news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyoal Efektivitas Libur Sekolah Selama Ramadhan

Tantan
Praktiisi Pendidikan, merupakan Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara Bandung, Tinggal di Kota Moci
Konten dari Pengguna
27 Maret 2023 17:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tantan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain gadget. Foto: Fixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain gadget. Foto: Fixabay
ADVERTISEMENT
Melihat sejarah pada zaman penjajahan dulu, baik zaman Belanda maupun zaman Jepang, persekolahan pribumi pada bulan suci Ramadhan diliburkan selama satu bulan penuh, dengan dalih menurut mereka (penjajah) adalah mereka menghormati para penganut agama Islam dalam melaksanakan ibadah puasa.
ADVERTISEMENT
Walaupun ada anggapan-anggapan lain seperti yang diungkapkan oleh Daoed Yoesoef sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era tahun 1978, ia mengungkapkan bahwa libur satu bulan di bulan suci Ramadhan hanya untuk sekolah pribumi saja, namun untuk sekolah seperti Holland Inlandse School (HIS) tidak diliburkan, hal tersebut dikemukakan oleh Muhammad Subarkah dalam sebuah kolom di Republika.
Hal ini yang menjadi sebuah tanda tanya besar bagi Daoed Yoesoef, apakah memang pemerintah kolonial meliburkan siswa belajar pada bukan suci Ramadhan ini betul-betul merupakan penghormatan kepada muslim yang melaksanakan ibadah puasa atau ajang pembodohan masyarakat pribumi pada waktu itu?
Maka terjadilah perdebatan yang sengit antara pemerintah yang waktu itu diwakili oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Yoesoef dengan para tokoh organisasi Islam, walaupun pada akhirnya Daoed Yoesoef tetap bersikeras mengubah kultur libur sekolah yang sudah mengakar dari zaman penjajahan sampai dengan tahun 1978 tersebut. Sehingga libur di bulan Ramadhan tidak penuh selama satu bulan, tapi libur siswa masuk sekolah seperti umumnya pada jaman sekarang.
ADVERTISEMENT
Pada zaman Presiden ke-4 RI yaitu KH Abdurahhaman Wahid (Gusdur) pada tahun 1999-2001, sebagai presiden melalui menterinya, Gusdur mengubah kembali kebijakan libur Ramadhan ini yaitu siswa libur penuh di bulan suci Ramadhan, dengan harapan supaya para pelajar lebih konsentrasi beribadah di bulan suci Ramadhan.
Namun kemudian, setelah pemerintahan KH Abdurrahman Wahid ini selesai, dengan penggantian presiden baru maka kebijakannya pun kembali berubah, yaitu tidak jauh dengan kebijakan libur Ramadhan seperti sekarang ini yaitu libur di awal Ramadhan dan di akhir Ramadhan menjelang lebaran.
Hal-hal di atas merupakan pembicaraan masalah waktu, yaitu masalah liburnya beberapa hari atau satu bulan penuh. Agak sulit bagi kita untuk memperdebatkan esensi dari jumlah hari libur tersebut kalau dikaitkan dengan kepentingan peradaban kita sekarang ini yang sudah berubah jauh kulturnya dengan masa lalu.
ADVERTISEMENT
Zaman sudah berubah, yang kita bicarakan adalah pendidikan anak-anak kita masa sekarang bukan masa lalu lagi. Formulasi pendidikan pada bulan Ramadhan baik di rumah maupun di sekolah harus dikaji ulang kembali, bagaimana esensi Ramadhan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan bisa terwujud.
Ilustrasi anak memakai gadget untuk bermain game. Foto: Shutter Stock
Peran pemerintah sangat diperlukan dalam memformulasikan hal tersebut, terutama kemendikbud dan kemenag tentunya dengan melibatkan tokoh-tokoh pendidikan dan tokoh-tokoh Islam dalam merumuskannya.
