Konten dari Pengguna

Naturalisasi Masif ala PSSI: Revolusi Timnas atau Sekadar Jalan Pintas?

Adriyanto M
Pekerja mandiri, alumni Universitas Mulawarman, multi minat.
30 Maret 2025 10:15 WIB
·
waktu baca 21 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adriyanto M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Timnas Indonesia menuju Piala Dunia 2026 (Sumber: Dokumen Karya Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Timnas Indonesia menuju Piala Dunia 2026 (Sumber: Dokumen Karya Pribadi)
ADVERTISEMENT
Di bawah kepemimpinan Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI, tim nasional Indonesia menempuh pendekatan unik dalam pembentukan skuadnya. PSSI secara agresif merekrut pemain berdarah Indonesia yang lahir dan berkarier di luar negeri, khususnya di Belanda, melalui proses naturalisasi. Strategi naturalisasi massal ini menghadirkan sederet nama baru dalam skuad “Merah Putih” dan diharapkan mampu mendongkrak prestasi Indonesia di level Asia bahkan dunia.
ADVERTISEMENT
Tulisan panjang ini akan mengulas daftar pemain keturunan Belanda yang dinaturalisasi, dampaknya terhadap performa timnas (terutama di Piala Asia dan kualifikasi Piala Dunia), perbandingan dengan negara lain seperti Filipina dan Malaysia, analisis faktor sejarah kolonial Belanda yang mempermudah langkah ini, serta evaluasi apakah strategi ini bersifat jangka pendek atau panjang dan seberapa sustainable ke depannya.

Deretan Pemain Naturalisasi Keturunan Belanda di Timnas Indonesia

Strategi naturalisasi era Erick Thohir/Shin Tae-yong berfokus pada pemain diaspora Indonesia, terutama yang berkarier di Belanda. Sejak 2020, ada belasan pemain kelahiran Eropa – mayoritas dari Belanda – yang telah resmi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dan tampil membela timnas​. Berikut beberapa nama penting beserta latar belakang singkat mereka:
ADVERTISEMENT
Marc Klok – Lahir di Amsterdam, 1993. Gelandang ini dinaturalisasi akhir 2020 setelah berkarier beberapa tahun di Liga Indonesia. Ia menjadi pionir gelombang baru pemain naturalisasi di era Shin Tae-yong​ dan telah tampil di ajang seperti Piala AFF 2020 dan 2022.
Sandy Walsh – Lahir di Belgia (ayah Inggris-Somalia, ibu keturunan Indonesia-Belanda) tahun 1995. Bek sayap ini pernah bermain untuk tim muda Belanda dan akhirnya bersumpah menjadi WNI bersama Jordi Amat pada November 2022​. Sandy kini jadi salah satu andalan pertahanan timnas Indonesia.
Shayne Pattynama – Lahir di Lelystad, Belanda, 1998. Ayahnya berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Full-back kiri ini resmi jadi WNI Januari 2023​ dan mulai memperkuat timnas sejak 2023.
ADVERTISEMENT
Rafael Struick – Lahir di Leidschendam, Belanda, 2003. Berdarah Indonesia dari kedua orang tua (ayah keturunan Indonesia-Belanda, ibu keturunan Jawa-Suriname). Pemain sayap/penyerang ini rampung naturalisasi Mei 2023​ dan tampil untuk timnas U-23 serta debut di tim senior pada 2023.
Ivar Jenner – Lahir di Utrecht, Belanda, 2004. Gelandang jangkar yang memiliki nenek asal Jember, Jawa Timur. Bersama Rafael, ia juga diambil sumpah WNI pada Mei 2023​ dan kini menjadi pemain tengah muda andalan timnas.
Justin Hubner – Lahir di ‘s-Hertogenbosch, Belanda, 2003. Bek tengah berpostur tinggi ini punya kakek asal Makassar​. Ia menyelesaikan naturalisasi Desember 2023​ dan digadang-gadang sebagai palang pintu masa depan Indonesia (pernah dipanggil tim muda Belanda U-20).
ADVERTISEMENT
Jay Idzes – Lahir di Mierlo, Belanda, 2000. Bek tengah klub Venezia (Italia) ini memiliki kakek-nenek kelahiran Semarang​. Ia resmi jadi WNI akhir Desember 2023​ dan langsung memperkuat timnas di kualifikasi Piala Dunia 2026.
Nathan Tjoe-A-On – Lahir di Rotterdam, Belanda, 2001. Bek kiri klub Swansea City ini punya garis keturunan dari kakeknya yang asal Semarang​. Nathan disumpah Maret 2024 dan melakukan debut melawan Vietnam pada 21 Maret 2024​.
Ragnar Oratmangoen – Lahir di Oss, Belanda, 1998. Penyerang sayap keturunan Maluku (kakek dari ayahnya lahir di Maluku)​. Resmi WNI Januari 2024 dan mencetak gol dalam debutnya melawan Vietnam di kualifikasi Piala Dunia Maret 2024​.
Thom Haye – Lahir di Amsterdam, Belanda, 1995. Gelandang kreatif yang punya kakek dari Solo dan nenek dari Sulawesi​. Disumpah WNI Januari 2024 bersama Ragnar, dan debut vs Vietnam di kualifikasi Piala Dunia 2026​.
ADVERTISEMENT
Maarten Paes – Lahir di Nijmegen, Belanda, 1998. Kiper klub FC Dallas (MLS) ini memiliki garis keturunan Indonesia dari neneknya​. Prosesnya sedikit terhambat karena pernah memperkuat Belanda U-21, namun akhirnya resmi jadi WNI April 2024. Kini ia menjadi pemain utama di posisi kiper timnas.
Calvin Verdonk – Lahir di Dordrecht, Belanda, 1997. Bek kiri/central defender yang berdarah Indonesia dari ayahnya​. Sumpah WNI Juni 2024 dan langsung dimainkan di kualifikasi Piala Dunia melawan Filipina (ia debut saat Indonesia vs Filipina)​.
Selain nama-nama di atas, beberapa pemain keturunan Belanda lain sudah lebih dulu membela Indonesia dalam satu dekade terakhir. Stefano Lilipaly (lahir di Arnhem, 1990) menjadi WNI pada 2011 dan tampil sejak 2013​. Diego Michiels (Deventer, 1990) dan Raphael Maitimo (Rotterdam, 1984) juga naturalisasi pada 2011-2012.
ADVERTISEMENT
Bahkan jauh sebelumnya, Indonesia pernah diperkuat pemain kelahiran Belanda seperti Tonnie Cusell dan Jhon van Beukering (Piala AFF 2012). Ini menunjukkan bahwa memanfaatkan pemain keturunan sebenarnya bukan hal baru. Namun, di era Erick Thohir/Shin Tae-yong inilah program ini dijalankan secara masif dan terstruktur, dengan jumlah pemain diaspora terbanyak dalam sejarah timnas Indonesia​.

