Konten dari Pengguna
Perpustakaan Era AI Menyapa, Tak Hanya Menyediakan
14 Mei 2025 20:35 WIB
·
waktu baca 5 menitKiriman Pengguna
Perpustakaan Era AI Menyapa, Tak Hanya Menyediakan
Perpustakaan era AI harus menyapa, bukan sekadar menyediakan. Artikel ini mengulas peran etis perpustakaan dalam menghadapi algoritma, AI Companion, dan ruang geokognitif digital.Taufiq A Gani

Tulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
AI bukan lagi teknologi masa depan. Ia telah menjadi bagian dari cara kita berpikir, merasa, dan mengakses pengetahuan—dan perpustakaan tidak bisa tinggal diam. Di tengah gempuran teknologi kecerdasan buatan, perpustakaan dituntut untuk melampaui peran konvensional. Ia harus hadir, menyapa, dan menjadi ruang dialog yang hidup. Informasi memang penting, tetapi perhatian lebih penting. Karena dalam dunia digital yang padat akan algoritma, manusia bukan lagi sekadar pencari data—ia butuh penuntun, teman bicara, bahkan sahabat berpikir.

Inilah yang mendorong berkembangnya apa yang disebut sebagai AI Companion—jenis kecerdasan buatan yang dirancang untuk membangun hubungan interpersonal dengan pengguna. Ia tidak sekadar menjawab pertanyaan, tetapi juga memahami emosi, memberi dukungan, dan menyesuaikan diri dengan kepribadian pengguna. Teknologi ini hadir dalam bentuk chatbot, aplikasi, hingga robot sosial—dan membawa potensi baru sekaligus risiko etis yang perlu dicermati. AI Companion mampu meniru dinamika hubungan manusia yang nyata, seperti dijelaskan oleh Jenny Lyons-Cunha dalam artikelnya di BuiltIn (19 Desember 2024). Woebot dirancang untuk mendampingi kesehatan mental dengan pendekatan terapi kognitif, sementara ElliQ hadir sebagai teman digital yang mendukung keseharian para lansia.
ADVERTISEMENT
Gagasan dan praktik seperti ini memicu banyak perenungan tentang posisi perpustakaan di era AI. Hal ini telah saya ulas dalam beberapa tulisan sebelumnya, seperti “Mencerdaskan Perpustakaan” (Kumparan, 2023), “Perpustakaan Tanpa Awak: Apakah Urgensinya?”, dan “Layanan Perpustakaan dan AI Generatif” (Taufiq A Gani, Kompas.id, 2024). Dalam tulisan-tulisan itu, saya menyoroti bahwa kehadiran AI seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai alat efisiensi teknologi, melainkan sebagai peluang untuk mendefinisikan ulang bentuk dan makna layanan perpustakaan—bukan sekadar mempercepat akses, tetapi memperdalam relasi antara pengetahuan dan kemanusiaan.
Dinamika ini tidak lagi bersifat spekulatif; ia sudah menjadi kenyataan konkret. Era baru menempatkan AI langsung dalam ruang interaksi manusia—termasuk di perpustakaan. AI kini menyapa, menanggapi, dan memandu interaksi. Inilah peluang besar sekaligus tantangan yang tak bisa diabaikan oleh perpustakaan dan institusi pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Di balik kehadiran AI Companion yang kian personal dan adaptif, tersimpan risiko yang lebih halus dari sekadar kehilangan privasi. Kita berhadapan dengan ruang pengaruh yang menyentuh psikologi terdalam—tempat algoritma tak hanya merekomendasikan konten, tetapi perlahan membentuk cara kita berpikir, merasa, dan memilih.
Dalam tulisan saya “Batin Jadi Medan Perang”, saya menyampaikan bahwa konflik hari ini tidak lagi berlangsung di medan militer atau ekonomi, melainkan di medan kesadaran manusia. Banyak pakar menyebutnya sebagai geokognitif, yaitu strategi perebutan kekuasaan yang menyasar kesadaran manusia melalui ruang digital—dengan algoritma, narasi, dan disinformasi sebagai senjatanya—untuk membentuk cara berpikir dan memecah nalar publik.
