Konten dari Pengguna

Harapan Pendidikan di Tangan Menteri Pendidikan Baru

Tantan
Praktiisi Pendidikan, merupakan Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung, Tinggal di Kota Moci
16 Oktober 2024 14:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustrasi Pembelajaran, sebuah harapan adanya menteri pendidikan baru (dok pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi Pembelajaran, sebuah harapan adanya menteri pendidikan baru (dok pribadi)
ADVERTISEMENT
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029 tinggal menghitung hari, yaitu tanggal 20 oktober 2024. Pak Prabowo sebagai presiden terpilih sudah mengantongi nama-nama calon pembantunya di kabinet.
ADVERTISEMENT
Tentunya sesuai janji beliau maka yang menjadi pembantunya adalah orang-orang terpilih yang secara professional akan menduduki jabatan di tiap kementeriannya.
Begitupun pada kementerian pendidikan, yang rencananya akan dipecah minimal menjadi dua atau tiga kementerian yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Kebudayaan. Tiga kementerian ini harapannya diisi oleh orang-orang professional di dalamnya.
Sebut saja Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed. Ia menjadi kandidat menteri Pendidikan dasar dan menengah yang sudah digadang-gadang dan Ia pun menyatakan kesanggupan untuk mendampingi Pak Prabowo dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya yang luas dalam bidang pendidikan dan kepemimpinan sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2022-2027, Ia memainkan peran strategis dalam mengelola organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki jaringan luas lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga Pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinannya di Muhammadiyah, yang dikenal fokus pada pengembangan pendidikan berkualitas, menjadikannya sosok yang sangat kompeten untuk menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
Visi dan pemahamannya yang mendalam tentang tantangan pendidikan di Indonesia, ditambah dengan komitmennya terhadap nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, memberikan keyakinan bahwa ia mampu memajukan sistem pendidikan yang lebih inklusif, berdaya saing, dan berlandaskan moralitas dalam mempersiapkan Indonesia emas.
Namun demikian, tantangan berat dunia pendidikan dasar dan menengah saat ini menuntut untuk pak menteri lebih bisa bekerja keras lagi dalam mengelola pendidikan yang semakin kompleks.
ada tujuh poin yang menjadi PR besar Menteri yang baru:
Pertama, Kualitas dan Kuantitas Guru.
Hal yang pertama harus dibenahi adalah guru, pembenahan kuantitas dan kualitas guru adalah PR besar yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan. Jika pendidikan kita ingin berhasil, meyakinkan jumlah guru dan kulitas guru memenuhi standar adalah sebuah keniscayaan.
ADVERTISEMENT
Setelah Jepang dibom oleh Sekutu, konon Kaisar Hirohito bertanya, "Berapa jumlah guru yang masih kita miliki?", ini artinya dalam lingkup besar bernegara dalam membangkitkan negara yang terpuruk, Kaisar Jepang menanyakan pertama kali adalah berapa jumlah guru yang ada.
Apalagi dalam hal ini sudah mengerucut pada kementerian Pendidikan. Secara kuantitas rasio jumlah guru dan siswa masih jauh dari ideal, maka tugas pak menteri baru adalah membuat ideal rasio guru dan siswa baik ditingkat SD, SMP maupun di tingkat SMA.
Sehingga ketika tuntutan pembelajaran berdiferensiasi, pembelajaran berpusat pada murid dan guru harus mengenal betul masing-masing siswanya, tidak ada lagi guru berdalih dengan tidak bisa mengenal lebih jauh siswanya karena terlalu banyak.
Tidak ada lagi sekolah negeri yang hanya terdiri dari satu atau dua guru ASN saja, dengan berbagai pekerjaan dan tanggung jawab dipundaknya.
ADVERTISEMENT
Selain kuantitas guru, tidak kalah juga pentingnya kualitas guru. Kalau melihat standar kualitas pendidikan formal guru di Finlandia yaitu S2 mengapa di Indonesia tidak? Daripada menghamburkan anggaran dengan program yang tidak jelas, lebih baik peningkatan kualitas guru melalui jalur formal.
Sebagai contoh program PPG dan Guru Penggerak, jikalau ada kompetensi guru dianggap kurang mumpuni untuk menjadi guru yang professional bisa dilakukan di jalur Pendidikan formal. Baik untuk mereka yang sudah jadi guru (Pendidikan S2) atau calon guru (S1).
