Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Autopilot.
Mungkin itulah satu kata yang menggambarkan nasib 92 persen responden yang gagal mencapai resolusi. Tau sendiri lah ya, cuman 8 persen aja yang mencapai resolusi. Sad, but that's true, dude.
ADVERTISEMENT
Nah. Kalau 2019-nya saya? Hemm, yang jelas, 2019 ini adalah fase adaptasi luar biasa dalam kehidupan. Dahulu semasa lajang, menyusun rutinitas tertentu di pagi hari terasa mudah. Saya dapat dengan mudah semisal lari pagi, setelahnya membaca, terus scrolling produktif sembari sesekali bikin tulisan atau puisi picisan (ahey!).
Kini, setelah hidup halalan thayyiban bersama si someone, ya enggak bisa begitu aja dong, asyik sendiri lakukan ini dan itu.
Terlebih, jadwal suami terbilang fleksibel. Kendati beliau membebaskan saya untuk melakukan aktivitas sendiri, tapi bagi saya, quality time yang melibatkan sinergi berdua adalah investasi jangka panjang. Jadi di pagi dan malam hari pun saya gunakan untuk menyelaraskan aktivitas bersama.
Target-targetan ambis seperti membaca buku sekian halaman, menghafal surat ini dan itu, dan lain sebagainya pun kandas. Sekenanya saja, deh.
ADVERTISEMENT
Kemudian, jadi ingat hasil Talents Mapping. Bahwa talent Discipline (Kedisiplinan) dan Consistency (Konsistensi) saya berada di tujuh terbawah. Maka, ketika bikin resolusi yang cukup banyak, terlalu detail, dengan capaian target tinggi - maka udah dapat dipastikan saya sulit mencapainya.
Namun, bukan berarti pribadi yang punya kelemahan dua talent enggak bisa punya resolusi, kan? Bukan berarti jadi ikutan enggak bakat punya kebiasaan produktif juga kan?
Dan rupanya saya baru ngeh, ada aktivitas yang enggak direncanakan betul - namun bisa dibilang tercapai 90 persen dalam satu semester. Ada sebuah rutinitas ibadah dengan 'targetan cupu', tetapi justru jadi penstabil pagi saya.
Salah satu rutinitas lain yang harusnya saya berinvestasi di dalamnya ialah menulis. Dibilang jago nulis, ya enggak juga. Tapi, saya lebih mudah mengalirkan ide-ide bertumpuk melalui tulisan.
ADVERTISEMENT
Ketika sudah kesurupan serangkaian ide, saya bisa lama nonstop menulis dimana pun, bahkan pernah, loh, di bangku belakang ojek online.
Ditambah, talent Intellection (kemampuan memaknai) saya ada di urutan pertama. Alhasil, menguraikan pemaknaan pun menjadi sesuatu yang mengasyikkan. Baik bikin peta pikiran maupun menjabarkannya dalam tulisan.
-
Lantas, mengapa 2019 saya kurang jos? Selain karena enggak menyusun resolusi realistis merujuk pada kelebihan dan kekurangan diri - ada dua faktor lain yang saya sadari.
Faktor kedua adalah kurangnya evaluasi secara berkala.
Jadi ketika ada target yang memang sulit dicapai, malah bukannya direvisi, malah akhirnya ambyar sama sekali. Dulu saya pernah rutinitas untuk rapat dengan diri sendiri, mengevaluasi diri selama seminggu.
ADVERTISEMENT
Tapi kebiasaan itu perlahan pudar. Hal ini juga termasuk evaluasi pencapaian secara berkala kepada Yang Maha Kuasa, melalui doa-doa di malam hari. Maka, evaluasi berkala jadi salah satu resolusi 2020.
Sedangkan faktor ketiga, adalah kurang me-remind diri sendiri mengenai tujuan saya.
Untuk apa sih, misal Tristi jalan kaki tiap pagi selepas subuh? Atau kenapa sih harus baca ini dan itu? Kemarin, saya baru aja bikin peta pikiran, sembari menangis, ingat dulu ketika masa-masa menyusun mimpi yang sedemikian berharga. Sebuah mimpi jangka panjang, yang akhirnya saya urai cara mencapainya melalui langkah-langkah tertentu.
Ketika me-recall kembali mimpi dan alasan kuat kenapa saya membiasakan habit-habit tertentu, saya lega dan menemukan energi.
