TikTok, Perempuan, dan Ancaman di Baliknya

Tengku Caesar Akbar
NIM: 2021041106 Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya
Konten dari Pengguna
16 Juni 2023 16:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tengku Caesar Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Foto oleh cottonbro studio: https://www.pexels.com/id-id/foto/tangan-orang-orang-iphone-smartphone-5081918/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Foto oleh cottonbro studio: https://www.pexels.com/id-id/foto/tangan-orang-orang-iphone-smartphone-5081918/

Fenomena Sharing Konten Personal di Media Sosial

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Semua serba digital, semua serba media sosial. Siapa, sih, di era sekarang ini yang masih asing dengan media sosial? Rasanya sangat tidak mungkin kalau satu media sosial pun di antara kita tidak ada yang punya. Apalagi semenjak waktu pandemi terhitung dari 2020 lalu, semua aktivitas dirumahkan.
ADVERTISEMENT
Mau itu sekolah, kuliah, kerja, bahkan sampai yang sempat viral umroh pun harus dilakukan secara virtual. Memang terdengar tidak masuk akal pada awalnya, namun itulah upaya yang ditekankan pemerintah di seluruh dunia agar kita bersama-sama dapat memutus rantai penyebaran Covid-19.
Kembali ke topik pembahasan, semenjak pandemi, semua orang di rumah, tidak bisa pergi ke mana-mana, bahkan untuk mencari hiburan dan menjalin hubungan sosial. Dengan situasi seperti ini, banyak orang yang tiba-tiba menggunakan media sosial, salah satunya adalah media sosial TikTok, aplikasi video maker yang tengah masif digunakan, khususnya di kalangan remaja akhir sekitar di usia 18-21 tahun.
Terbukti dari data demografi pengguna TikTok di Indonesia dalam situs web ginee.com, sebanyak 40% dari populasi yang menggunakan TikTok adalah dari kalangan berusia 18-24 tahun dan menjadi yang tertinggi (Ginee, 2021). Bagaimana tidak viral? Kehadiran TikTok mampu memenuhi kebutuhan banyak orang melalui konten-konten yang disajikannya.
ADVERTISEMENT
Poin plusnya adalah karena TikTok memiliki algoritma yang mampu menyesuaikan dengan minat penggunanya. Misalnya kalian suka dengan konten a day in my life, kemudian kalian menonton konten tersebut sampai selesai. Algoritma TikTok akan mempelajari minat kamu dan ke depannya akan terus menampilkan konten serupa.
Masifnya penggunaan TikTok menarik perhatian para akademisi untuk diteliti. Salah satunya adalah penelitian terbaru dari mahasiswa/i dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya dengan judul penelitian, “Pengaruh Intensitas Penggunaan TikTok Terhadap Minat Sharing Konten Personal (Studi Korelasi Intensitas Penggunaan TikTok oleh Remaja Akhir Terhadap Sharing Konten Personal)”.
For you information, sharing konten personal definisinya adalah aktivitas membagikan kegiatan sehari-hari/informasi pribadi dan dijadikan konten, contohnya seperti a day in my life, konten ghibah, curhat, dan sejenisnya. Hasil penelitian yang telah mereka lakukan ternyata mereka menemukan bahwa intensitas yang tinggi menggunakan Tiktok, maka akan semakin mungkin pula kita untuk melakukan sharing konten personal di kemudian hari (Wulandari, et al., 2023).
ADVERTISEMENT

