Konten dari Pengguna

Perpustakaan Perguruan Tinggi Mendukung Intermediasi Riset dan Literasi

Taufiq A Gani
Alumni PPRA 65 Lemhannas, Alumni PKN II LAN RI, Peneliti di Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), saat ini ASN di Perpusnas
30 Maret 2025 16:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perpustakaan perguruan tinggi harus bertransformasi agar lebih strategis berperan dalam ekosistem riset dan literasi nasional. Pemikiran ini semakin menguat setelah saya menghadiri dua pertemuan penting pada 11 dan 12 Maret 2025—rapat koordinasi intermediasi riset di Kementerian Koordintor Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain Dan Teknologi (Kemendiktisaintek).
ADVERTISEMENT
Dalam rapat di Kemenko PMK, saya menyampaikan peran Perpusnas sebagai penghubung lembaga riset dengan pengguna hasil riset melalui repositori sumber pembelajaran dan akses terbuka. Asisten Deputi Riset, Teknologi, dan Kemitraan Industri, Bapak Katiman, meresponnya dengan pernyataan bahwa “Perpusnas harus menjadi gateway layanan literatur”.
MoU antara Perpusnas dengan Kemendiktisaintek yang berlangsung keesokan harinya berfokus pada dua kegiatan utama. Pertama, rencana pemanfaatan langganan jurnal ilmiah secara terpusat melalui Perpusnas, sehingga perguruan tinggi tidak perlu berlangganan sendiri. Ini mendukung efisiensi anggaran sesuai arahan Presiden Prabowo. Kedua, Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Literasi, yang melibatkan mahasiswa dalam pemanfaatan perpustakaan desa dan distribusi buku dari Perpusnas untuk meningkatkan literasi di 1.000 desa.
Dalam sambutannya pada penandatanganan MoU, Bapak Brian Yuliarto berharap Perpusnas berkembang menjadi pusat literasi yang optimal dalam mendukung pembelajaran dan penelitian. Sementara Kepala Perpusnas, Bapak E. Aminudin Aziz, menegaskan bahwa perubahan harus segera dilakukan, dengan pernyataannya, "The nation is waiting."
ADVERTISEMENT
Saya sepenuhnya sependapat bahwa perubahan ini bukan sekadar kebutuhan, tetapi keharusan. Namun, sebagai refleksi, saya bertanya pada diri sendiri: apakah perpustakaan perguruan tinggi sudah siap menjalankan peran ini?
Perpustakaan Perguruan Tinggi Mendukung Intermediasi Riset dan Literasi. Gambar Dari AI
Tantangan Standardisasi Perpustakaan Perguruan Tinggi
Deputi Pengembangan Sumber Daya Perpusnas, Bapak Adin Bondar, dalam audiensi dengan Dirjen Pendidikan Tinggi, Bapak Khairul Munadi, di Kemendiktisaintek pada 31 Januari 2025 menyampaikan bahwa dari 4.292 perguruan tinggi di Indonesia, hanya 2.511 yang memiliki Nomor Pokok Perpustakaan (NPP). Nomor ini mencerminkan perpustakaan yang telah memenuhi persyaratan sistem pendataan Perpusnas. Sementara itu, perpustakaan yang telah mencapai kesesuaian minimal dengan Standar Nasional Perpustakaan Perguruan Tinggi (Peraturan Perpusnas Nomor 5 Tahun 2024) baru berjumlah hanya 604 atau 14,7%.
Menurut saya, banyak perguruan tinggi belum mampu memenuhi standar layanan perpustakaan. Tanpa implementasi standar yang kuat, akses literatur akademik dan kegiatan literasi terhambat. Jika kondisi ini berlanjut, intermediasi riset, akses jurnal ilmiah terpusat, dan KKN Tematik Literasi tidak akan optimal. Tanpa repositori memadai, mahasiswa kesulitan mendapatkan referensi, akademisi kehilangan riset terbaru, dan inovasi nasional terhambat.
ADVERTISEMENT
Peran Strategis dan Tantangan Perpustakaan Perguruan Tinggi
Dari perspektif saya, perpustakaan perguruan tinggi bukan hanya bagian dari kebijakan internal kampus, tetapi juga terkait dengan kebijakan nasional. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 menegaskan bahwa perpustakaan harus menjadi pusat pembelajaran sepanjang hayat dan mendukung penelitian. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 menekankan keterbukaan akses terhadap sumber pembelajaran dan penelitian, yang sejalan dengan repositori akademik dan intermediasi riset. RPJMN 2025–2029 dan RKP 2025 juga menempatkan peningkatan akses informasi dan penguatan ekosistem riset sebagai prioritas nasional.
