Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.106.1
Konten dari Pengguna
Pustakawan dan Geokognitif
18 Mei 2025 16:11 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pustakawan kini berada di jantung medan geokognitif—medan baru dalam sejarah umat manusia, tempat pikiran jadi komoditas, dan kesadaran kolektif jadi sasaran kuasa. Dalam medan ini, yang menguasai pikiran akan menguasai arah peradaban.

Tulisan ini berbeda dari yang sebelumnya, yaitu "Perpustakaan Era AI Menyapa, Tak Hanya Menyediakan".
ADVERTISEMENT
Jika yang sebelumnya menyoroti pentingnya empati digital dan peran etis perpustakaan di era kecerdasan buatan, tulisan kali ini membawa refleksi itu ke tingkat yang lebih strategis: dari ruang interaksi digital menuju arena pertarungan kesadaran kolektif—geokognitif.
Tulisan ini berangkat dari refleksi panjang yang tumbuh di persimpangan kerja kelembagaan, kebijakan literasi digital, dan pendidikan strategis dan terekam dalam berbagai opini terdahulu.
Jika sebelumnya pustakawan tampil sebagai sahabat digital, maka kini mereka hadir sebagai penjaga nalar publik, aktor utama dalam menghadapi manipulasi kognitif global.
Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi tentang perpustakaan dan peran pustakawan mulai bergerak dari ruang pelayanan menuju wilayah yang lebih substantif: ideologi, informasi, dan kesadaran publik.
Sebagai pustakawan yang juga menekuni kebijakan strategis, saya memahami bahwa profesi ini tidak lagi bisa diposisikan secara administratif. Ia telah masuk ke wilayah geopolitik berpikir, ke dalam arena kekuasaan yang menyasar nalar, bukan hanya data. Gagasan ini saya tempatkan dalam kerangka evolusi kekuasaan global: dari geopolitik, ke geoekonomi, dan kini ke geokognitif.
ADVERTISEMENT
Pergeseran itu membawa pergeseran perebutan kekuasaan dari wilayah, ke ekonomi rantai pasok, selanjutnya ke kesadaran kolektif. Di sinilah geokognitif hadir. Ia adalah kontestasi atas persepsi, atas apa yang kita anggap benar, atas ingatan dan intuisi bersama.
Dalam medan ini, algoritma menjadi senjata; narasi, jadi peluru; dan literasi, jadi pertahanan.
Dan di tengah semua itu, siapa yang paling sunyi perannya, tetapi paling dekat dengan inti persoalan? Tidak ada yang lain, selain Pustakawan.
Bukan sekadar pelayan informasi, mereka adalah penjaga nalar publik. Mereka bukan hanya mengelola koleksi, melainkan mengawal batas-batas rasionalitas bangsa. Pustakawan menyusun, menyaring, dan membentuk ekosistem pengetahuan yang menentukan apakah bangsa ini akan tahan terhadap manipulasi kognitif global—atau justru tumbang oleh banjir disinformasi.
ADVERTISEMENT
Saya tidak lagi melihat pustakawan sebagai pelengkap sistem pendidikan. Mereka adalah arsitek kesadaran nasional. Tugas mereka bukan sekadar administratif, melainkan strategis: mempertahankan kemampuan publik untuk berpikir jernih, untuk membedakan mana fakta, mana fiksi; mana wawasan, mana provokasi.
Jika dahulu medan tempur berada di perbatasan geografis, hari ini ia berpindah ke ruang dalam kepala kita. Ketika informasi dipolitisasi, dan kesadaran publik jadi sasaran operasi, maka yang menguasai arus kognitif akan menguasai peradaban. Pustakawan berdiri di perlintasan itu—mereka bukan lagi pemelihara katalog, tetapi benteng terakhir dari kemampuan berpikir merdeka.
Geokognitif bukan ancaman teknis. Ia adalah medan strategis. Dan jika kita ingin memenangkan pertarungan ini, maka pustakawan harus diberi mandat bukan sekadar tugas. Mereka perlu diperlengkapi bukan hanya dengan kompetensi, tetapi juga dengan legitimasi ideologis sebagai bagian dari pertahanan nasional di medan yang baru.
ADVERTISEMENT
Bukan negara yang paling besar yang akan menang, tetapi negara yang paling sadar bahwa masa depan ditentukan oleh siapa yang mengendalikan kesadaran rakyatnya. Dan itu dimulai dari siapa yang menjaga, menyaring, dan membentuk pengetahuan bersama. Di sanalah pustakawan berdiri.
Di abad geokognitif, bangsa yang gagal memperlengkapi pustakawannya bukan hanya kehilangan arsip—tetapi kehilangan arah berpikir. Karena hari ini, bukan senjata yang pertama kali meletus, melainkan persepsi. Dan siapa yang menguasai persepsi, akan menguasai sejarah.
Semuanya bermuara pada satu hal: pentingnya pustakawan sebagai aktor strategis dalam menjaga kewarasan bangsa.