Konten dari Pengguna

Di Balik Kawat Berduri: Episode Kelam Warga Keturunan Jepang di Amerika Serikat

Adriyanto M
Penjelajah waktu, pekerja mandiri, alumni Universitas Mulawarman, multi minat.
15 April 2025 12:27 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adriyanto M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keluarga Takashi (Desain oleh ChatGPT Image)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga Takashi (Desain oleh ChatGPT Image)
ADVERTISEMENT
Aku membuka mata di tengah lengking sirene dan gemuruh ledakan. Pagi itu, 7 Desember 1941, aku—seorang penjelajah waktu dari masa depan—tiba di Pearl Harbor tepat saat serangan Jepang berlangsung. Langit diselimuti asap hitam ketika pesawat-pesawat pengebom menukik dan menjatuhkan bom ke kapal-kapal perang di pelabuhan. Ledakan dahsyat mengguncang tanah; orang-orang berteriak panik, pelaut berusaha menyelamatkan diri dengan melompat dari kapal yang terbakar.
ADVERTISEMENT
Aku terpaku, jantung berdegup kencang, tak percaya menyaksikan salah satu peristiwa paling kelam abad ke-20 di depan mataku. Bau mesiu bercampur asap dan air laut tercium tajam, diiringi jeritan kesakitan di mana-mana. Hatiku perih melihat begitu banyak nyawa melayang seketika.
Namun aku tahu, tragedi ini barulah awal. Dampaknya akan merambat jauh, mencapai daratan Amerika dan menimpa orang-orang tak bersalah, termasuk keluarga-keluarga keturunan Jepang yang loyal pada negeri itu.
Dengan berat hati, kutinggalkan Hawaii yang porak-poranda. Kugunakan kemampuanku melintasi waktu dan ruang menuju daratan utama Amerika, beberapa hari setelah serangan. Tujuanku adalah Seattle, sebuah kota di Pantai Barat yang tengah diliputi kecemasan.
Saat tiba di Seattle, udara musim dingin menusuk kulit. Salju tipis menyelimuti atap-atap rumah. Di sebuah lingkungan bernama Nihonmachi, permukiman komunitas Jepang-Amerika di Seattle, aku melihat banyak toko tutup lebih awal dan tirai-tirai rumah terkatup rapat. Wajah-wajah yang biasanya ramah kini diliputi kekhawatiran. Koran-koran terbitan hari itu menampilkan judul besar mengenai serangan Pearl Harbor dan seruan kewaspadaan terhadap “musuh dalam selimut”. Meski mereka warga Amerika, orang-orang keturunan Jepang di sini tiba-tiba dipandang seperti ancaman.
ADVERTISEMENT
Di sebuah toko kelontong kecil, aku pertama kali bertemu Takashi. Ia pria awal tiga puluhan yang berdiri di balik meja kasir dengan raut cemas, matanya menatap koran sore berisi kabar serangan. Di sampingnya berdiri istrinya, Emiko, menggendong anak bungsu mereka erat-erat seolah mencari rasa aman. Dua anak mereka yang lain bersembunyi di balik kaki Takashi. Dari sorot mata Takashi yang gelisah, aku melihat bayangan perasaan yang sama seperti kulihat di Pearl Harbor pagi itu: keterkejutan, ketakutan, dan ketidakpastian.
Aku menyapa mereka pelan, menanyakan apakah mereka baik-baik saja. Takashi sempat tertegun, lalu memaksakan senyum dan mempersilakanku masuk untuk berteduh dari dinginnya udara luar. Begitulah awal percakapan pertama kami.
Keluarga Takashi memperlakukanku dengan ramah layaknya kenalan lama. Emiko menuangkan teh hijau hangat untukku, sementara ketiga anak mereka perlahan keluar dari balik persembunyian dan menatapku dengan rasa ingin tahu. Ibunda Takashi—yang dipanggil Nenek oleh cucu-cucunya—duduk di kursi goyang dekat perapian sambil tersenyum hangat padaku.
ADVERTISEMENT
Malam hari setelah anak-anak tidur, rumah terasa sunyi mencekam. Sejak kabar Pearl Harbor, keluarga Takashi memang hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Aku duduk bersama Takashi dan Emiko di ruang tamu sempit mereka, berbicara dengan suara berbisik.