Dampak Naturalisasi terhadap Performa Timnas Indonesia

Masuknya banyak pemain berpengalaman dari Eropa segera memberi dampak signifikan pada performa tim nasional. Kualitas skuad meningkat dan hasil-hasil positif pun bermunculan di ajang resmi, terutama di kancah Asia:

Piala Asia 2023 (Qatar)

Indonesia berhasil lolos ke putaran final Piala Asia 2023 setelah absen sejak 2007. Lebih impresif lagi, skuad Garuda mampu menembus babak 16 besar – sesuatu yang belum pernah dicapai sebelumnya. Indonesia finis peringkat tiga terbaik di fase grup dengan 3 poin, unggul tipis atas Oman yang hanya 2 poin​. Kemenangan krusial 1-0 atas Vietnam di laga terakhir grup memastikan langkah historis ini. Untuk pertama kalinya, Indonesia lolos dari fase grup Piala Asia sepanjang keikutsertaannya​.
ADVERTISEMENT
Meski akhirnya langkah terhenti di 16 besar (takluk 0-4 dari Australia), capaian ini sudah melampaui ekspektasi awal dan menunjukkan peningkatan daya saing timnas di level Asia.

Kualifikasi Piala Dunia 2026

Performa timnas di babak kualifikasi zona Asia juga terdongkrak. Indonesia mulus melewati putaran kedua (fase grup) dan melaju ke putaran ketiga kualifikasi (18 besar Asia), sesuatu yang nyaris tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Di putaran kedua, Indonesia menyingkirkan saingan seperti Vietnam dan Filipina untuk finis di posisi dua grup, hanya di bawah Irak. Salah satu penampilan fenomenal terjadi saat tandang ke Hanoi: Indonesia menghantam tuan rumah Vietnam 3-0 pada 26 Maret 2024, kemenangan tandang terbesar Indonesia atas Vietnam sepanjang sejarah. Gol-gol kemenangan dicetak oleh pemain naturalisasi – bek jangkung Jay Idzes lewat sundulan, dan penyerang Ragnar Oratmangoen dengan aksi individu – sebelum Ramadhan Sananta melengkapi skor​.
ADVERTISEMENT
Media Vietnam menyebut Indonesia “ditopang para pemain naturalisasi baru” sehingga tampil sangat berbeda dibanding beberapa tahun lalu​. Kemenangan ini bahkan berujung pemecatan pelatih Vietnam, menandakan betapa strategisnya hasil tersebut.

