Hari Anak Nasional: Jangan Biarkan New Normal Menciptakan Anak Tidak Normal

dr T Andi Syahputra MKM
Direktur Lembaga Pemberdayaan dan Penguatan Kesehatan Masyarakat BKPRMI Banda Aceh
Konten dari Pengguna
18 Juni 2021 21:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dr T Andi Syahputra MKM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hari Anak. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hari Anak. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Hari Anak Nasional diperingati setiap tahunnya pada tanggal 23 Juli. Hal ini didasari dalam rangka menghormati anak-anak serta meningkatkan kesadaran hak-hak anak. Tentu tidak hanya orang dewasa yang memiliki hak sehingga harus dipenuhi namun anak-anak juga memiliki hak yang harus dipenuhi sebagaimana pada orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Ucapan maupun peringatan hari anak tidak hanya diperingati oleh Indonesia setiap tahunnya, namun juga di seluruh dunia. Selain itu di beberapa negara lain seperti Laos, Cape Verde, dan Mongolia memiliki keunikan dengan menjadikannya sebagai hari libur nasional, serta yang diperingati tidak hanya sebagai hari anak saja melainkan digabungkan dengan perayaan hari ibu dan anak.
Anak merupakan aset dan harapan di masa mendatang. Keberhasilan capaian atas pertumbuhan dan perkembangan anak hingga menuju dewasa yang utuh tentu tidak tercipta dengan sendirinya dalam satu waktu melainkan juga terdapat keterlibatan keluarga dan orang di sekitarnya.
Tumbuh kembang yang optimal akan tercipta dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan anak seperti kebutuhan asah, asih, dan kebutuhan asuh.
ADVERTISEMENT
Ketiga kebutuhan tersebut menjadi elemen yang harus terpenuhi guna mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang memadai, sehingga apabila hak anak tersebut tidak terpenuhi maka tentu akan berdampak pada kemajuan bangsa ke depan sebab anak adalah penerus masa depan bangsa.
Generasi penerus harus sehat, cerdas dan terlindungi. Tentu saja pernyataan tersebut didasari oleh riset-riset baik dalam skala nasional maupun skala internasional.
Pemenuhan imunisasi dasar lengkap tentu menjadi dasar dari terbentuknya anak yang sehat dan kebal terhadap penyakit-penyakit menular seperti polio, hepatitis, campak dan lain sebagainya. Jika melihat sejarah pada pertengahan tahun 90-an, Indonesia termasuk ke dalam negara dengan jumlah anak penderita polio paling tinggi di Asia Tenggara.
Tentu ini bukanlah prestasi yang bisa dibanggakan, namun kejadian pada 30 tahun yang lalu dapat kita hayati sebagai meningkatkan rasa optimis dalam menyelesaikan kejadian luar biasa (KLB) seperti pandemi COVID-19 yang menyerang dunia.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1995-1997, pemberian vaksin oral polio diberikan pada siapa saja, tanpa memandang seseorang itu sudah diberikan vaksin polio secara rutin atau belum. Bagi yang telah mendapat imunisasi polio rutin, maka pemberian kembali vaksin polio akan memperkebal daya tahan tubuhnya.
Mereka yang belum mendapat vaksin polio, maka bisa dikatakan mendapatkan imunisasi dasar. Program yang diselenggarakan pemerintah tersebut bertujuan untuk mengeradikasi polio di Indonesia.
Atas kerja sama seluruh pihak dalam menyukseskan program vaksinasi atau imunisasi polio tersebut, pada tahun 2021 kita sungguh sangat sulit menemukan penderita polio di sekeliling kita sebagaimana yang terjadi pada 30 tahun sebelumnya. Hal ini diperkuat dengan pemberian label bebas polio oleh WHO kepada Indonesia pada tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah riwayat, Soekarno, Presiden pertama Indonesia pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah. Indonesia yang berkeinginan menjadi bangsa yang besar tentu harus dibarengi dengan tidak melupakan sejarah termasuk dengan keberhasilan pencapaian imunisasi polio.