Namun, banyak tantangan. Andayani Ulpah (2023) mencatat bahwa tanpa strategi pemanfaatan yang jelas, langganan jurnal hanya menjadi fasilitas yang kurang digunakan. Selain itu, perpustakaan belum berperan optimal dalam riset dan kebijakan. Saya juga melihat bahwa tanpa mekanisme intermediasi yang menghubungkan perpustakaan dengan industri dan pemerintah, penelitian yang tersimpan di repositori institusi tidak akan berdampak luas.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, KKN Tematik Literasi masih perlu didorong agar terhubung sepenuhnya dengan perpustakaan perguruan tinggi. Jika perpustakaan tidak diberdayakan sebagai lembaga intermediasi, maka dampak program ini akan terbatas.
Transformasi Perpustakaan Perguruan Tinggi
Repositori penelitian perguruan tinggi harus menjadi alat utama intermediasi riset dan KKN Tematik Literasi, bukan sekadar penyimpanan digital. Penelitian Rizkyantha, Putra, & Habiburrahman (2022) menyoroti bahwa rendahnya pemanfaatan repositori bukan disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur, melainkan kurangnya sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan oleh perpustakaan. Oleh karena itu, perpustakaan harus bertransformasi menjadi pusat intermediasi yang menghubungkan riset dengan kebijakan dan industri, serta mendorong eksplorasi pengetahuan agar hasil penelitian berdampak nyata pada pembangunan nasional.
Hasil riset yang tersimpan dalam repositori akan mendukung keberhasilan KKN Tematik Literasi. Namun tanpa akses yang memadai ke repositori, mahasiswa akan kesulitan menyampaikan materi literasi secara efektif. Repositori terbuka yang dikelola dengan baik memungkinkan perpustakaan memfasilitasi kontribusi mahasiswa tersebut, sekaligus memperkuat peran mereka dalam mendukung pembelajaran di masyarakat desa.
ADVERTISEMENT
Repositori terbuka harus menjadi standar bagi perguruan tinggi, memastikan bahwa hasil riset tidak hanya berhenti di jurnal, tetapi juga dapat dimanfaatkan dalam kebijakan dan inovasi. Untuk mewujudkan hal ini, kolaborasi antara pemerintah dan perguruan tinggi sangat diperlukan dalam penguatan repositori, dengan dukungan regulasi yang jelas, pendanaan berkelanjutan, serta integrasi ke Indonesia One Search yang dikelola oleh Perpusnas akan memastikan repositori tersebut berfungsi sebagai instrumen utama dalam ekosistem intermediasi riset dan literasi nasional.
Kesimpulan
Menurut saya, transformasi perpustakaan perguruan tinggi tidak bisa lagi sekadar wacana akademik atau kebijakan formal, tetapi harus segera diwujudkan dalam langkah nyata. Jika tidak, perpustakaan akan tetap berada di pinggiran ekosistem ilmu pengetahuan nasional, kehilangan peran strategis dalam intermediasi riset dan mendukung literasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tantangannya kini bukan lagi soal kesiapan, tetapi seberapa cepat kita bergerak untuk memastikan perpustakaan menjadi pilar utama intermediasi riset dan Literasi. Tanpa kesesuaian terhadap standar nasional, kesenjangan pengetahuan antarkampus akan melebar, memperburuk ketimpangan informasi dan penelitian. Publikasi akademik akan tertinggal di indeks global, sementara mahasiswa dan dosen kehilangan akses ke sumber daya ilmu pengetahuan. Transformasi ini bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan.
Tanpa langkah konkret sekarang, perpustakaan perguruan tinggi akan semakin tertinggal dalam era digital, dan akses pengetahuan akan semakin terfragmentasi.
Saatnya kita bergerak cepat, memastikan bahwa perpustakaan perguruan tinggi benar-benar menjadi pusat intermediasi riset dan literasi yang mendukung kebijakan berbasis penelitian, pengembangan akademik, serta keberhasilan program literasi seperti KKN Tematik Literasi diatas dalam membangun masyarakat berpengetahuan.
ADVERTISEMENT