Momentum Berlanjut

Di putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia (awal 2024 hingga 2025), Indonesia terus mengejutkan. Puncaknya, pada November 2024 Indonesia mencatat kemenangan bersejarah 2-0 atas Arab Saudi di Stadion Gelora Bung Karno.
Kemenangan atas raksasa Asia tersebut membuat Indonesia mengumpulkan 6 poin dari 6 laga awal grup putaran ketiga​. Secara poin, ini adalah raihan terbaik tim Asia Tenggara yang pernah berlaga di babak final kualifikasi Piala Dunia​ – melampaui capaian Vietnam (4 poin di edisi 2022) dan Thailand (2 poin di edisi 2018)​.
ADVERTISEMENT
Para pemain keturunan kembali berperan; misalnya Marselino Ferdinan (pemain lokal) dan Rafael Struick mencetak gol ke gawang Arab Saudi dalam laga tersebut. Kombinasi pemain naturalisasi dan lokal terbukti membuat timnas Indonesia lebih solid dan percaya diri menghadapi tim-tim kuat.
Selain turnamen resmi di atas, kehadiran pemain naturalisasi juga membantu Indonesia meraih hasil baik di berbagai laga FIFA Matchday (uji coba internasional). Ranking FIFA Indonesia terdongkrak naik dalam dua tahun terakhir seiring hasil positif kontra tim-tim kuat Asia. Perpaduan antara pemain diaspora dan pemain lokal membuat timnas tampil lebih kompetitif.
Dari sisi mental, prestasi seperti lolos grup Piala Asia dan masuk putaran final kualifikasi Piala Dunia telah meningkatkan kepercayaan diri skuad Garuda. Para pemain naturalisasi yang terbiasa dengan kultur profesional Eropa juga membawa standar latihan dan disiplin tinggi, yang menular ke pemain lokal.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, strategi ini mulai membuahkan hasil jangka pendek: Indonesia tak lagi dianggap lumbung gol di Asia Tenggara, melainkan penantang serius bahkan bagi negara-negara yang secara tradisional dianggap kuat.

Perbandingan dengan Negara Lain: Strategi Diaspora Filipina dan Malaysia

Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memanfaatkan hubungan historis atau diaspora dengan negara yang maju sepak bolanya. Filipina dan Malaysia adalah dua contoh tim yang menerapkan pendekatan serupa, meski dengan skala dan hasil berbeda.

Filipina (Azkals)

Sejak sekitar 2010, Filipina secara masif merekrut pemain keturunan Filipina yang besar di Eropa atau Amerika (disebut Fil-foreign). Langkah ini dipicu oleh minimnya pembinaan lokal dan keinginan cepat meningkatkan prestasi. Hasilnya terbukti: tim nasional Filipina yang dahulu tim lemah berubah jadi penantang serius di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Generasi emas yang dipimpin pemain bersaudara Phil dan James Younghusband (lahir di Inggris) berhasil membawa Filipina pertama kali menembus semifinal Piala AFF 2010, sebuah pencapaian fenomenal yang dijuluki “Miracle of Hanoi”. Dalam beberapa edisi AFF berikutnya (2012, 2014, 2018), Filipina konsisten mencapai semifinal – sesuatu yang sebelumnya tak pernah mereka rasakan.
Analis GMA News menulis bahwa kesuksesan Filipina saat itu sangat dipengaruhi ‘anak-anak diaspora’ yang ditemukan dan dipulangkan untuk membela tanah leluhurnya​. Nama-nama seperti Younghusband bersaudara, Rob Gier, hingga Neil Etheridge (kiper asal Inggris) mengangkat level Azkals dari tim papan bawah menjadi kekuatan baru​. Puncaknya, Filipina berhasil lolos ke Piala Asia 2019 untuk pertama kalinya.
Namun, pendekatan Filipina juga memiliki keterbatasan seiring waktu. Basis pemain diaspora mereka relatif sempit – mengandalkan minoritas populasi (kurang dari 10% populasi Filipina berada di luar negeri yang terlibat sepak bola kompetitif)​. Akibatnya, kedalaman skuad terbatas dan beberapa posisi krusial kekurangan pemain lokal berkualitas. Ketergantungan pada segelintir bintang diaspora (misal Phil Younghusband di lini depan) membuat tim rentan saat pemain tersebut menurun atau pensiun​.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada tantangan chemistry: memasukkan banyak pemain besar di luar negeri bisa mempengaruhi kekompakan tim, terutama jika pemain datang dadakan sebelum turnamen. Faktor bahasa dan budaya juga jadi kendala adaptasi – contohnya bek Spanyol-Filipina Alvaro Silva pernah kesulitan beradaptasi di Azkals meski punya CV La Liga.
Setelah mencapai puncak di akhir 2010-an, performa Filipina sedikit stagnan; mereka gagal lolos ke Piala Asia 2023 dan di AFF belakangan tersisih di fase grup. Hal ini menjadi pembelajaran bahwa naturalisasi perlu dibarengi pembinaan.
Analis Roy Moore dari GMA berargumen bahwa Filipina telah “mencapai titik nadir” dengan model impor pemain diaspora, dan satu-satunya jalan untuk naik ke level berikutnya adalah investasi di akar rumput domestik​.
ADVERTISEMENT