-
Nah, lantas, gimana saya secara teknis, ikhtiar berinsyaf untuk susun resolusi 2020?
ADVERTISEMENT
Pertama, buat resolusi yang sifatnya proses yang kita lakukan, bukan output (hasil) yang didapat.
Resolusi berbasis proses, domainnya internal diri (dan tentu Yang Maha Kuasa) yang atur. Sedangkan resolusi berbasis output, ada campur tangan eksternal.
Kalau manusia terlalu bertumpu ada resolusi berbasis output, maka rawan kecewa, karena faktor eksternal enggak selamanya bersahabat dengan kita.
Semisal, resolusi 2020 kamu adalah nikah dengan si doi. Maka resolusi tersebut sifatnya output. Yang perlu kamu lakukan yakni, mengkonversi resolusi tersebut menjadi resolusi berbasis proses, semisal:
(1) Baca 2 lembar per hari buku tentang pernikahan
(2) Ikut kuliah online pernikahan minimal sebulan sekali
(3) Berdoa rutin di tiap sepertiga malam untuk mendapatkan jodoh terbaik
(4) dst.
ADVERTISEMENT
Ketika berhasil tercapai, bakal ada perasaan lega tersendiri, loh. Seenggaknya, lebih lega ketimbang cuman nangis di pojokan merutuki nasib berjomblo. Istilahnya, Toh, aku kan udah berupaya meniqaa, biar Yang Di Atas tahu yang terbaik buatku~~
Kedua, siapkan resolusi berbentuk kebiasaan yang akan melejitkan bakat-bakat kuat kita, dan juga akan menyiasati kelemahan-kelemahan kita agar tidak merugikan diri dan orang lain.
Untuk lebih jelasnya, heup, saya sertakan bagan resolusi 2020 yang telah saya buat:
Nah, yang saya bulati warna biru adalah contoh talent-talent kuat saya. Salah satunya yang tadi, Intellection, dan Connectedness (kemampuan untuk yakin bahwa segala sesuatu terjadi saling berkaitan dan ada maksudnya).
Maka, saya bikin tuh, targetan yang nunjang talent-talent kuat saya supaya keasah. Seperti, "Bikin minimal 3 kalimat soal evaluasi kehidupan tiap hari di notes." Aktivitas ini, bisa dibilang, mudah dan enjoy saya lakukan. Tapi acapkali suka saya sepelekan dan enggak dirutinkan.
ADVERTISEMENT
Padahal, rutinin aja! Milyader kayak Bill Gates dan Warren Buffett juga doyan nulis soal apa-apa yang mereka pikirkan secara rutin, kok. Dan itu bantu mereka untuk tajamkan pikiran.
Ada pula targetan yang sifatnya supaya kelemahan-kelemahan saya minimal enggak rugikan diri dan orang lain. Saya lemah di kedisiplinan dan konsistensi.
Maka, supaya kelemahan tersebut enggak memporak-porandakan manajemen waktu, atensi, dan energi - maka saya perlu waktu me-time dini hari untuk susun agenda dan selesaikan kerjaan-kerjaan rumah tangga.
Karena hal tersebut cukup mem-forsir kelemahan saya - maka saya sengaja ciptakan free time di weekend supaya ada waktu untuk rilekskan diri.
Ketiga, jangan kebanyakan bikin resolusi. Jangan over-ambisi pengen kuasai banyak resolusi.
Untuk bahas poin ini, kita bahas lagi yuks bagan di bawah.
ADVERTISEMENT
Naah, kalau dihitung, ada 8 kebiasaan yang ingin saya capai di 2020. Hanya, cuman DUA yang saya prioritaskan banget untuk dicapai (yang diblok warna hijau). Bukan berarti, enam lainnya (yang diblok warna kuning) saya cuekin. Saya akan coba secara paralel untuk mengerjakan enam lainnya - tapi enggak begitu difokuskan.
Baru, ketika DUA kebiasaan tersebut saya capai minimal 85 persen dalam satu semester, saya bisa fokuskan dua bakat yang lain.
__
Gimana, udah cukup dapat amunisi untuk susun resolusi mantap yang kamu banget di 2020 ini? Semoga di akhir 2020, kita ketemu diri kita lagi, tapi dengan versi yang jauh lebih kece ya!
__
Pembuatan artikel ini bekerjasama dengan komunitas Indonesian Freelancer. Follow instagramnya di @indonesian.freelancer
ADVERTISEMENT