Konten dari Pengguna

Menapak Jejak Nabi, Menyusuri Jalan Hati

Tatang Muttaqin
Fellow di Groningen Research Centre for Southeast Asia and ASEAN, Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
3 Juni 2025 10:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Menapak Jejak Nabi, Menyusuri Jalan Hati
Saya merenung sejenak, di Arafah saya merasa kecil, di Muzdalifah saya merasa rapuh dan di Mina saya belajar menjadi kuat.
Tatang Muttaqin
Tulisan dari Tatang Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bersama rombongan Milli Gorus, kami melakukan napak tilas sejarah. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Bersama rombongan Milli Gorus, kami melakukan napak tilas sejarah. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Bersama rombongan Millî Görüş, kami tidak hanya melaksanakan haji, tapi juga menapak tilas sejarah. Tradisi Turki Usmani benar-benar hidup dalam perjalanan kami. Setiap tempat bersejarah kami kunjungi dengan penuh hormat dan ketakziman. Kami mendaki Gua Hira, tempat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama.
ADVERTISEMENT
Kami mendatangi Gua Tsur, tempat beliau bersembunyi bersama Abu Bakar saat hijrah. Kami mengunjungi tempat bersejarah Perjanjian Hudaibiyah, Masjid Dua Qiblat atau Qiblatain, Masjid Khandaq dan masjid-masjid lainnya hingga stasiun kereta api masa lalu yang dibangun Kekhalifahan Turki Usmani, yang dulu menghubungkan Madinah hingga ke Istanbul.
Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sejarah Islam yang selama ini hanya saya baca di buku, kini hadir nyata dalam debu, batu, dan udara yang saya hirup. Ini bukan sekadar ibadah haji. Ini adalah pengalaman historis dan spiritual yang menyentuh dua dimensi sekaligus: ainul yakin dan haqqul yakin—melihat dengan mata kepala sendiri dan meyakini sepenuh jiwa.
Meski fisik kami merasa letik namun jiwa dan semangat kami segar. Saat kami pulang ke Belanda, saya dan istri tahu bahwa diri kami tak lagi sama. Perjalanan ini mengubah cara kami memandang hidup, mempertebal keyakinan, dan memperhalus batin. Kami kembali ke tanah Eropa dengan hati yang mengarah ke Baitullah. Membersamai para peziarah dari penjuru dunia, kami belajar bahwa Islam bukan hanya agama yang saya warisi, tetapi jalan hidup yang harus terus saya hayati dan perjuangkan. Di atas bus Turki yang penuh air mata, di hadapan Ka’bah yang diam-diam bicara, dan di stasiun tua yang ditinggal masa, saya menemukan bahwa ibadah itu bukan soal ritual semata, tapi tentang menyatu dengan sejarah, kemanusiaan, dan Sang Pencipta.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang juga tak terlupakan dari perjalanan haji kami bersama rombongan Millî Görüş: bukan hanya rangkaian rukun ibadah, tapi penelusuran spiritual menyusuri jejak Nabi Muhammad SAW-yang membuat hati ini bergetar dan jiwa larut dalam keheningan sejarah.
Mendaki Gua Hira. Foto: Dok. Istimewa
Kami mendaki Gua Hira-bukit batu yang tinggi, panas, dan curam. Di puncaknya, ada celah sempit tempat Rasulullah SAW menyepi, bertafakur, dan akhirnya menerima wahyu pertama: Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq.
Sesampainya di atas, saya tertegun. Angin gurun menerpa wajah. Tak ada keheningan yang lebih dalam dari sunyi Gua Hira. Di tempat inilah sejarah manusia berubah. Di sini, seorang pria sederhana menerima tugas mulia dari langit. Saya menerawang membayangkan malam-malam Nabi di gua ini. Seorang diri, jauh dari hiruk pikuk dunia, hanya berbekal cahaya bulan dan keyakinan. Gua kecil itu, yang bahkan tidak bisa menampung dua orang dewasa dengan nyaman, justru menjadi panggung bagi wahyu ilahi pertama turun ke bumi.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian, kami menelusuri Gua Tsur. Ini bukan gua untuk kontemplasi, tapi tempat persembunyian. Di sanalah Rasulullah SAW dan Abu Bakar berlindung dari kejaran kaum Quraisy saat hijrah ke Madinah. Saya membayangkan bagaimana detak jantung Abu Bakar ketika musuh sudah sedemikian dekat, hingga ia berkata, Wahai Rasulullah, andai mereka menundukkan kepala sedikit saja, pasti mereka akan melihat kita.”
Tapi Rasul menenangkan: La tahzan, innallaha ma’ana...” Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Kalimat itu seperti menembus ruang dan waktu, menghantam dada saya sendiri: seakan diingatkan bahwa pertolongan Allah datang pada mereka yang berserah dan berjuang.
Kami juga menyempatkan diri menelusuri lokasi Perjanjian Hudaibiyah—perjanjian penting antara Rasulullah dan Quraisy yang menjadi tonggak kemenangan Islam. Tapi sungguh menyedihkan, tempat bersejarah ini tak lagi terawat. Tak ada penanda resmi. Yang ada hanyalah puing-puing dan tumpukan limbah konstruksi. Saya berdiri di sana dalam diam.