Malaysia (Harimau Malaya)

Malaysia memiliki sejarah sepak bola yang lebih kuat di level regional dibanding Indonesia atau Filipina, namun belakangan juga melirik strategi naturalisasi/diaspora untuk mempercepat peningkatan. Berbeda dengan Indonesia yang merupakan koloni Belanda, Malaysia punya hubungan historis dengan Britania Raya. Banyak warga diaspora Malaysia di Inggris/Australia, meski tak sebanyak komunitas Indo-Belanda.
Pada 2010-an akhir, Malaysia mulai memanggil pemain kelahiran luar negeri dengan darah Malaysia: misalnya Matthew Davies (bek kanan lahir di Australia, ibu dari Sabah), Brendan Gan (gelandang lahir di Australia, ayah Malaysia), Junior Eldstal (bek, ibu Malaysia, ayah Swedia), hingga Dion Cools (bek, lahir di Belgia, ibu Malaysia).
Kehadiran mereka, plus beberapa pemain naturalisasi non-diaspora (seperti Mohamadou Sumareh dari Gambia, Liridon Krasniqi dari Kosovo), turut membantu Malaysia berprestasi. Malaysia berhasil lolos ke Piala Asia 2023 (melalui kualifikasi) – pencapaian pertama lewat kualifikasi sejak 1980, mengakhiri penantian panjang​.
ADVERTISEMENT
Dalam skuad Piala Asia 2023 itu, terdapat kombinasi pemain lokal dan keturunan, ada 4 pemain naturalisasi penuh dan 10 pemain berdarah campuran dalam tim Malaysia tersebut​. Misalnya, Dion Cools menjadi andalan di lini belakang, dan pemain seperti Corbin Ong (lahir di Kanada, ibu Malaysia) juga memperkuat sektor bek kiri.
Meski tidak segencar Indonesia, Malaysia kini semakin aktif mengejar pemain diaspora. Federasi Sepak Bola Malaysia (FAM) tampaknya melihat langkah Indonesia dan “tidak mau kalah” dengan mulai memproses banyak pemain keturunan. Tunku Ismail (TMJ), pemilik Johor DT, menegaskan Malaysia akan terus menaturalisasi pemain berdarah Malaysia di luar negeri​.
Terbaru, Maret 2025, Malaysia menaturalisasi Héctor Hevel, gelandang kelahiran Belanda 1996 yang ternyata punya darah Malaysia dari garis keturunan (Hevel memiliki darah Belanda, Spanyol, dan Malaysia)​. Hevel langsung debut membela Harimau Malaya melawan Nepal di kualifikasi Piala Asia 2027 dan mencetak gol kemenangan​.
ADVERTISEMENT
Selain Hevel, Malaysia juga memanggil pemain muda berdarah Spanyol-Malaysia (Gabriel Quak Palmero) dan kiper keturunan Spanyol-Malaysia (Christian Amat) ke timnas senior mereka​.
Rencana FAM bahkan mencakup 7-8 pemain diaspora baru untuk segera dinaturalisasi menghadapi turnamen mendatang​. Langkah Malaysia ini menunjukkan tren bahwa naturalisasi berbasis diaspora mulai dianggap lumrah di ASEAN.
Tentu, tantangan Malaysia berbeda. Populasi dan diaspora Malaysia lebih kecil dari Indonesia. CEO FAM, Rob Friend, secara realistis mengakui: “Kami harus realistis, Malaysia tidak seperti Indonesia. Populasi mereka lebih besar, dan diaspora Indonesia tersebar di seluruh dunia” ujarnya. Artinya, kolam bakat keturunan Indonesia di luar negeri jauh lebih luas daripada Malaysia.
Malaysia sempat menemui kendala ketika mencoba menaturalisasi pemain tanpa darah Malaysia. Contohnya, rencana merekrut bek Belanda Mats Deijl gagal karena ternyata Deijl hanya punya garis keturunan Singapura (bukan Malaysia), sehingga tidak memenuhi syarat FIFA​. Kasus ini menegaskan bahwa naturalisasi berbasis diaspora menuntut hubungan darah yang jelas.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, Malaysia kini berusaha memanfaatkan siapa pun pemain keturunan yang memenuhi syarat. Mereka berharap dapat mengejar ketertinggalan dari Indonesia dan negara ASEAN lain dengan memaksimalkan talenta diaspora (bahkan kabarnya juga mengincar beberapa pemain keturunan di Belanda, mirip jalur Indonesia)​.
Secara keseluruhan, baik Filipina maupun Malaysia mengakui nilai tambah pemain diaspora: Filipina menggunakannya lebih awal untuk “mengangkat” level dasar timnya, sementara Malaysia belakangan mengadopsi pendekatan ini agar tetap kompetitif di tengah maraknya naturalisasi di kawasan.
Erick Thohir pun menyebut bahwa tren pemain keturunan bukan hal asing di sepak bola modern – mencontohkan Prancis, Spanyol, hingga Filipina juga melakukannya​. Indonesia tampaknya mengambil pelajaran dari pengalaman negara-negara tersebut.

