Renungan Usai Dialog Ridwan Kamil dan Ust. Rahmat Baequni

Konten Media Partner
11 Juni 2019 6:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Masjid Al-Safar, masjid megah tak bertiang yang menuai kontroversi. (Foto: kumparan.com)
Penulis: Nadhira Rizki
Desain bangunan Masjid Al-Safar memang mengundang tanda tanya.
ADVERTISEMENT
Disinyalir, masjid yang dirancang langsung oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil itu bernuansa simbol kelompok Illuminati. Kehebohan publik makin memanas tatkala video kecaman penceramah Ustadz Baequni akan desain bangunan ibadah tersebut viral di media massa. Ramai diperbincangkan warganet, akhirnya kedua tokoh publik itu dipertemukan dalam forum diskusi terbuka di Gedung Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Bandung, Senin (10/6) kemarin.
Dalam ajang tersebut, Ridwan menjelaskan bahwa dominasi bentuk geometris segitiga disebabkan teori Folding Architecture atau Teori Lipat yang ia gunakan. Selain itu, bentuk segitiga dan lingkaran juga biasa digunakan pada ilmu arsitektur untuk menggali kreativitas.
Di sisi lain, Ustadz Rahmat menampik dugaan dirinya yang sengaja ingin menjatuhkan imej Ridwan. Ia mengaku, murni mengajak umat Islam waspada akan invasi ideologi Yahudi yang menyerang segala bidang, tak terkecuali infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, dialog yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu berlangsung dengan tertib dan lancar. Kedua belah pihak sepakat untuk mempererat ukhuwah antarkeduanya, serta sama-sama menghimbau ulama Tanah Air untuk membuat kesepakatan soal bentuk dan ornamen masjid yang sah di Indonesia.
Patut diapresiasi, upaya MUI untuk mengadakan dialog antarkedua tokoh tersebut. Seperti yang kita sadari, perbedaan persepsi adalah akar dari masalah ini. Persepsi sendiri merupakan salah satu faktor yang sangat memengaruhi komunikasi. Bisa dikatakan, sebagian besar konflik di dunia terjadi akibat perbedaan cara pandang. Perbedaan ini bisa dipengaruhi berbagai faktor. Dalam kasus Masjid Al-Safar, perbedaan tersebut karena perbedaan latar belakang keahlian/kepakaran.
Mari kita lihat sosok Ridwan Kamil. Tak layak kita memandangnya sebagai orang yang “asal” menggambar desain bangunan. Di luar kiprahnya di bidang politik, ia dikenal sebagai arsitek yang diakui dunia.
ADVERTISEMENT
Karya-karyanya merancang bangunan masjid pun terbilang banyak. Yang paling terkenal adalah Masjid Al-Irsyad Padalarang, Masjid 99 Kubah Makassar, Masjid Terapung Gedebage Bandung, serta yang di luar negeri Masjid Raya Sevilla Spanyol dan Masjid Gaza Palestina.
Kita pun tak bisa meremehkan kekhawatiran Ustadz Rahmat Baequni. Sebagai ulama, ia berkewajiban mengawasi dan memperingati akan bahaya yang bisa mengancam aqidah umat. Banyak penelitian yang mengkaji, bahwa simbol-simbol Illuminati –seperti bentuk segitiga, simbol mata satu, dan sebagainya— memang marak ditemukan di berbagai produk budaya populer. Wajar jika ia bereaksi, saat simbol-simbol tersebut masuk ke dalam desain masjid, rumah ibadah yang suci di mata umat Islam.
Inilah mengapa, dialog menjadi solusi yang tepat.
ADVERTISEMENT
Kenapa? Karena dialog bukan “transaksi tawar—menawar”, suatu usaha untuk mencapai kesepakatan. Dialog pun bukan ajang konfrontasi, di mana satu pihak mempersoalkan sesuatu, lalu pihak lainnya memberi pertanggungjawaban. Dialog juga bukanlah suatu ajang adu pendapat untuk mencapai keunggulan.
Singkatnya, dialog adalah “percakapan dengan maksud untuk saling mengerti, memahami, menerima, hidup damai dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan.”
Dalam dialog, kedua pihak saling memberikan informasi, data, fakta, pemikiran, gagasan dan pendapat. Tak berhenti sampai di situ. Mereka juga saling berusaha mempertimbangkan, memahami, dan menerima.
Tak ada yang namanya monopoli pembicaraan, dan tak ada istilah “kebenaran tunggal”. Inti dari dialog adalah bertukar informasi dan gagasan, sehingga terbentuknya saling pengertian dan pemahaman yang lebih luas dan mendalam.
ADVERTISEMENT
Dalam dialog, baik Ridwan Kamil maupun Ustadz Rahmat Baequni adalah pihak yang sama tingginya, dan sama-sama memiliki ilmu. Dari dialog mereka kita belajar berbagai hal baru sesuai dengan latar belakang kepakaran mereka masing-masing.
Lalu, bagaimana dengan kita? Tugas utama kita adalah tak mudah terpecah-belah. Jadilah warganet yang cerdas, yang tak mudah tersulut api yang entah siapa yang mulai membakarnya.
[Penulis : Nadhira]