Perubahan Iklim dan Anomali Kebijakan Energi Kotor Kita

taufiqurochim
Peneliti Riset Aksi, Pengacara Publik di YLBHI-LBH Surabaya.
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2021 9:38 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari taufiqurochim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bencana Alam [Sumber Geralt I Pixabay]
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bencana Alam [Sumber Geralt I Pixabay]
ADVERTISEMENT
Dua tahun sudah masyarakat dunia kini dihantui oleh keganasan corona virus desease (Covid-19), termasuk di Indonesia. Bahkan menteri kesehatan Budi Gunadi menyampaikan rakyat Indonesia akan hidup dengan Covid-19 bisa 5 sampai 10 tahun lagi (pikiran-rakyat.com).
ADVERTISEMENT
Kini masyarakat terseok-seok karena dampak Covid-19, berbagai ancaman berupa angka kematian yang semakin meningkat, perekonomian nasional anjlok dan hilangnya pekerjaan untuk mencari sesuap nasi pun semakin mahal untuk dicari.
Disaat pandemi Covid-19 semakin melanda, kini masyarakat dunia digegerkan dengan ancaman bencana perubahan iklim yang lebih mengerikan dalam sepanjang sejarah peradaban manusia daripada bencana Covid-19. Berdasarkan laporan dari Intergovernment Panel on Climate Change (IPCC) bahwa suhu dunia memungkinkan akan memanas hingga 1,5°C pada awal 2030-an.
Dalam laporan tersebut menyebutkan ancaman perubahan iklim akan terjadi pada negara-negara kepulauan di Samudra Pasifik. Prof. Mark Howden, Wakil Ketua Panel IPCC, menyampaikan jika fenomena perubahan iklim akan menimbulkan bencana berat berupa badai besar dan negara dunia akan dibanjiri air laut.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya ancaman perubahan iklim sebelum tahun ini sudah digaungkan, World Economic Forum pada The Global Risk Report tahun 2019 memberikan laporan dampak musibah global terkait dengan perubahan iklim menempati posisi paling atas, seperti ancaman bencana alam, krisis pangan, cuaca ekstrem, dan air bersih. Pun senada dengan laporan dari New York Times yang menyampaikan bahwa akan terjadi kemusnahan massal sebesar 50 persen dari seluruh spesies yang ada di bumi pada abad ini.

Bagaimana Kesiapan Indonesia?

Detik-detik mewabahnya Covid-19 di Indonesia harusnya menjadi pelajaran penting bagi bangsa ini, teruntuk para pejabat pemerintahan kita. Tentu saja dalam menghadapi ancaman serius perubahan iklim, masyarakat tidak lagi dipertontonkan akrobat lucu yang terkesan menyepelekan seperti kala itu yang menghadapi awal masuknya pandemi Covid-19 ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mau diakui atau tidak pemerintah saat ini belum menunjukkan komitmen serius untuk menghadapi persoalan ini. Jika kita lacak pidato-pidato kenegaraan Presiden Jokowi selama tahun 2015-2021 sangat minim menyinggung tentang lingkungan hidup. Setidaknya ada 66 kali, kata kunci industri dan infrastruktur masing-masing sebanyak 25 kali dan 21 kali sedangkan frasa upaya penyelamatan lingkungan hidup tidak disebutkan (Roby, The Conversation).
Saat diramaikan laporan tentang ancaman perubahan iklim di forum IPCC, masyarakat menunggu komitmen serius pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim. Akan tetapi dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2021 lalu, justru Jokowi tidak merespons gawatnya risiko kenaikan suhu bumi yang saat ini diklaim oleh para pakar sebagai ancaman yang lebih ngeri daripada wabah Covid-19.
ADVERTISEMENT
Secara yuridis, kita mempunyai UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam aturan tersebut jelas menyampaikan bahwa dalam hal kemungkinan adanya ancaman bencana maka pemerintah harus melakukan upaya mitigasi, yakni membuat serangkaian untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan untuk menghadapi bencana.
Namun faktanya justru sepanjang rezim nawacita berkuasa semakin melegitimasi potential demage kerusakan lingkungan hidup. Ada beberapa kasus lingkungan hidup yang menjadi perhatian serius. Di Jawa Timur ada eksploitasi tambang emas di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, padahal gunung tersebut digunakan sebagai benteng bencana tsunami yang kala itu pernah terjadi di tahun 1994.
Hutan sebagai paru-paru dunia yang dibabat atas nama investasi di Kinipan, Kalimantan Tengah, Perampasan ruang ekologi yang akan dihabisi melalui rencana pemindahan Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur, dan banyak lagi kasus-kasus terkait dengan minimnya proteksi lingkungan hidup yang tersebar di pelosok Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan dari Jatam-April 2021 menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia tengah mengawetkan bencana. Dalam kajian Jatam menemukan sejumlah operasi pertambangan energi kotor hingga PLTU berada di kawasan risiko bencana gempa, tsunami, tanah longsor, dan banjir.
Setidaknya dalam laporan tersebut merinci terkait izin pertambangan, 131 di antaranya berada di kawasan risiko gempa bumi, dengan luas 1,6 juta hektar, kemudian ada 2.104 konsesi pertambangan di seluruh Indonesia yang berada di kawasan berisiko tinggi bencana banjir yang seluas 4,5 juta hektar.
Selain itu terdapat 744 konsesi pertambangan di seluruh Indonesia yang berada di kawasan risiko bencana tanah longsor seluas 6.154.830 hektar dan 57 PLTU dengan total kapasitas 8.887 MW dalam status beroperasi dan 31 PLTU dalam ragam tahap pembangunan berada di kawasan risiko gempabumi.
ADVERTISEMENT
Mengingat fakta yang terjadi penulis berpendapat bahwa pemerintah begitu menampilkan wajah kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan. Berbagai kajian dari ahli dan pegiat lingkungan hidup sama sekali tidak dipertimbangkan. Alih-alih justru Presiden Jokowi mengambil paket kebijakan stimulus perekonomian dan pembangunan infrastuktur nasional, seperti Omnibuslaw UU Cipta Kerja dan UU Minerba.