Faktor Sejarah: Kolonialisme Belanda dan Cepatnya Proses Naturalisasi

Mengapa Indonesia bisa menaturalisasi pemain keturunan Belanda dengan relatif cepat dan massal? Sejarah kolonial dan demografi diaspora memegang peranan kunci.
ADVERTISEMENT

Warisan Kolonial Belanda

Penjajahan Belanda selama ratusan tahun di Nusantara meninggalkan warisan populasi campuran yang unik. Pada masa pasca-kemerdekaan (1945-1950an), ratusan ribu orang Indo (Eurasia, campuran Eropa-Indonesia) dan orang Indonesia lainnya hijrah ke Belanda. Komunitas ini melahirkan generasi keturunan Indonesia di Belanda yang cukup besar. Banyak di antara mereka terjun di dunia sepak bola Belanda, baik amatir maupun profesional.
Akibatnya, talent pool pemain berdarah Indonesia di Belanda cukup melimpah – dari liga amatir hingga Eredivisie, selalu ada pemain dengan nama bernuansa Indonesia (seperti Joey Suk, Thom Haye, Kevin Diks, Yussa Nugraha, dll).
Ketika PSSI melakukan pencarian, mereka menemukan banyak pemain punya kakek/nenek orang Indonesia. Misalnya, Justin Hubner diketahui kakeknya asli Makassar​, Ivar Jenner punya nenek dari Jember​, Jay Idzes kakek-neneknya lahir di Semarang​, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Adanya ikatan darah ini memudahkan proses naturalisasi karena memenuhi syarat FIFA (punya garis keturunan sampai generasi kakek nenek)​. Berbeda dengan negara jajahan Inggris (seperti Malaysia) di mana percampuran warga lokal-Eropa tidak sebesar di Hindia Belanda, di Belanda terdapat istilah “Indo” untuk menyebut warga keturunan Indonesia yang cukup besar jumlahnya.

Diaspora di Seluruh Dunia

Selain Belanda, diaspora Indonesia tersebar di berbagai negara (Amerika Serikat, Australia, negara Eropa lain). Namun Belanda menjadi target utama karena expertise sepak bola mereka tinggi dan kendala bahasa relatif kecil (banyak keturunan Indo di Belanda sedikit-banyak mengenal budaya/nilai Indonesia).
Rob Friend dari FAM menyebut diaspora Indonesia “tersebar di seluruh dunia”​ – ini tak lepas dari besarnya populasi Indonesia (270 juta) sehingga meski proporsi kecil yang migrasi, jumlah absolutnya signifikan. Populasi besar = diaspora besar. Hal ini keuntungan demografis yang tidak dimiliki negara tetangga yang lebih kecil populasinya.
ADVERTISEMENT

Dukungan Pemerintah dan Regulasi

Pemerintah Indonesia menunjukkan dukungan politis kuat untuk naturalisasi atlet berprestasi. Proses yang melibatkan Kemenpora, Kemenkumham, hingga persetujuan DPR dapat ditempuh dengan cepat lewat mekanisme kewarganegaraan istimewa bagi “WNA berjasa atau berprestasi untuk negara”. Erick Thohir dan tim PSSI aktif melobi dan menyiapkan dokumen para pemain keturunan agar segera disahkan menjadi WNI. Contohnya, dalam rentang hanya satu tahun (2023-2024) PSSI berhasil menaturalisasi lebih dari 8 pemain diaspora Eropa.
Beberapa pemain bahkan mengaku terkejut betapa cepat dan lancar proses mereka menjadi WNI, padahal sebelumnya membela negara lain di level junior (yang biasanya perlu izin FIFA). Contoh kasus: Jordi Amat dan Sandy Walsh memulai proses medio 2022 dan resmi jadi WNI November 2022 untuk AFF 2022​. Shayne Pattynama butuh waktu sekitar 6-7 bulan (Mei 2022 hingga Jan 2023) untuk beres​. Rafael Struick dan Ivar Jenner bahkan hanya beberapa bulan di 2023.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan adanya prioritas khusus – kemungkinan karena Presiden, Menpora, dan DPR melihat peluang prestasi sehingga memberikan lampu hijau. Faktor lain, pemain-pemain ini masih muda dan belum pernah membela negara lain di level senior, jadi tidak ada halangan aturan FIFA.