Hubungan Antara Gender & Media Sosial

Di samping itu, mereka juga menemukan hal yang menarik, nih. Ternyata, dari 100 orang yang menjadi responden penelitian mereka, 66 orang adalah berjenis kelamin perempuan, lho. Sejalan dengan penelitiannya, situs web dari ginee.com juga membuktikan bahwa demografi pengguna TikTok di Indonesia berdasarkan gender didominasi oleh perempuan dengan perbandingan 68:32 daripada laki-laki (Ginee, 2021). Kira-kira, apa, ya, yang membuat perempuan lebih banyak menggunakan media sosial?
Dari sudut pandang psikologi perempuan adalah makhluk perasa, sedangkan kalau dari sudut pandang komunikasi perempuan dalam berkomunikasi lebih mengutamakan persahabatan dan keakraban. Makanya, perempuan disebut sebagai makhluk yang gemar bersosialisasi (Helpiastuti, 2017). Dengan karakteristiknya ini, perempuan akan lebih mudah bergaul dengan sesama perempuan ataupun lawan jenisnya melalui membagikan informasi yang diketahui dengan tujuan membangun hubungan serta menjalin komunikasi yang baik.
ADVERTISEMENT
Apakah hanya perempuan-perempuan di Indonesia saja yang mendominasi dalam penggunaan media sosial? Bagaimana dengan perempuan di seluruh dunia? Apakah akan sama? Pastinya tidak, sebab setiap negara memiliki populasi, kebiasaan, budaya yang berbeda dengan kita. Namun, dalam situs web konde.co, beberapa studi yang telah dilakukan di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa perempuan dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki dalam hal penggunaan media sosial (Luviana, 2016).
Alasannya pun beragam, ada yang membangun hubungan dan komunikasi, bahkan juga ada yang menyuarakan keluh kesahnya melalui media sosial, lho. Keluh kesahnya bukan seperti konten curhat dari sharing konten personal yang ada di TikTok, melainkan menyuarakan isu-isu kesetaraan gender. Di beberapa negara seperti Indonesia, masih sangat kental budaya patriarkinya, yang mana sosok perempuan dalam kehidupan nyata masih dianggap terbelakang dan laki-laki lebih superior.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan juga mereka tidak bisa menyuarakan hak-hak nya secara langsung, atau mereka juga sudah menyuarakan secara langsung, namun hasilnya zonk. Contohnya datang dari salah satu mahasiswi Universitas Riau yang sempat viral pada 2021 lalu. Ia menceritakan bagaimana ia dilecehkan oleh dosen pembimbingnya melalui media sosial. Kemudian viral di semua platform media sosial, netizen memberikan dukungan penuh pada kasus pelecehan seksual itu.
Kalau kasus seperti ini tidak di-blow up, ya, kasus ini hanya akan sampai pada masalah internal di instansi saja. Bahkan tak jarang yang malah menjadi boomerang bagi perempuan yang padahal berstatus korban.

Media Sosial = Pisau Bermata Dua?

Memang tak dapat dipungkiri bahwa media sosial mampu perilaku manusia sebagai penggunanya. Maka dari itu, kita sebagai penggunanya semestinya agar lebih bijak bermedia sosial. Adakalanya kita membagikan kepada publik melalui media sosial terkait hal yang kita resahkan dari pelayanan publik, atau kebijakan pemerintah yang perlu dikritisi, supaya hal tersebut di-notice dan segera menjadi evaluasi atau kita mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak kita, sama seperti kasus pelecehan seksual tadi.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, berhati-hatilah dalam bermedia sosial. Bukan cuma jaga lisan, tapi juga jaga ketikan. Sebab hal tersebut bisa menjadi boomerang tersendiri bagi kita. Niatnya ingin menuntut keadilan, tetapi yang kita dapatkan malah ancaman hukuman. Selain itu juga, kita harus ingat bahwa apa yang telah secara sadar kita bagikan ke media sosial, apalagi dijadikan sebuah konten, itu sudah menjadi informasi publik.
Semua netizen yang menonton konten tersebut dapat menjadi pemilik bersama informasi kita. Lagi-lagi, kita harus berhati-hati dengan media sosial. Sebab, sebenarnya media sosial ini bagaikan ‘pisau bermata dua. Di satu sisi media sosial seperti TikTok contohnya mampu memenuhi kebutuhan penggunanya untuk media curhat, media untuk bersosial dengan pengguna lain, media hiburan, media mencari cuan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, media sosial juga mampu menjadi ancaman bagi kita sendiri, apalagi yang menyangkut informasi yang bersifat pribadi. Ingat, bahwa kejahatan bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. So, take your own risk on your social media!