Konten dari Pengguna

Kurikulum dan Esensi Perubahannya

Tantan
Praktiisi Pendidikan, merupakan Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung, Tinggal di Kota Moci
4 Desember 2022 23:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pembelajaran di Kelas (foto dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pembelajaran di Kelas (foto dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kurikulum merdeka seharusnya merupakan pengembangan dari kurikulum sebelumnya. Dengan adanya pandemi covid-19, Kemendikburistek menilai telah terjadinya loss learning disebagian besar peserta didik di Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Pada saat pandemi covid-19 tersebut pembelajaran dilakukan secara daring, maka tentunya Kemendikbudristek mengeluarkan sebuah kebijakan yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang ada, yaitu mengeluarkan surat edaran diberlakukannya kurikulum darurat.
Perkembangan selanjutnya adalah dimunculkannya kurikulum prototipe atau sekarang berkembang menjadi kurikulum merdeka. Sejalan dengan itu, maka segala peraturan yang mengiringinya mulai diberlakukan, baik itu berkaitan dengan muatan kurikulum, proses pembelajaran sampai dengan mekanisme penilaian.
Pembelajaran berdiferensiasi yang merupakan wujud dari pembelajaran student center mulai digaung-gaungkan. Pembelajaran tersebut mengedepankan pendekatan individual dalam pembelajaran.
Seorang guru harus memahami betul karakteristik dari peserta didiknya, sehingga dalam pembelajaran di kelas bisa bervariasi sesuai dengan tingkat pemahaman siswa sebelumnya.
Siswa yang memiliki pemahaman lebih pada capaian pembelajaran dalam mata pelajaran tertentu tidak bisa disamakan pembelajarannya dengan temannya yang memiliki pemahaman di bawahnya.
ADVERTISEMENT
Pendekatan pembelajaran berdiferensiasi ini sangat bagus dalam konsepnya, karena dapat melayani pembelajaran untuk setiap peserta didik. Namun dalam praktiknya tidak semudah dari apa yang dikonsepkan.
Sebetulnya istilah pembelajaran berdiferensiasi ini bukan suatu hal yang baru, bahkan dalam kurikulum sebelumnya dengan menggunakan pola layanan Sistem Kredit Semester (SKS) hal ini sudah digaungkan dan dilaksanakan oleh beberapa sekolah.
Perubahan mindset guru menjadi faktor yang paling penting dalam pelaksanaan perubahan kurikulum ini. Hal ini menjadi masalah yang tersulit bagi pemerintah dalam melakukan perubahan kurikulum.
Sebagus apapun konsep kurikulumnya kalau mindset gurunya tidak dirubah, dijamin pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas tidak akan mengalami perubahan.
Perubahan mindset dari guru tersebut tidak bisa serta merta dalam waktu yang singkat bisa berubah. Apalagi jumlah guru di Indonesia seperti dikutip dari dataindonesia.id mencapai 3,31 juta orang dengan berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda dan tersebar sampai pelosok negeri ini.
ADVERTISEMENT
Uniknya pendidikan di Indonesia ini menyebabkan pendidikan kita tidak bisa disamakan dengan negara Singapura atau negara yang dikagumi oleh seluruh dunia dalam keberhasilannya di dunia pendidikan yaitu Finlandia.
Mungkin saja di negara-negara tersebut ketika kebijakan kurikulum baru diberlakukan, dalam waktu satu atau dua bulan bisa langsung tersampaikan dan terealisasikan. Letak geografis, kesiapan guru, dan kesiapan sarana-prasana persekolahan di negara tersebut cenderung tidak bermasalah.
Berbeda dengan di Indonesia, jangankan kurikulum merdeka yang baru sekitar 1,5 tahun diluncurkan oleh pemerintah, untuk kurikulum 2013 saja yang sudah hampir 10 tahun belum semua sekolah melaksanakannya.
Seperti dikutip dari situs wartapemeriksa.bpk.go.id pada tahun 2020, menyebutkan bahwa pemerintah belum optimal dalam menerapkan pembelajaran sesuai dengan kurikulum 2013, kemendikbud belum memiliki mekanisme pelatihan dan pendampingan guru yang dapat memastikan guru mampu mengembangkan model pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Letak geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, tidak memungkinkan melakukan perubahan kurikulum pendidikan yang cepat. Untuk itu diperlukan kebijakan yang tepat sesuai kondisi negara Indonesia. Kebijakan yang bertahap dan berkesinambungan.
Perubahan kurikulum hendaknya tidak mengubah segalanya dalam dunia pendidikan kita. Praktik baik yang sudah dijalankan pada kurikulum sebelumnya tidak perlu dihilangkan atau diganti nama. Hal ini akan membantu mempermudah guru dalam memahami dan mengimplementasikan kurikulum baru tersebut.
Bukankah kita menginginkan dunia pendidikan Indonesia lebih berhasil dari negara-negara lain? janganlah istilah-istilah sederhana yang sudah familiar di dunia pendidikan kita dan tidak terlalu essensi kemudian harus diutak-atik supaya terlihat berbeda dari kurikulum sebelumnya.
Sebagai contoh yang paling sederhana, dalam kurikulum merdeka istilah peserta didik dirubah menjadi pelajar. Perubahan tersebut bukan suatu hal essensi bahkan merupakan perubahan yang kontra produktif. Apalagi perubahan sepele itu harus menabrak UU Sisdiknas tahun 2003 yang masih berlaku sampai saat ini yang secara jelas masih memakai istilah peserta didik.
ADVERTISEMENT
Guru-guru kita sudah nyaman dengan istilah silabus, Rencana Pelaksnaan Pembelajaran(RPP) dan sebagainya. Bahkan dosen-dosen pendidikan perguruan tinggi pun dalam pembekalan Pendidikan Profesi Guru (PPG) masih menggunakan istilah itu. Bagaimana kemudian guru-guru bisa menangkap perubahan esensi kurikulum kalau mereka dipusingkan dengan istilah baru seperti CP, ATP, modul dan istilah lainnya.
Dalam sebuah diskusi santai dengan tokoh pendidikan Jawa Barat Prof. Iim Wasliman, beliau sepemikiran dengan penulis bahwa pendidikan kita belum memiliki grand design yang jelas untuk program jangka panjang, sehingga terkesan ganti menteri ganti kurikulum. Seharusnya kalupun ganti menteri, kebijakannya adalah memperbaiki program yang kurang baik, dan melanjutkan program yang sudah bagus.