Mereka bercerita dengan cemas tentang apa yang telah terjadi. Sehari setelah serangan, beberapa kenalan keturunan Jepang di komunitas mereka ditangkap pihak berwajib tanpa alasan jelas. Sejak itu, suasana berubah mencekam. Ada tetangga yang dulu ramah kini menjauh. Bahkan, suatu malam jendela depan toko mereka dipecahkan oleh lemparan batu disertai pekikan kata “pengkhianat” dari kegelapan. Emiko menggigil ketakutan, memeluk anak-anak erat-erat, sementara Takashi berusaha menenangkan keluarganya meski hatinya diliputi kecemasan dan luka.
Sebagai penjelajah waktu yang tahu arah sejarah, aku merasakan dilema yang perih. Ingin rasanya kuperingatkan mereka bahwa keadaan akan bertambah sulit. Bahwa dalam hitungan minggu pemerintah akan mengeluarkan keputusan yang memaksa semua keturunan Jepang meninggalkan rumah mereka. Namun aku hanya bisa menepuk pelan bahu Takashi dan mencoba menyalurkan kekuatan lewat tatapanku. “Kita akan melewati ini bersama,” bisikku samar.
ADVERTISEMENT
Benar saja, ketakutan terburuk mereka menjadi kenyataan. Pada akhir April 1942, pengumuman resmi pemerintah memerintahkan semua orang keturunan Jepang, tanpa kecuali, untuk segera bersiap direlokasi. Kami diberi waktu hanya beberapa hari untuk berkemas. Setiap keluarga diperbolehkan membawa barang secukupnya—hanya yang bisa dijinjing dengan tangan. Selebihnya harus ditinggalkan.
Malam itu aku menyaksikan sendiri penderitaan batin keluarga Takashi. Dengan mata berkaca-kaca, Emiko dan Takashi berkeliling rumah mungil mereka, menatap setiap perabot dan kenangan yang tertinggal. Foto pernikahan di dinding, mainan anak-anak berserakan di lantai—segala benda penuh kenangan itu mungkin tak akan mereka lihat lagi entah sampai kapan.
“Apa yang akan terjadi pada rumah kita?” bisik Emiko sambil mengelus dinding kayu dari rumah yang telah lama menaungi keluarga mereka. Takashi menggeleng perlahan, rahangnya mengeras menahan marah dan sedih. Ia tahu kemungkinan besar mereka harus menjual toko dan rumah dengan harga sangat murah atau menitipkannya pada kenalan, meski belum tentu nanti bisa kembali.
ADVERTISEMENT
Kami mulai berkemas. Aku membantu semampuku melipat pakaian dan membungkus foto keluarga. Nenek dengan tangan bergetar mengambil satu koper tua dari gudang. Di dalamnya ia letakkan kimono sutra berwarna biru tua—warisan dari ibunya di Jepang—bersama beberapa buku harian lama.
Takashi memutuskan menutup tokonya lebih awal hari itu. Sebelum menutup pintu, ia memandang sekali lagi papan nama di atas etalase: Toko Makanan Matsuda – nama keluarganya. Entah apa yang ada di benaknya saat itu; mungkin ia bertanya-tanya apakah nama itu masih akan berarti setelah semua ini berlalu.
Kenji, si sulung, menarik ujung baju ayahnya. “Ayah, kenapa kita harus pergi? Apa kita melakukan kesalahan?” tanyanya polos. Takashi berlutut, mengusap kepala putranya dengan lembut. Dengan suara parau ia menjawab, “Tidak, nak. Kita tidak berbuat salah apa pun. Hanya saja... kadang orang takut pada hal yang tidak mereka mengerti. Tapi jangan khawatir, Ayah dan Ibu akan bersama kalian. Kita akan baik-baik saja selama kita bersama.” Air mata menggenang di mata Takashi saat mengucapkan kata-kata itu, namun ia segera menghapusnya agar anak-anak tetap merasa tenang.
ADVERTISEMENT
Sebelum aku melanjutkan kisah perjalanan kami ke kamp, izinkan aku menjelaskan sedikit tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu.
Setelah serangan Pearl Harbor, pemerintah Amerika Serikat dilanda ketakutan besar akan kemungkinan sabotase atau spionase dari warga keturunan Jepang. Pada Februari 1942, Presiden Franklin D. Roosevelt mengeluarkan Executive Order 9066, yang memberikan wewenang kepada militer untuk menetapkan "zona militer" dan memindahkan siapa pun yang dianggap ancaman bagi keamanan nasional.