Apa yang ingin dicapai dalam pendidikan Guru Penggerak seharusnya bisa dimasukan dalam kurikulum formal S1 dan s2 keguruan. Tidak kemudian membuat jalur sendiri dan memberikan labeling dan kesempatan yang berbeda untuk hanya pada sebagian guru.
ADVERTISEMENT
Kedua, Sarana Prasarana.
Sarana dan prasana dasar bagi terselenggaranya Pendidikan yang bermutu adalah sebuah keniscayaan. Bukan hanya diperkotaan saja, namun jauh dari itu dipelosok-plosok sana jumlah sekolah penyelenggara pendidikan masih banyak sarana dan prasarananya yang jauh di bawah standar.
Jangankan berbicara labolatorium komputer atau lab multimedia yang cangih, atau ruangan perpustakaan yang lengkap, untuk belajar saja masih banyak sekolah yang kekurangan kelas, tidak memiliki tempat ibadah, tidak memiliki pagar, atau bahkan sekolah yang masih menumpang di sekolah lain dengan sistem sekolah bergiliran.
PR besar pak menteri baru adalah memastikan kebutuhan dasar sarana dan prasarana sekolah dimanapun berada dapat tercukupi, tidak hanya diperkotaan namun di seluruh pelosok wilayah NKRI yang merupakan negara kepulauan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Kesejahteraan Guru.
Dorongan mensejahterakan guru harus terus dikumandangkan, termasuk oleh pimpinan ditingkat kementerian. Kalau pimpinan di level kementerian saja hanya sibuk mengurusi kesejahteraan pribadi dan kelompoknya, ya kapan mendorong kesejahteraan anak buahnya?.
Kesejahteraan finansial guru baik negeri ataupun swasta harus tetap menjadi perhatian, minimal selevel dengan negara tetangga (Singapura, Brunai atau Malaysia).
Jangan sampai dibiarkan terus stigma profesi guru adalah profesi rendahan(dalam konteks finansial), jauh jika dibandingkan dengan profesi, termasuk dalam lingkup ASN.
Jika hal ini tidak mendapat perhatian maka para generasi penerus akan terus memandang sebelah mata pada profesi ini, dan kualitas pendidikan Indonesia akan berjalan di tempat.
Bukankah Indonesia ingin bangkit menjadi negara maju dengan bonus demografi yang akan datang?
ADVERTISEMENT
Keempat, Pembiayaan.
Hal yang wajar jika tuntutan yang segunung kepada dunia Pendidikan untuk memiliki kesetaraan kualitas pendidikan dengan negara-negara maju di dunia dikaitkan dengan masalah pembiayaan.
Pendidikan yang berkualitas harus didukung juga oleh pembiayaan yang standar. Pemenuhan standar pembiayaan pendidikan persiswa tiap jenjang harus memenuhi standar pembiayaan seperti yang sudah dihitung oleh para ahli.
Tidak ada pendidikan gratis, gratis itu karena ada bantuan pendidikan dari pemerintah, jika pemerintah tidak sanggup untuk memenuhi pembiyaan yang standar, maka pembiayaan semestiya ada peran dari orang tua dan masyarakat.
Pemerintah harus menginformasikan bahwa dalam jenjang sekolah tertentu pembiayaan sekolah yang ideal persiswa pertahunnya adalah sekian, berapa kekurangan bisa menjadi tanggung jawab bersama orangtua dan masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu.
ADVERTISEMENT
Sehingga masyarakat paham dan dapat peduli terhadap peningkatan kualitas pendidikan yang ideal.
Kelima, Perubahan Kurikulum
Ganti menteri identik dengan ganti kurikulum. Namun demikian perubahan ini harus tetap ada, bagaimana kurikulum yang ada dapat diterima dan secara real dapat mempersiapkan generasi kedepan menjadi lebih baik.
Kurikulum saat ini perlu dikaji ulang secara komprehensip, melibatkan para pakar pendidikan. Jika diperlukan adanya perubahan yang mendasar, maka menurut hemat saya kita tidak perlu alergi terhadap perubahan.
Evaluasi itu sebuah keharusan, tentunya secara real bisa memotret implementasi dan penerimaan di lapangan oleh guru dan peserta didik kita.
Tidak hanya di sekolah perkotaan yang sudah mapan saja, namun juga sekolah-sekolah yang belum mapan secara infrastruktur dan ketersediaan serta kualitas guru.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya menteri baru yang kompeten di bidangnya, sangat diharapkan pengelolaan pendidikan di Indonesia pun dikelola secara profesional, bukan berbasis proyek.