Jika ruang digital menjadi arena geokognitif, maka perpustakaan adalah salah satu aktor yang paling strategis dalam mempertahankan integritas nalar publik. Dalam konteks ini, algoritma, mesin pencari, dan konten digital bukan sekadar alat bantu—mereka adalah senjata naratif. Mereka tidak netral. Mereka membentuk perhatian, memperbesar kecenderungan, dan kadang menumpulkan daya kritis.
ADVERTISEMENT
Di tengah lanskap ini, perpustakaan memiliki posisi strategis sebagai benteng kognitif bangsa. Ketika AI Companion diterapkan dengan pendekatan etis dan berbasis nilai, perpustakaan dapat menjadi ruang pembentuk kesadaran yang tangguh—melawan serbuan disinformasi dan logika manipulatif yang menyusup melalui konten viral dan kampanye tersembunyi.
Dari Layanan ke Relasi
Perpustakaan yang menerapkan AI Companion secara kontekstual tak hanya menawarkan layanan, tapi menjalin relasi. Kehadiran teknologi yang dapat menyapa membuka ruang untuk pendekatan yang lebih manusiawi. Di sinilah AI tidak menggantikan manusia, tetapi memperluas empati.
Bayangkan AI di perpustakaan yang tidak sekadar memberi rekomendasi buku, tetapi juga menanyakan kondisi pembaca, memahami minatnya, bahkan menjadi tempat pertama untuk bertanya tentang krisis batin atau keresahan sosial. Relasi semacam ini dapat menjadi penangkal awal dalam ruang geokognitif yang rawan disusupi pesan-pesan destruktif.
ADVERTISEMENT
Risiko Bukan Alasan untuk Diam
Tentu, ada kekhawatiran. Namun diam dan menunda justru membuka ruang lebih luas bagi dominasi platform yang hanya berpihak pada klik dan keterikatan semu. Perpustakaan harus menjadi pelopor tata kelola teknologi berbasis nilai. Dalam dunia digital, ketidakaktifan adalah bentuk pengabaian yang membiarkan pihak lain menentukan arah nalar kolektif.
Dunia ini rusak bukan semata karena orang jahat berbuat jahat, tetapi karena orang baik memilih diam. Dalam konteks digital, diam itu berarti membiarkan internet dipenuhi oleh ujaran kebencian, algoritma manipulatif, dan konten dangkal yang meracuni nalar publik. Maka, memperbanyak internet positif, memperkaya konten yang mencerahkan, dan memperluas fungsi perpustakaan sebagai safe place adalah tindakan kecil yang bermakna besar.
ADVERTISEMENT
Di era ketika kesadaran manusia menjadi medan kontestasi, ruang geokognitif tidak bisa diabaikan. Ini bukan hanya soal teknologi atau koneksi, tetapi tentang bagaimana pikiran, persepsi, dan orientasi publik dibentuk—secara halus dan terus-menerus—oleh algoritma dan narasi yang terstruktur. Dalam situasi seperti ini, perpustakaan bersama AI Companion dapat berperan sebagai penyeimbang: menyuarakan nalar jernih, menghadirkan literasi kritis, dan merawat kemerdekaan berpikir warga.
AI Companion bukan sekadar teknologi. Ia bisa menjadi alat kebajikan, jika dibentuk oleh tangan yang bijak dan hati yang sadar. Maka perpustakaan—sebagai rumah dari pengetahuan, kebajikan, dan dialog—harus mengambil peran utama. Bukan sekadar membuka akses, tetapi menjaga akal sehat.
Dalam dunia yang terlalu bising oleh distraksi dan terlalu sunyi dari makna, perpustakaan bersama AI Companion bisa menjadi tempat tenang yang menyelamatkan. Tempat bagi kita semua untuk tetap waras, tetap sadar, dan tetap baik—di tengah pusaran geokognitif yang terus menguji keteguhan batin dan kecerdasan kolektif bangsa.
ADVERTISEMENT