Tanpa bukti kejahatan apa pun, lebih dari 120.000 orang keturunan Jepang—dua pertiga di antaranya warga negara Amerika yang lahir di tanah ini—dipaksa meninggalkan rumah, toko, dan kehidupan mereka. Mereka dikirim ke internment camps, yaitu kamp-kamp penahanan terpencil yang dijaga ketat oleh militer, di mana mereka harus hidup bertahun-tahun di bawah pengawasan, dalam kondisi serba kekurangan.
ADVERTISEMENT
Pada masa itu, suasana di Amerika dipenuhi ketidakpercayaan, paranoia, dan prasangka rasial yang diperburuk oleh propaganda perang. Banyak warga keturunan Jepang mengalami perlakuan diskriminatif, kehilangan harta benda, pekerjaan, dan bahkan martabat, hanya karena darah keturunan yang mereka warisi. Mereka diperlakukan bukan sebagai tetangga atau rekan sesama warga Amerika, melainkan sebagai "musuh" di tanah air mereka sendiri.
Hari evakuasi pun tiba. Pagi itu, keluargaku—aku sudah merasa bagian dari mereka kini—berjalan menuju titik kumpul yang ditentukan. Kami semua diberi label nomor keluarga yang digantung di leher dan ditempel di koper masing-masing. Pemandangan di jalanan benar-benar memilukan: ratusan keluarga keturunan Jepang berbaris sambil menenteng koper dan buntalan, wajah-wajah tua, dewasa, hingga anak-anak tampak kebingungan dan ketakutan. Tentara berseragam dengan senapan berjaga di sudut-sudut jalan.
ADVERTISEMENT
Kenji menggenggam tangan adiknya, Hana, berusaha tampil berani walau bibirnya gemetar. Taro yang masih balita digendong erat oleh Emiko. Aku membantu membawa sebuah koper besar berisi pakaian dan selimut. Takashi berjalan paling depan di sisi Nenek, menuntun ibunya perlahan. Kulihat tangan Nenek menggenggam tas kain berisi beberapa onigiri dan bekal sederhana yang disiapkan Emiko pagi itu—mungkin bekal terakhir dari dapur rumah mereka sendiri.
Kami diangkut dengan truk militer ke kamp sementara bernama Camp Harmony di arena pekan raya Puyallup. Di sana, kami ditempatkan dalam barak-barak sempit bekas kandang ternak, beralaskan jerami dan berdinding kayu tipis. Udara dingin menembus celah dinding dan bau kandang masih menyengat, membuat banyak anak-anak menangis kedinginan di malam pertama. Meski kondisi memprihatinkan, keluarga Takashi berusaha bertahan dengan tabah.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa bulan di Camp Harmony, pada Agustus 1942 kami dipindahkan lagi dengan kereta api ke kamp permanen yang lebih jauh, bernama Minidoka, di tengah padang pasir Idaho. Sesampainya di Minidoka, kami mendapati tempat itu jauh lebih luas namun sama mencekamnya. Pagar kawat berduri mengelilingi kamp, lengkap dengan menara penjaga di sudut-sudutnya. Puluhan barak kayu berjajar di atas tanah tandus yang ditiup angin gurun berdebu. Setiap barak dibagi menjadi beberapa ruangan kecil untuk masing-masing keluarga.
Keluarga Takashi mendapatkan satu ruangan sempit, tempat berlindung kami berlima (ditambah aku) selama beberapa tahun berikutnya. Debu halus gurun menyusup lewat celah-celah barak, menyelimuti kasur tipis dan selimut kami. Siang hari udara terik menyengat, malam hari dingin menusuk hingga ke tulang.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, keluarga Takashi menunjukkan ketabahan luar biasa. Takashi ikut bekerja menanam sayur di lahan gersang tepi kamp, Emiko membantu memasak di dapur umum, sementara anak-anak menghadiri sekolah darurat yang didirikan di kamp. Mereka sekeluarga berusaha menjalani hari-hari senormal mungkin meski serba kekurangan, saling menguatkan satu sama lain.
