanita dibungkam. Mereka diperbudak. Tentu bukan untuk kalian yang secara sukarela menjadi IRT, ya. Selagi konsensual, silahkan.
ADVERTISEMENT
Padahal dalam kajian sosialnya, feminisme sudah masuk gelombang keempat. Cih, kita ketinggalan jauh, ya, kayaknya?
Sedih, ya?
Sudahi bungkam,
Lawan!
Sumber:
Walters, Margaret. 2021. Feminisme: Sebuah Pengantar Singkat. Jakarta: Ircisod.
El-Saadawi, Nawal. 2016. Perempuan di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
https://www.voaindonesia.com/a/konten-patriarkis-bkkbn-87-organisasi-layangkan-surat-protes/4940386.html
https://www.idntimes.com/life/women/klara-livia-1/priyanka-chopra-ajak-perempuan-terus-memperjuangkan-kesetaraan-gender
Observasi lapangan dalam IWD 2024 oleh penulis