ADVERTISEMENT
Di antara reruntuhan itu, sejarah besar pernah terjadi. Di tanah berdebu ini, Rasulullah SAW menerima syarat-syarat yang terlihat merugikan namun justru melahirkan kemenangan dakwah yang luar biasa setelahnya. Di sinilah saya merasa tertampar: bahwa kemenangan sejati bukan selalu tentang menang di awal, tapi tentang kesabaran, kejelian membaca waktu, dan keyakinan terhadap janji Allah.
Kenangan keseharian di Makkah adalah setiap waktu salat, ada satu semangat yang terus menyala di hati: berlomba-lomba mendapat tempat terbaik di Masjidil Haram. Tak ada azan yang tidak menggugah langkah kami. Tak ada panggilan jemaah yang tidak membuat kami ingin segera bergegas, meski tubuh lelah, meski kaki pegal. Dari penginapan, kami berjalan kaki, kadang harus berputar jauh karena penjagaan yang ketat.
ADVERTISEMENT
Tapi semua itu serasa ringan karena ada tujuan yang indah: salat di masjid paling mulia di muka bumi. Di sana, saya melihat semangat yang menyatu. Orang tua berjalan tertatih, anak muda berlari-lari kecil, semua dengan satu tujuan: berdiri bersama dalam saf yang sama, menghadap Allah.
Subhanallah, betapa agungnya ukhuwah yang diciptakan dalam barisan salat. Ketika takbir imam berkumandang, saya meneteskan air mata. Ada kedamaian yang tak bisa dibeli, ada keberkahan yang tak bisa dijelaskan. Di sanalah saya tersadar: haji bukan hanya perjalanan tubuh ke Tanah Suci, tapi perjalanan jiwa ke sumber keyakinan.
Saya merenung bahwa langkah kami mendaki gua, menyusuri reruntuhan sejarah, dan melangkah ke Masjidil Haram hanyalah bentuk kecil dari perjuangan Rasul. Tapi melalui itu semua, saya menyadari bahwa iman tumbuh bukan di tempat nyaman—melainkan di medan yang berat, di antara batu, debu, dan air mata.
ADVERTISEMENT
Jika seluruh rangkaian haji adalah perjalanan mendaki spiritualitas, maka wukuf di Arafah adalah puncak tertingginya. Kami tiba di Arafah pagi menjelang siang saat langit mulai terik. Kemudian perlahan udara nyaris tak bergerak, panas menyengat tak hanya dari atas, tapi juga dari bawah—dari pasir dan kerikil yang menyerap mentari gurun.
Tapi justru di tengah panas menyengat itulah, kami semua berdiri, duduk, menangis, dan berdoa karena inilah Arafah, tempat seluruh dosa luruh. Inilah momentum saat langit terbuka dan rahmat Allah tercurah lebih deras dari air zamzam. Saat memandang ke sekeliling: ribuan manusia dari penjuru dunia berdiri dengan pakaian yang sama, wajah penuh harap, dan tangan menengadah.
Saya pun larut dalam doa. Untuk diri, untuk istri, untuk anak-anak yang kami tinggalkan di Belanda, untuk orang tua yang renta, untuk bangsa yang kami cintai. Di sinilah, Arafah bukan hanya tempat berkumpul. Ia adalah padang maaf, tempat kita jujur pada diri sendiri, kepada Tuhan.
Umat Islam memanjatkan doa menjelang wukuf di Jabal Rahmah, Arafah, Makkah, Arab Saudi, Sabtu (15/6/2024). Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto
Usai wukuf di Arafah, istri saya tampak lemah, sangat letih karena kelelahan fisik tapi masih tetap bertahan. Ia tahu: di sinilah semua dosa digugurkan, dan semua harapan dititipkan. Usai Arafah, kami bergerak ke Muzdalifah yang gelap dan padat dengan tanah berkerikil dan tak ada tenda, tidak ada bantal hanya tikar, langit, dan tubuh yang lunglai. Kami memungut batu-batu kecil untuk keperluan lempar jumrah esok hari. Dalam sunyi malam, saya kembali membayangkan perjalanan Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim yang melakukan semua ini tanpa kemewahan apa pun, hanya ketulusan.
ADVERTISEMENT
Hari-hari di Mina menjadi ujian fisik berikutnya karena kami harus berjalan jauh untuk sampai ke lokasi jumrah. Jalanan penuh sesak, tubuh berdesakan di saat panas menyengat dan napas terengah. Saya menggenggam kerikil yang dikumpulkan semalam. Setiap lemparan jumrah, saya niatkan sepenuh hati: Lemparan ini untuk kesombongan dalam diri.
Lemparan ini untuk kemalasan saya dalam beribadah. Lemparan ini untuk amarah, iri, dengki, dan cinta dunia yang berlebihan. Dan saya yakin, bukan batu itu yang jatuh ke tiang jumrah, tapi dosa dan kelemahan diri yang saya lempar jauh-jauh. Lempar jumrah bukan sekadar ritual, ia adalah simbol perlawanan terhadap hawa nafsu, terhadap bisikan setan yang selama ini menyelinap dalam hidup kita.
Saya merenung sejenak, di Arafah saya merasa kecil, di Muzdalifah saya merasa rapuh dan di Mina saya belajar menjadi kuat. Tapi justru dari tiga tempat itu, saya menjadi lebih utuh karena haji sejatinya bukan tentang kuatnya fisik, tapi tentang tunduknya hati.
ADVERTISEMENT