Konten dari Pengguna

Doktrin Perpustakaan dan Martabat Bangsa

Taufiq A Gani
Alumni PPRA 65 Lemhannas dan PKN II LAN RI, S1-ITS, S2-Univ Malaya, S3-USM Penang, Peneliti di Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), saat ini ASN di Perpusnas, Penulis Buku Kedaulatan Digital... ex. Ka. Perpustakaan dan Unsyiah Press
28 April 2025 10:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Martabat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri. Harkat sendiri bermakna sebagai derajat atau taraf dalam hal kemuliaan. Dengan demikian, martabat bukan semata status sosial, melainkan cara kita menempatkan kehormatan manusia secara utuh.
ADVERTISEMENT
Menggagas Martabat Bangsa Indonesia
Martabat bangsa dapat dipahami lewat pemikiran Riza Primahendra (Menggagas Martabat Bangsa, 2022). Beliau menyebutkan bahwa bangsa bermartabat memiliki tiga unsur, yaitu identitas, karakter, dan nyawa. Inilah yang membuat sebuah bangsa menjadi hidup dan bergerak.
Saya memaknai martabat bukan sekadar hasil dari pencapaian tujuan, melainkan sebagai napas yang memberi arah dan makna bagi bangsa. Jika kita bicara soal tujuan nasional, kita harus merujuk pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat:
"...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia..."
Tujuan-tujuan itu mulia, namun sering terasa berjalan sendiri-sendiri. Di sinilah saya merasakan perlunya sesuatu yang menyatukan arah dan makna dari seluruh cita-cita itu—dan itulah yang saya maknai sebagai martabat bangsa.
ADVERTISEMENT
Martabat Bangsa; Visi atau Doktrin Perpustakaan?
Saya bekerja di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), yang awal tahun ini mendeklarasikan visi barunya, yaitu “Perpustakaan Hadir Demi Martabat Bangsa”.
Kalimat itu sangat menggugah, karena mengandung kedalaman filosofis yang layak dimaknai lebih dari sebagai pandangan ke depan atau visi. Penyataan itu mengarah kepada doktrin, yang menurut KBBI diartikan sebagai ajaran, pendirian yang tidak akan berubah arah—melampaui periode kepemimpinan bahkan mengakar pada kelembagaan sepanjang hayatnya.
Terlebih lagi pernyataan itu tidak dibatasi oleh rencana kerja strategis yang ditetapkan oleh indikator teknokratik.
Perpustakaan Hadir demi Martabat Bangsa. Gambar dengan AI
Dalam analisis, saya menemukan tidak hanya menyuarakan harapan institusional, tetapi juga mengandung muatan konstitusional, yaitu dari nilai-nilai luhur dalam Pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang bermartabat. Dalam tiga tujuan itulah saya menemukan benang merahnya—bahwa perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku, melainkan instrumen negara untuk mencerdaskan, menyejahterakan, dan memuliakan warganya.
ADVERTISEMENT
Ketika saya mencoba menerokai lebih jauh, ternyata benang merah itu sangat erat. Mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah inti dari layanan perpustakaan yang terus bertransformasi. Dan dalam perjalanan itu, literasi bukan proyek, melainkan jalan panjang menuju kedaulatan berpikir dan keadaban bangsa.
Membangun Doktrin Perpustakaan Indonesia
Di era digital, ancaman terhadap martabat bangsa muncul dalam bentuk baru. Dalam tulisan saya "Literasi Kebangsaan di Ruang Siber" (Kumparan, 13/04/2025), saya mencatat bagaimana identitas bangsa terfragmentasi, bahkan disusupi ideologi pemecah belah.
Dalam konteks ini, perpustakaan harus menjadi penjaga nalar kebangsaan. Ia bukan hanya fasilitator literasi, tapi pemandu orientasi kultural dan ideologis bangsa.
Transformasi digital perpustakaan harus menjadi bagian dari ketahanan pengetahuan bangsa. Bukan sekadar proyek teknologi, melainkan cara menjaga jati diri dalam arus informasi global.
ADVERTISEMENT
Strategi pengembangan koleksi nasional juga harus responsif terhadap kebutuhan pembaca, pembangunan, dan budaya yang sedang kita rawat.
Perpustakaan, Demokrasi dan Martabat Bangsa
Ray Oldenburg (1989) membagi ruang kehidupan ke dalam 3 jenis. Yang pertama adalah tempat kita tinggal, yang kedua adalah tempat berusaha dan mencari nafkah kantor, dan yang ketiga tempat kita bersosialisasi dan relaks.
Perpustakaan adalah ruang ketiga, bukan ruang pertama, yaitu rumah--tetapi terasa akrab, bukan ruang ke dua yaitu kantor-tetapi produktif secara intelektual.
Perpustakaan tidak menilai siapa yang datang. Perpustakaan juga tidak membatasi dalam berekspresi, belajar, dan tumbuh bersama. Inilah makna demokratisasi di perpustakaan. Demokrasi bukan sekadar pemilu, tapi ruang untuk menyalurkan aspirasi, menemukan solusi, dan hidup setara. Perpustakaan menjadi ruang yang mempertemukan pengetahuan, demokrasi, dan kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Perpustakaan Hidup, Martabat Bangsa Menyala
Jika harkat martabat bangsa adalah wajah kita di hadapan dunia, maka perpustakaan adalah cermin tempat kita menatapnya. Bangsa yang merawat perpustakaannya akan terus bermartabat. Maka selama perpustakaan dijaga, martabat bangsa akan tetap menyala.