Saya (Anti) Feminis

Konten Media Partner
11 April 2019 7:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi: mvslim.com/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: mvslim.com/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagaimana pandanganmu,
Jika saya berpendapat bahwa perempuan berkewajiban mengaktualisasikan minat-bakat-nya. Jika saya percaya perempuan memiliki kesempatan untuk bahkan menjadi pimpinan startup hingga mencapai level decacorn. Jika saya menyarankan opsi cerai kepada kawan saya yang sudah berlama-lama disakiti fisik dan batin oleh suaminya? (Setelah beberapa lama opsi sabar dan ikhtiar perbaiki hubungan sudah dijalankan tetapi tidak membuahkan hasil)
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, barangkali tendensi pendapat saya seperti seorang feminis.
Namun, bagaimana pandanganmu,
Jika saya pun mengakui, bahwa tampuk kepemimpinan rumah tangga tetaplah suami. Jika saya pun meyakini, sekeren-keren karir perempuan, tetap harus sinergis pada alur utama aktivitas suami. Jika saya pun mengakui, perempuan jika ya, punya hak atas perlakukan tubuhnya. Tetapi menutupinya sesuai syariat merupakan kewajibannya terhadap Rabb-nya (menurut keyakinan yang saya imani betul).
Sebaliknya, bisa jadi tiga pengakuan terakhir bagi sebagian orang terdengar terlalu submisif, terlalu tunduk, dan tidak sejalan dengan semangat feminisme.
--
Saya tidak akan membahas benar atau salahnya asumsi-asumsi orang mengenai feminisme. Gerakan Indonesia Tanpa Feminis berikut pro dan kontra akannya, menggelitik saya untuk membahas kembali soal istilah 'feminis'.
ADVERTISEMENT
Seseorang memberi istilah untuk menggambarkan atau melambangkan seperangkat cara pandang tertentu. Istilah, ini dalam, ilmu komunikasi dapat disebut sebagai 'lambang'.
Menurut Professor Deddy Mulyana, dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi, lambang sendiri bersifat sebarang, manasuka, dan sewenang-wenang. Apa saja bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Misalnya, bisa saja saya dan sekelompok teman-teman nyentrik saya memutuskan untuk menyebut hewan mengeong dengan sebutan “Kecoa”.
Lambang, menurut Prof. Deddy pada dasarnya tidak mempunyai makna. Kitalah yang memberi makna pada lambang atau istilah.
Persoalan akan timbul bila para peserta komunikasi tidak memberi makna yang sama pada suatu kata. Misal, Ibu A dilabeli feminis oleh sebuah media. Kontan, orang-orang yang alergi dengan istilah feminis berprasangka bahwa ia “anti lelaki”, “tidak sadar kodrat”, “antipoligami” dan prasangka-prasangka lainnya. Padahal, media tersebut melabeli Ibu A sebagai feminis karena keberhasilan ia dalam memberantas KDRT di kampungnya. Bahkan, ia dipoligami oleh suaminya dan hidup bahagia.
ADVERTISEMENT
Istilah 'feminis' selama ini begitu cair dipersepsi. Namun, jika merujuk pada kamus Merriam-Webster, feminism dideskripsikan sebagai [1] 'the theory of the political, economic, and social equality of the sexes'; [2] organized activity on behalf of women's rights and interests.
Perhatikan kata 'equality' atau 'kesetaraan'. Standar 'kesetaraan perempuan' sendiri tentu berbeda-beda tiap orang. Ada yang memperjuangkan kesetaraan pendidikan. Ada yang memperjuangkan kesetaraan insentif dalam pekerjaan. Ada yang memperjuangkan kesetaraan kedudukan dalam rumah tangga.
Perhatikan pula frasa 'women's rights and interests' atau 'hak-hak dan minat-minat perempuan'. Hak-hak perempuan yang diperjuangkan pun bisa berbeda. Ada yang menyoal hak berpendapat, hak mendapatkan akses pendidikan, hingga hak orientasi seksual.
Minat-minat perempuan juga beragam, seperti minat dalam isu lingkungan, minat dalam isu pendidikan, minat dalam isu rumah tangga, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Terlebih, feminisme memiliki banyak warna. Seperti first-wave feminism yang berfokus pada perjuangan akses pendidikan dan hak suara di Amerika Serikat, second-wave feminism yang mengambil isu lebih luas seperti hak reproduksi; kekerasan pada perempuan; kesetaraan di tempat kerja; atau third-wave feminism dengan rentang lebih luas seperti etnik; orinetasi seksual atau hal-hal yang lebih berfokus pada orisinalitas diri.
Ada pula ecofeminism, gerakan pemberdayaan perempuan dalam penjagaan lingkungan. Atau anti-pornography feminism, feminis anti pornografi. Dan sebaliknya, sex-positive feminism-- bahwa pornografi dan prostitusi bukan hal yang patut dilawan, jika itu memang pilihan sadar dari perempuan.
Selain istilah-istilah yang memang sudah tertulis dalam artikel atau hasil analisis peneliti, feminisme dapat pula diartikan berbeda-beda oleh berbagai orang. Pandangan-pandangan mengenai perempuan (mis: menolak prostitusi), bisa jadi dibilang pro-feminis; atau sebaliknya dijuluki kontra-feminis.
ADVERTISEMENT
Atau ketika sesederhana ketika kawan saya bercerita mengenai gerakan penyelamatan lingkungan oleh perempuan-- kawan lelakinya di grup keislaman berkomentar sinis dan berpendapat jika hal tersebut 'berbau feminis'.
Padahal di kepercayaan mereka yang merupakan kepercayaan saya juga, tidak ada satu pun dalil yang melarang perempuan bersama-sama menyelamatkan lingkungan hidup. Selama kewajiban terhadap Yang Maha Kuasa dan kewajiban terhadap suami dan anak-anak masih dapat terurus (bagi yang sudah menikah)-- kenapa alokasi energi kebaikan lain tidak disalurkan untuk berkontribusi pada isu umat manusia?
--
Akhir kata, saya beranggapan, jika kata feminis sangat dapat dipersepsi macam-macam oleh beragam orang. Seperti halnya kata 'liberal', 'konservatif', 'islami', dan lain sebagainya. Barangkali saya feminis bagi sebagian orang. Atau sebaliknya, bagi sebagian lagi, mungkin saya malah antifeminis. Yang jelas, saya tidak melabeli diri dengan keduanya.
ADVERTISEMENT
Ketimbang keburu terbawa emosi (baik terpukau maupun benci) terhadap gerakan yang melabeli dirinya 'Pro-Feminis'; atau 'Indonesia Tanpa Feminis' sekalipun, saya memilih untuk menyibak poin per poin pandangan di balik label tersebut. Barangkali ada poin-poin yang ternyata saya setujui. Barangkali ada poin-poin yang saya tidak setujui. Wajar, kok, jika kita sepakat untuk tidak sepakat dalam beberapa hal.
Pilihan selanjutnya, mau memulai berkomunikasi sehat atas dasar kesamaan? Atau memicu komunikasi tidak sehat yang lebih mengedepankan perbedaan?
[Penulis: Tristia]