Kita bisa memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang semestinya sudah menjadi acuan bagi pemangku kepentingan pendidikan khususnya Kemendikbud dalam menentukan strategi pendidikan khususnya bagi yang beragama Islam di bulan suci Ramadhan ini.
Apakah para siswa ketika di sekolah mereka efektif belajar? Apa yang mereka pelajari? Siapkah guru-guru di sekolah membina siswanya di bulan Ramadhan? Atau apakah ketika para siswa libur satu bulan penuh mereka terkondisikan oleh orang tuanya untuk beribadah? Apakah mereka senang dengan libur satu bulan di rumah? Apa saja yang mereka kerjakan selama libur Ramadhan ini?
ADVERTISEMENT
Fenomena-fenomena yang berkembang di masyarakat pendidikan kita jangan sampai dianggap angin lalu saja, ketidakberdayaan orang tua dalam mendidik anak-anaknya di rumah harus menjadi perhatian, atau mungkin negara bisa mengambil alih pendidikan bagi mereka.
Merebaknya tawuran yang hampir masif di daerah-daerah yang ada di Indonesia pada malam dan dini hari, “perang sarung” yang telah menelan beberapa korban, pembacokan oleh geng motor, dan pemakaian narkoba, banyak menghiasi pemberitaan di berbagai media,walaupun sekarang berada di bulan Ramdhan.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi ini merupakan tanggung jawab bersama dan yang paling utama adalah keluarga. Namun jika keluarga sudah angkat tangan dalam mendidik anak mereka berarti negara harus berperan dalam hal ini.
Kendali kemendikbud, Kemenag, dan Keamanan harus secara serius mengendalikan permasalahan-permasalahan yang terjadi, karena yang menjadi pelaku permasalahan itu pada umumnya adalah anak-anak remaja yang masih ada di bangku sekolah.
ADVERTISEMENT
Penerapan strategi pendidikan kita dalam membentuk karakter yang dibingkai dalam enam dimensi pelajar Pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; mandiri; bergotong-royong; berkebinekaan global; bernalar kritis; serta kreatif—harus diimplementasikan dengan baik.
Pencapaian dimensi profil pelajar Pancasila yang pertama yaitu membentuk manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia bisa diwujudkan projeknya pada bulan suci Ramadhan ini.
Jurus andalan Kemendikbudristek dalam implementasi kurikulum merdeka ini bisa diuji dengan melaksanakan projek penguatan profil pelajar Pancasila dengan mengambil tema yang berkaitan dengan peribadatan di bulan Ramadhan. Yang pelaksanaannya bisa diserahkan kepada sekolah masing-masing, asalkan secara spesifik Kemendikbud membuat arahan khusus untuk kebijakan pelaksanaannya di Bulan Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Atau mungkin Kemenag berkolaborasi dengan Kemendikbud mengadakan kurikulum kepesantrenan di sekolah-sekolah umum. Sekolah mengundang para tutor dari pesantren terdekat dalam mengisi kegiatan satu bulan penuh di bulan suci Ramadhan. Tentunya bukan hanya sekadar gebyar, atau pencapaian rekor muri, tapi harus menjunjung efisiensi dan efektivitas kegiatan dalam membangun karakter-karakter baik dengan pondasi keagamaan.
Kalau boleh kita jujur, bagaimana kita melihat anak-anak kita selama mereka libur, sudah berapa juz Al-Qur'an yang mereka baca? Atau sudah berapa ayat suci Al-Qur'an yang mereka hafal, atau berapa buku yang mereka baca selama libur? Tentunya hanya berapa persen kiranya yang jawabannya dapat memuaskan kita sebagai orang tua.
Apalagi dengan hampir semua anak sekarang memiliki gadget, waktu libur digunakan untuk bermain game online, atau bermain TikTok. Jika ini tidak disikapi dengan serius maka hapus sudah harapan pendidikan kita dalam membentuk karakter mereka khususya di bulan suci Ramadhan ini.
ADVERTISEMENT