Imunisasi atau vaksinasi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan kekebalan tubuh sebagai upaya pencegahan penyakit. Kekebalan yang didapatkan dari imunisasi tidak hanya melindungi bagi satu orang saja sebagai penerima vaksin melainkan juga melindungi bagi komunitas atau lingkungannya jika dapat dilakukan secara berjemaah.
Hal ini yang menjadikan alasan ilmiah bagi pemangku kebijakan untuk menggalakkan program imunisasi penyakit menular lainnya yang masih banyak kasusnya di Indonesia.
Investasi kesehatan berupa imunisasi dasar bagi anak yang didapatkan secara gratis sebagai sarana ikhtiar guna mengupayakan pemenuhan kebutuhan anak, di antaranya seperti: Imunisasi Hepatitis B (HB-O) untuk bayi yang usianya kurang dari 24 jam; Imunisasi BCG, Polio 1 untuk bayi usia satu bulan; Imunisasi DPT-HB-Hib, Polio 2 untuk bayi usia dua bulan; Imunisasi DPT-HB-Hib 2, Polio 3 untuk bayi usia tiga bulan; Imunisasi DPT-HB-Hib 3, Polio 4, dan IPV untuk bayi usia empat bulan; Imunisasi Campak/MR untuk bayi usia sembilan bulan; Imunisasi DPT-HB-Hib lanjutan dan MR lanjutan untuk anak usia 18 bulan; Imunisasi DT dan campak/MR untuk anak kelas 1 SD/Madrasah dan sederajat; Imunisasi TD untuk anak kelas 2 SD/Madrasah dan sederajat; Imunisasi TD untuk anak kelas 5 SD/Madrasah dan sederajat.
ADVERTISEMENT
Apabila anak Indonesia mampu terimunisasi 100%, maka beban dan kasus penyakit menular Indonesia dapat ditekan, sehingga dapat menghemat pembiayaan sektor kesehatan.
Anak-anak Indonesia selain sehat juga harus terlindungi, misalkan pada masa pandemi saat ini. Berdasarkan data yang dihimpun melalui portal resmi covid-19 nasional mengatakan terdapat 229.079 anak yang terkonfirmasi COVID-19 dan di antaranya terdapat 176.597 anak yang postif pada usia sekolah.
Dalam studi lainnya mengenai profil kasus fatal COVID-19 pada anak Indonesia di RSCM Jakarta, menyatakan bahwa 40% pasien anak yang terkonfirmasi COVID-19 meninggal. Tentu kejadian ini bukanlah rekayasa, namun ialah akibat dari perbuatan orang di sekitarnya.
Bahayanya jika hal ini terus dibiarkan populasi manusia akan menurun, dan tentu apabila anak-anak tersebut dapat survive maka akan menghasilkan anak yang tidak normal, sebab COVID-19 juga tidak hanya menyerang kesehatan fisik melainkan juga kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Menurut Andi yang juga seorang Dokter Muda di Universitas Syiah Kuala, memperingati: Jangan sampai new normal menciptakan anak tidak normal.
Perubahan akibat pandemi tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan namun juga pada sektor penting lainnya yaitu pendidikan. Pembelajaran yang diharuskan sekolah di rumah aja, tentu akan berjalan dengan baik apabila ada komunikasi yang baik antara guru sebagai pengajar, anak sebagai peserta didik dan keluarga sebagai orang tuanya.
Komunikasi efektif yang didasarkan atas keikhlasan, dan pemahaman bersama atas situasi pandemi saat ini yang tidak bersifat permanen penting untuk diterapkan hal ini berguna untuk tercapainya suasana yang ideal dan kondusif dalam proses pembelajaran yang sementara.
Anak-anak harus tetap di support dalam rangka menyiapkan generasi emas yang cerdas lagi sehat meskipun dalam situasi pandemi. Jangan sampai ironisnya sekolah dibuat di rumah, namun orang tuanya yang malah mengajak anak keluar tanpa mematuhi protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melindungi anak-anaknya agar selamat melewati masa pandemi. Ajarkan anak untuk tidak menyentuh mata, mulut, wajah, sebelum mencuci tangan dengan air sabun, tetap patuhi protokol kesehatan dengan jaga jarak minimal 1 meter dan pakai masker bila hendak keluar rumah.
Selamat hari anak nasional. Anak terlindungi Indonesia maju