Anti-Tesis untuk Kebijakan Energi Kotor

Kebijakan kontroversial yang berhubungan dengan lingkungan hidup sepanjang sejarah kepemimpinan rezim nawacita adalah UU Minerba. Kebijakan ini adalah watak kenegaraan kita yang ramah terhadap investor daripada proteksi lingkungan hidup. Penulis pernah menyampaikan dalam artikel yang berjudul Hak Alam yang Tak Dianggap (Qureta), bahwa potret kebijakan kita cenderung pada mazhab friendly market legal yakni adanya pemanjaan terhadap politik pasar daripada memberikan proteksi kepada lingkungan hidup yang sehat dan perlindungan kepada hak-hak masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah ketika kita menelisik norma yang ada dalam pasal 17 A ayat (2), pasal 22A, pasal 31A ayat (2) dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba tengah memperlihatkan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK atau WPR. Jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dalam usaha pertambangan tersebut mengandung risiko terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Kondisi seperti ini dapat menyebabkan daya dukung, daya tampung, dan daya produktivitas lingkungan hidup menurun. Pada praktiknya di lapangan, kegiatan pertambangan di lapangan mengakibatkan dampak berupa perubahan bentang alam, penurunan tingkat kesuburan tanah, terjadinya ancaman hayati, penurunan kualitas perairan, penurunan kualitas udara, dan pencemaran lingkungan akibat limbah yang dihasilkan oleh aktivitas penambangan (Reno Fitriyanti, 2016).
ADVERTISEMENT
Patut diduga keberadaan rezim pasal-pasal dalam UU Minerba sangatlah jelas hanya memberikan kepastian hukum kepada pemegang izin usaha pertambangan dan tentu melanggar hak konstitusional yang diatur dalam pasal 28 H ayat (1), pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Begitu pula adanya kebijakan tersebut tengah melegitimasi bahwa masyarakat tidak dikehendaki untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat oleh negara. Pasal 162 UU Minerba sangat rentan untuk mengancam para pejuang lingkungan hidup yang tengah memperjuangkan lingkungannya agar tetap lestari, karena pasal ini dalam praktik sering digunakan untuk menyeret para pejuang lingkungan hidup ke ranah hukum pidana. Salah satu kasus yang populer adalah seperti upaya kriminalisasi kepada para pejuang lingkungan hidup Trio Alas Buluh dan para pejuang lingkungan hidup di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi.
ADVERTISEMENT
Ancaman perubahan iklim itu akan menjadi lebih mengerikan apabila kebijakan kita sama sekali tidak pro terhadap upaya perlindungan lingkungan hidup. Hutan dibabat, gunung dikeruk, emisi karbon tak terkendali dan pulau-pulau kecil diobral habis-habisan untuk konsensi perusahaan energi kotor adalah langkah maju terhadap upaya pemusnahan massal populasi dunia.
Oleh karena itu, sebuah tindakan pemerintah dengan tanpa ragu-ragu untuk mencabut dan/atau mengubah kebijakan yang sangat berpotensi merusak keberlangsungan hidup adalah cara terbaik untuk menyelamatkan rakyatnya dari ancaman perubahan iklim.
adapun masyarakat mengatakan sikap untuk “tidak” menerima praktik eksploitasi lingkungan hidup adalah tentang tanggung jawab moral bagi segenap bangsa. Bergerak untuk melawan kejahatan ecosida bukan semata-mata karena celotehan dari seorang Greta Thunberg. Bumi air dan udara adalah elemen penting bagi kehidupan manusia yang setiap individu harus sadar untuk menyelamatkannya.
ADVERTISEMENT