Jalur Keturunan Mempercepat Proses

Beberapa mekanisme mempermudah naturalisasi keturunan. Salah satunya disebut “jalur blijvers” seperti pada kasus Maarten Paes​. Blijver adalah istilah bagi orang Belanda asli yang lahir di Hindia-Belanda (masa kolonial).
Meski Paes sendiri lahir di Belanda 1998, neneknya lahir di Indonesia sehingga ia masuk kategori keturunan langsung. Setelah urusan administrasi (termasuk pelepasan kewarganegaraan Belanda) dan izin FIFA karena pernah main di Belanda U-21, Paes akhirnya bisa bergabung timnas​. Semua pemain diaspora ini rata-rata harus melepaskan paspor lamanya (Indonesia tidak mengakui dwikewarganegaraan penuh).
ADVERTISEMENT
Namun bagi mereka, kesempatan karier internasional dan ikatan emosional dengan tanah leluhur menjadi motivasi kuat. Banyak di antara pemain naturalisasi ini menyebut membela Indonesia merupakan impian keluarga atau memenuhi wasiat orang tua. Contoh: Shayne Pattynama mengaku tekadnya membela Indonesia dilandasi wasiat mendiang ayahnya yang berasal dari Semarang​.

Keterikatan Emosional dan Identitas

Menariknya, karena para pemain ini memang berdarah Indonesia, mereka cenderung memiliki kebanggaan dan motivasi tersendiri saat memperkuat timnas. Ini beda dengan naturalisasi “instan” pemain asing tanpa ikatan (misal pemain Afrika atau Amerika Latin yang dinaturalisasi murni karena skill).
Publik dan skuad juga lebih mudah menerima pemain diaspora karena dianggap “pulang ke asal”. Hasilnya, harmoni tim tetap terjaga. Bahkan beberapa pemain keturunan segera menyatu dengan budaya tim; contohnya Jordi Amat dan Sandy Walsh langsung belajar menyanyikan Indonesia Raya, dan Shayne Pattynama berusaha berbicara bahasa Indonesia dasar.
ADVERTISEMENT
Budaya Indonesia yang inklusif terhadap “anak rantau” membuat para pemain ini cepat merasa di rumah. Dukungan suporter pun luar biasa – fans menyambut para pemain keturunan bak pahlawan kembali. Hal ini menjadi faktor yang memuluskan transisi mereka ke dalam tim.
Singkatnya, kolonialisme Belanda secara ironis memberi keuntungan tak terduga bagi sepak bola Indonesia modern: ketersediaan pemain keturunan berbakat di luar negeri. Ditambah dukungan politis dan nasionalisme para diaspora, Indonesia mampu melakukan naturalisasi secara cepat dan terencana.
Hal-hal ini menjawab mengapa pendekatan serupa lebih sulit dilakukan Malaysia – penjajahan Inggris tidak meninggalkan komunitas “Anglo-Malays” sebesar komunitas Indo di Belanda, dan populasi Malaysia lebih kecil sehingga lebih sedikit pula pemain berdarah Malaysia di Eropa​. Filipina cukup banyak diaspora, tapi banyak yang di AS di mana sepak bola bukan olahraga utama, berbeda dengan diaspora Indonesia di Belanda yang tumbuh di lingkungan sepak bola maju.
ADVERTISEMENT

