Konten dari Pengguna
Madinah, Kedamaian yang Menyembuhkan
15 Juni 2025 18:32 WIB
·
waktu baca 5 menitKiriman Pengguna
Madinah, Kedamaian yang Menyembuhkan
Kemuliaan tidak selalu ditandai nama yang diagungkan manusia dan keabadian bisa lahir dari kerahasiaan, serta keikhlasan itu sejatinya memang tanpa nama, cukup Allah yang tahu.Tatang Muttaqin

Tulisan dari Tatang Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Usai rangkaian ibadah haji yang melelahkan jiwa dan raga, tibalah kami menuju Madinah—kota penuh kedamaian yang menjadi tempat istirahat Nabi terakhir, dan tempat kami menambatkan hati di ujung perjalanan spiritual ini.
ADVERTISEMENT
Perjalanan dari Makkah ke Madinah tidak mudah karena pergerakan jemaah yang cukup masif sehingga jalanan padat merayap. Waktu salat sering tiba saat kami masih dalam kendaraan sehingga sulit mencari tempat wudu, apalagi air yang layak dengan antrean yang luar biasa. Saya memilih bertayamum—menepuk debu bersih pada bagian dalam kendaraan, agar tak satu pun salat terlewatkan. Hal ini bukan tentang sempurnanya gerakan, tapi tentang upaya menjaga hubungan kepada-Nya meski dalam situasi yang sulit sekalipun. Singkatnya kami bertayamum, berqashar, dan menunaikan salat sambil duduk—dengan hati yang tetap bersujud sepenuhnya.
Begitu tiba di Madinah, suasana langsung terasa berbeda karena udara lebih bersahabat, langit lebih sejuk, dan hati terasa ringan. Kami menginap di kawasan rombongan Eropa, jauh dari keramaian jemaah Indonesia. Tapi justru itu membawa keheningan yang dalam, seolah menjadi undangan untuk kontemplasi lebih khusyuk di Masjid Nabawi.
ADVERTISEMENT
Masjid Nabawi sungguh luar biasa. Keindahannya tak hanya pada bentuk fisiknya yang megah—tetapi pada ruh yang terasa begitu hidup di dalamnya. Setiap langkah terasa sakral dan setiap rakaat terasa penuh makna. Saya menerawang saat Rasulullah mengajar, salat, bercanda dengan para sahabat, dan akhirnya beristirahat untuk selamanya.
Saya dan istri duduk lama setelah salat, tak buru-buru pulang sembari menyerap kesunyian, sesuatu yang didambakan di tanah air saat jelang salat subuh. Suasana yang tenang untuk menyampaikan salam kepada Nabi, menghaturkan keluh-kesah sehingga menitikkan air mata, menangis tanpa suara. Hal ini merupakan momen yang menggetarkan hati sekaligus menumbuhkan kesadaran diri yang lemah dan penuh dosa.
Selama di Madinah, ada cukup banyak waktu yang lebih santai sehingga kami dapat menyempatkan diri mengunjungi masjid-masjid kecil di sekitar Masjid Nabawi—yang dulunya adalah rumah atau tempat ibadah para sahabat. Bangunannya tidak mencolok, juga tidak megah tetapi justru dari kesederhanaan itu, saya belajar betapa para sahabat hidup dengan keikhlasan dan kedekatan yang nyata dengan Rasul.
ADVERTISEMENT
Tak jauh dari Mesjid Nabawi, ada salah satu situs yang mengesankan adalah stasiun kereta api lama peninggalan Turki Usmani—dulu bagian dari jalur kereta Istanbul–Madinah. Dibangun dengan teknologi tinggi di masanya, rel kereta diletakkan dengan presisi agar tak ada getaran yang mengganggu makam Nabi. Ini bukan sekadar rekayasa teknik, tapi bentuk adab dan cinta kepada Rasulullah SAW. Saya bergetar membayangkannya—betapa teknologi pun bisa tunduk dalam khidmat, bila dibangun dengan niat yang luhur.
Tak hanya masjid dan situs sejarah, Madinah juga menghadirkan keceriaan. Kami menyusuri pasar-pasar yang bersih dan tertib dengan para pedagangnya ramah dan cukup bisa berbahasa Indonesia sederhana, suasananya tenang dan tak ada suara keras senyampang dengan nama kotanya peradaban, madani.
Di hari-hari terakhir, kami diajak rombongan ke kebun kurma milik anggota Millî Görüş. Kami duduk di bawah pohon kurma, menikmati buah segar langsung dari pohonnya, sambil mengikuti acara tasyakur haji yang sederhana tapi hangat. Tasyakur itu bukan hanya perayaan tetapi juga menjadi semacam jeda untuk menyadari satu hal, yaitu kami telah menuntaskan perjalanan berat, tetapi yang lebih penting adalah perjalanan setelah ini, pulang ke kehidupan dengan hati yang baru.
ADVERTISEMENT
Jika Kota Makkah menguji kekuatan, Kota Madinah menyembuhkan luka. Di Makkah kami berjuang, di Madinah kami berdoa sehingga kami sadar, ibadah ini bukan hanya tentang sampai ke Ka’bah, tapi tentang bagaimana kami kembali ke rumah sebagai manusia yang lebih bertakwa, lebih lembut, dan lebih sadar bahwa hidup ini sementara.
Di sela-sela waktu kami beribadah di Masjid Nabawi, kami juga menyempatkan diri menelusuri jejak para sahabat Nabi yang agung.
Tak jauh dari pelataran masjid utama, berdiri beberapa masjid kecil, tenang dan sederhana—yang masing-masing menandai tempat tinggal atau salat para sahabat besar: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Bangunan fisik masjid tak ada yang megah, bahkan sebagian hanya berupa bangunan kecil berlantai keramik biasa sebagaimana layaknya musala atau langgar. Tapi saat kami melangkah ke dalamnya, terasa kehadiran yang berbeda, ada kesan bahwa tempat ini menjadi saksi bagi orang-orang terbaik generasi awal Islam—mereka yang hidup dalam kesederhanaan, namun teguh dalam keimanan. Saya membayangkan, di sinilah mereka pernah bersujud dan berdiskusi dalam lingkaran keilmuan bersama Rasulullah sehingga sekalipun sederhana bentuknya, tetapi agung dalam maknanya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kami menyempatkan mampir menziarahi kompleks pemakaman para sahabat di luar pelataran masjid. Tidak ada batu nisan megah, hanya gundukan-gundukan pasir sunyi tanpa tanda nama, tak ada tulisan, tak ada bunga hanya ada ketenangan. Dengan kesunyian itulah saya merasa seperti sedang diberi pelajaran yang sangat dalam, bahwa kemuliaan tidak selalu ditandai nama yang diagungkan manusia dan keabadian bisa lahir dari kerahasiaan, serta keikhlasan itu sejatinya memang tanpa nama, cukup Allah yang tahu.
Dalam hati saya bergumam, ini merupakan tempat orang-orang pilihan yang tak butuh gelar, tapi namanya disebut dalam setiap doa orang beriman. Dari sini saya belajar, kami datang ke tempat suci ini dari negeri yang jauh, dalam tubuh yang letih, tapi hati kami disambut oleh mereka yang tak lagi hidup tapi masih memberi pelajaran bahwa hidup yang layak diperjuangkan bukanlah yang paling terkenal, tapi yang paling berguna di sisi Allah.
ADVERTISEMENT