Nenek Takashi yang sudah renta pun berusaha tetap berguna; tiap pagi ia menyapu debu di lantai barak kami dengan sapu lidi yang dibuatnya dari ranting, meski debu selalu datang lagi. Kadang ia membantu mengasuh bayi para tetangga saat ibu mereka sedang bekerja. Di sore hari, ia duduk di bangku depan barak memangku Taro sambil bercerita dalam bahasa Jepang tentang kampung halamannya di seberang lautan, menenangkan hati cucu-cucunya dengan suara lembut.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, Kenji pulang berlari kecil mendahului orang tuanya sambil membawa sesuatu di tangannya. “Ayah, Ibu, lihat! Aku menemukan tunas bunga matahari di dekat pagar sana, tumbuh di celah tanah!” serunya dengan mata berbinar. Di tangannya tergenggam pucuk hijau kecil. Entah dari mana benihnya, mungkin terbawa angin. Melihatnya, Emiko menampilkan senyum tulus untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan. “Kita tanam di kaleng dan rawat sama-sama, ya,” ujarnya.
Maka setiap hari, anak-anak menyirami tunas bunga matahari yang mereka tanam di kaleng bekas, menunggu dengan sabar hingga kelak berbunga. Bagi kami, tunas mungil itu menjadi lambang harapan bahwa bahkan di tanah tandus sekalipun, kehidupan dan keindahan bisa tumbuh.
Pada musim dingin pertama di Minidoka, Hana jatuh sakit parah. Fasilitas klinik yang minim membuat Takashi dan Emiko cemas setengah mati, sebelum akhirnya Hana pulih berkat perawatan seadanya dan doa yang tak putus-putus.
ADVERTISEMENT
Menjelang musim semi berikutnya, bunga matahari yang dirawat anak-anak akhirnya berbunga kuning cerah di dalam kaleng, membuat wajah Hana dan Kenji berseri-seri. Bunga itu membawa sedikit keceriaan di tengah keseharian kamp yang suram.
Tahun demi tahun berlalu perlahan. Aku menyaksikan sendiri bagaimana keluarga ini menyalakan harapan setiap hari di tengah ketidakpastian.
Akhirnya pada bulan Agustus 1945, perang berakhir. Tak lama kemudian, kabar gembira itu datang: semua penghuni kamp dibebaskan dan boleh pulang. Pengumuman itu disambut sorak-sorai dan tangis haru di seantero kamp. Orang-orang saling berpelukan, bersyukur karena akhirnya terbebas dari kurungan bertahun-tahun.
Perang akhirnya usai, dan seluruh interniran pun dibebaskan. Keluarga Takashi melangkah keluar dari kamp dengan haru, siap menata kembali kehidupan mereka. Kembali di Seattle, rumah mereka masih berdiri meski berdebu dan kosong. Dengan tabah, keluarga itu mulai membangun lagi hidupnya dari awal, berbekal semangat yang sama yang menuntun mereka melewati masa-masa di kamp.
ADVERTISEMENT
Tiba waktunya bagiku untuk kembali ke masaku sendiri, aku berpamitan pada Takashi dan keluarganya. Mereka mengucapkan terima kasih karena telah mendampingi mereka melalui semua itu. Sebenarnya akulah yang berterima kasih kepada mereka. Ketabahan dan harapan yang mereka tunjukkan di tengah penderitaan menjadi pelajaran berharga bagiku tentang martabat dan kekuatan manusia.
Aku meninggalkan tahun 1945 dengan hati yang penuh haru, menyadari bahwa di tengah kelamnya ketidakadilan, cahaya kemanusiaan tetap bisa bersinar melalui keluarga seperti keluarga Takashi yang tak pernah padam harapannya.
__________
DISCLAIMER:
Cerita ini merupakan karya fiksi yang ditulis dengan latar belakang peristiwa sejarah nyata, yaitu interniran warga keturunan Jepang di Amerika Serikat selama Perang Dunia II. Nama, tokoh, dan sebagian kejadian dalam cerita ini adalah hasil imajinasi penulis dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan individu atau keluarga tertentu secara nyata.
ADVERTISEMENT
Meskipun beberapa elemen sejarah seperti Executive Order 9066, kondisi kehidupan di kamp interniran, dan perlakuan terhadap warga Jepang-Amerika berdasarkan fakta, alur cerita, karakter Takashi dan keluarganya, serta detail emosional lainnya dikembangkan secara fiktif untuk menggambarkan pengalaman manusiawi pada masa tersebut.
Cerita ini bertujuan untuk menghormati, mengenang, dan mengedukasi tentang ketabahan dan harapan para korban ketidakadilan rasial di masa perang, serta mengajak pembaca untuk mengambil pelajaran berharga dari babak sejarah yang kelam ini.