Strategi Instan atau Visi Jangka Panjang? – Evaluasi Keberlanjutan

Pertanyaan krusial: Apakah naturalisasi massal ini solusi instan jangka pendek semata, atau bagian dari rencana jangka panjang sepak bola Indonesia? Pendapat terbelah antara optimisme PSSI dan pandangan kritis pengamat.
Dari sisi PSSI, Erick Thohir menegaskan bahwa naturalisasi pemain keturunan bukanlah sekadar jalan pintas instan. Ia menyebut langkah ini bagian dari strategi besar untuk memperkuat tim nasional hingga level dunia​. Menurut Erick, banyak negara sukses mengadopsi pemain keturunan (ia mencontohkan Prancis dan Spanyol) sebagai bagian dari pembangunan tim​.
Namun, Erick juga menekankan pembinaan jangka panjang tetap prioritas. Naturalisasi hanyalah salah satu aspek – PSSI tetap fokus membangun fondasi pemain muda dalam negeri agar timnas punya regenerasi berkelanjutan​.
ADVERTISEMENT
Saat ini PSSI dikabarkan telah menyiapkan cetak biru pembinaan hingga 2045, termasuk akademi elit, kompetisi usia dini, dan pemusatan latihan berjenjang dari U-16, U-19, U-23, hingga senior​.
Erick Thohir bahkan mencanangkan target ambisius Indonesia lolos Piala Dunia 2030, dengan memanfaatkan momentum 2026 di depan mata​. Artinya, program naturalisasi dipandang PSSI sebagai booster untuk mencapai prestasi jangka pendek (misal lolos ke World Cup 2026 bila mungkin), sambil paralel menyiapkan infrastruktur pemain lokal jangka panjang.
Ia memastikan pembinaan usia muda tetap jadi fokus utama agar Indonesia tidak selamanya bergantung pada pemain impor​. Bahkan Erick pernah berkata, “Naturalisasi bukan program jangka pendek karena talenta juga disiapkan”​ – mengindikasikan bahwa PSSI tidak ingin hanya menuai hasil instan lalu meninggalkan pembinaan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pengamat sepak bola nasional mengingatkan potensi risiko jika terlalu mengandalkan naturalisasi. Akmal Marhali (Koordinator Save Our Soccer) mengkritik gencarnya naturalisasi sebagai tanda PSSI tidak punya roadmap pembinaan yang jelas​.
Ia menyebut PSSI mengambil jalan pintas karena tuntutan prestasi instan dari publik begitu besar​. Menurut Akmal, jika mentalitas instan ini terus mendominasi, Indonesia “hanya akan mendapat sederet kegagalan dengan pola pikir instan”​.
Ia mengingatkan contoh negara maju: Spanyol butuh 20 tahun pembinaan sebelum juara, Jerman 13 tahun berbenah sebelum kembali juara dunia​. Artinya, tak ada sukses yang datang tiba-tiba – harus melalui pembangunan sistematis.
Pengamat lain juga menyoroti bahwa naturalisasi sebaiknya dilakukan selektif untuk melengkapi kekurangan posisi tertentu, bukan jadi tulang punggung utama. Jika terlalu banyak pemain impor, dikhawatirkan liga lokal dan akademi kurang terpacu menghasilkan bakat karena “jalan pintas” selalu tersedia.
ADVERTISEMENT
Ada juga kekhawatiran soal jati diri permainan: apakah Indonesia akan kehilangan ciri khas gaya bermain karena terlalu banyak pengaruh luar? Meski sejauh ini justru para pemain diaspora mampu menyatu dengan filosofi tim dan meningkatkan kualitas taktik, diskursus semacam itu tetap muncul di kalangan pecinta sepak bola nasional.
Dari sisi sustainability (keberlanjutan), ada beberapa hal yang patut dicatat:

Ketersediaan Bakat Diaspora

Saat ini Indonesia diuntungkan generasi emas diaspora (usia 18-26 tahun) yang bisa memperkuat timnas hingga 5-10 tahun ke depan. Namun, apakah generasi berikutnya akan ada cukup banyak lagi?
Tampaknya Indonesia tidak akan kekurangan stok, mengingat gelombang migrasi Indo-Belanda pasca 1950an menghasilkan generasi ketiga/keempat sekarang. Meski begitu, aturan FIFA hanya mengizinkan sampai garis kakek-nenek. Artinya, generasi keempat (cicit dari orang Indonesia) mungkin tidak lagi memenuhi syarat keturunan. Jadi dalam 10-20 tahun, pemain diaspora “langsung” bisa berkurang.
ADVERTISEMENT
PSSI perlu memperluas pencarian diaspora tidak hanya di Belanda, tapi juga di negara lain (sudah mulai ada yang di Jerman, Inggris, Amerika, dll). Alternatif lain adalah naturalisasi melalui jalur residency/kompetisi – misal pemain asing yang lama main di Liga Indonesia dan berkomitmen jadi WNI. Jalur ini pernah melahirkan pemain seperti Cristian Gonzales, Beto Goncalves, hingga Greg Nwokolo. Kombinasi diaspora + resident foreigners bisa jadi opsi cadangan.

Transfer Ilmu dan Peningkatan Level Lokal

Salah satu nilai positif dari strategi ini adalah efek kompetisi dan transfer ilmu. Ketika pemain-pemain dari Eropa bergabung, otomatis pemain lokal terpacu bersaing memperebutkan tempat. Mereka juga dapat belajar profesionalisme, taktikal, dan etos kerja dari rekan-rekan naturalisasi yang berpengalaman di level tinggi.
Timnas U-23 dan U-20 pun diisi beberapa diaspora (misal Rafael Struick, Ivar Jenner bermain di SEA Games/U-23). Diharapkan, kehadiran mereka membantu prestasi di level kelompok umur sekaligus mengangkat standar permainan tim.
ADVERTISEMENT
Jika PSSI mampu menjaga keseimbangan – misalnya 50% pemain diaspora, 50% pemain lokal – maka regenerasi lokal tetap berjalan sambil memetik manfaat dari naturalisasi. Sejauh ini, baik di era Patrick Kluivert maupun Shin Tae-yong, tim juga tetap memberi tempat bagi pemain muda lokal berbakat seperti Marselino Ferdinan, Pratama Arhan, dan lain-lain di tim inti, berdampingan dengan pemain diaspora.

Cinta Tanah Air dan Loyalitas

Karena para pemain naturalisasi ini memiliki darah Indonesia, isu loyalitas cenderung tidak sebesar jika merekrut pemain asing tanpa ikatan. Mereka tampak bermain dengan hati untuk Merah-Putih. Contoh konkret, Jordi Amat walau baru gabung sempat menangis haru saat Indonesia gagal juara Piala AFF 2022 – menandakan ia merasakan langsung emosinya. Namun, tentu harus dipastikan mereka berkomitmen jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Ada kasus di negara lain, pemain naturalisasi mundur dini karena alasan keluarga atau karier klub. PSSI perlu menjaga komunikasi dan kenyamanan para pemain ini agar betah. Faktor adaptasi bahasa sedang diatasi dengan para pemain belajar bahasa Indonesia, dan ofisial tim banyak yang fasih bahasa Inggris/Belanda sehingga komunikasi lancar.

Respons Publik

Publik Indonesia pada umumnya menyambut baik program naturalisasi keturunan ini. Tingkat penerimaan suporter tinggi karena merasa para pemain tersebut “pulang” membantu ibu pertiwi. Selama performa timnas meningkat, dukungan akan terus mengalir. Namun, PSSI juga perlu transparan soal kriteria naturalisasi agar tidak muncul kontroversi (misal isu “pemain titipan” atau sebagainya).
Sejauh ini, para pemain yang dinaturalisasi memang menunjukkan kelasnya dan pantas masuk tim, sehingga publik puas. Kecintaan masyarakat terhadap sepak bola pun tumbuh seiring prestasi yang diraih​.
ADVERTISEMENT
Melihat semua faktor di atas, strategi naturalisasi massal Indonesia memiliki potensi berkelanjutan yang tinggi jika dikelola dengan benar. Dalam jangka pendek, jelas terbukti meningkatkan performa dan kepercayaan diri timnas. Untuk jangka panjang, kunci sustainability ada pada keharusan PSSI untuk terus mencari talenta diaspora baru sembari meningkatkan pembinaan lokal.
PSSI telah menegaskan komitmen pembinaan berjenjang jangka panjang (misal membentuk blueprint hingga 2045)​. Jika blueprint ini dijalankan konsisten, mungkin 10-15 tahun lagi Indonesia tidak perlu menaturalisasi sebanyak sekarang karena sudah punya “produk lokal” sepadan. Idealnya, naturalisasi kelak digunakan terbatas untuk posisi yang benar-benar kekurangan, sementara mayoritas skuad diisi lulusan akademi dalam negeri.
Pada akhirnya, naturalisasi pemain keturunan adalah ibarat dua sisi mata uang. Ia dapat menjadi percepatan menuju prestasi (seperti yang Indonesia nikmati saat ini), tapi tidak boleh menjadi satu-satunya tumpuan.
ADVERTISEMENT
Negara seperti Jepang dan Korea Selatan mencapai puncak Asia tanpa naturalisasi besar-besaran, melainkan dengan pembinaan panjang. Indonesia mungkin mengambil rute berbeda – memanfaatkan keunikan punya diaspora di Eropa – namun tujuannya sama yaitu berprestasi di tingkat Asia dan dunia.
Apakah ini revolusi timnas yang akan bertahan lama atau sekadar fenomena “galacticos” sesaat? Tanda-tanda awal menunjukkan tren positif: Indonesia kini disegani di Asia Tenggara, bahkan mulai diperhitungkan di level Asia berkat kombinasi pemain diaspora dan lokal yang padu​.
Tantangan ke depan adalah memastikan roda regenerasi terus berputar. Selama PSSI konsisten menjalankan pembinaan usia dini sambil bijak mengisi kekurangan dengan talenta diaspora, strategi ini bisa menjadi model sustainable. Jika lalai, risiko ketergantungan akan menghantui.
ADVERTISEMENT
Untuk saat ini, para pendukung boleh optimistis – mimpi melihat Indonesia berlaga di Piala Dunia tak lagi terasa mustahil. Naturalisasi massal ala Erick Thohir telah membuka jalan, tapi pekerjaan rumah membangun fondasi sepak bola nasional tetap harus diselesaikan. Jangka pendek diperoleh, jangka panjang jangan terlupakan.