Konten dari Pengguna

Dari Babi Ngepet ke Babi Panggang: Sebuah Telaah Sosial

Teuku Muhammad Shandoya
Hanya seorang mahasiswa yang sedang mengosongkan gelas di Universitas Syiah Kuala dan sedang merintis untuk menjadi penulis meskipun buku-buku tak lebih hanya menjadi etalase di kamar ku.
11 Mei 2021 10:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Babi, Sumber Foto: Shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Babi, Sumber Foto: Shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di negeri ini hal yang kecil bisa menjadi heboh dan hal yang besar bisa hening seketika, contohnya saja kasus korupsi, hehehe. Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan kasus "Babi Ngepet", pasalnya karena seorang yang diduga memiliki harta dengan instan, lantas dengan maha benar gosip tetangga hingga akhirnya fitnah itu dengan mudah tersebar. Syahdan, tuduhan ngepet itu tak dapat dibuktikan dan malah berbalik fakta di lapangan yang akhirnya otoritas berwenang menangkap pelaku penyebar hoaks yang membuat heboh jagat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Fenomena babi ngepet mengajarkan kita, bahwa tidak selamanya kita harus menilai dari sisi mistis, dengan momentum warga yang kehilangan uang dimanfaatkan oleh oknum entah tujuannya untuk apa, atau dengan motif agar ia menjadi terpandang di mata masyarakat. Terlepas dari itu semua, kita mestinya tidak memakan isu tanpa filter, atau dalam istilah agama Islam, apabila kita mendapatkan sesuatu berita maka kita harus melakukan tabayyun. Tabayyun sendiri merupakan salah satu tradisi umat Islam yang dijadikan sebagai jalur untuk menempuh solusi atas suatu permasalahan. Metode tabayyun ini bertujuan mengklarifikasi masalah serta menganalisis masalah yang terjadi.
Media sosial merupakan media yang digunakan oleh publik untuk berbagi teks, gambar, suara, dan video informasi baik dengan orang lain maupun perusahaan dan sebagainya. Dengan adanya media sosial membuat informasi mudah tersebar. Informasi tersebut dapat berupa kebenaran atau bahkan hoaks.
ADVERTISEMENT
Hoaks adalah kabar bohong atau informasi yang menyesatkan. Tujuan hoaks disebarkan sebagai bahan lelucon atau sekadar iseng, menjatuhkan pesaing, promosi dengan penipuan, ataupun ajakan untuk berbuat amalan-amalan baik yang sebenarnya belum ada dalil yang jelas di dalamnya. Untuk mengurangi tingkat kegagapan bermedia sosial, masyarakat harus berpikir kritis, terbuka terhadap berbagai pandangan, dan mampu menyaring setiap isu yang ada.
Dan akhir-akhir ini masyarakat kita juga dihebohkan dengan "Bipang Ambawang" yang seketika menjadi viral setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutnya dalam pidato yang diunggah dalam video YouTube Kementerian Perdagangan RI 5 Mei 2021 lalu.
Bagi penulis, mengkonsumsi isu di media sosial semacam ini merupakan sesuatu yang sangat konservatif. Bagaimana bisa hal-hal sekecil itu seketika viral menimbrung isu-isu kenegaraan yang sangat vital, misalnya: Isu pelemahan KPK, Kasus Korupsi, Penanggulangan Covid-19. Kompilasi realitas sosial semacam ini mengingatkan saya dengan istilah "afleidingsmanoeuvre" berasal dari bahasa Belanda yang kurang lebih bermakna "pengalihan perhatian".
ADVERTISEMENT
Pengalihan isu baik itu disengaja atau tidak sengaja, terlepas dari itu semua tentunya faktor dari masyarakat sangat besar sekali. Misal masyarakat tengah dihadapkan dengan isu-isu korupsi, dan setelah beberapa waktu tidak lama kemudian muncul isu receh yang menurut hemat penulis, tidak ada manfaatnya sama sekali. Dan malah menenggelamkan substansi permasalahan yaitu isu yang primer tadi.
Babi ngepet dan babi panggang membuktikan kita bahwasanya masyarakat Indonesia masih sangat konservatif dalam mengkonsumsi isu, terutama di media sosial. Tingkat penyaringan isu sangatlah minim, kita terlalu gemar berdebat dengan hal-hal yang tidak diperlukan, tapi kita melupakan sebuah isu yang vital.
Kembali lagi kepada isu Babi Panggang(Bipang Ambawang), yang mana makanan ini merupakan makanan khas Kalimantan yang berbahan dasar babi muda yang di panggang. Seolah-olah dibenturkan dengan momentum Idul Fitri. Bagi penulis, hal ini memang tidak etis disampaikan, namun apabila kita mengambil pandangan dari sisi lain, momentum idul fitri juga dimanfaatkan oleh Non-Muslim itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Di mana pada hari raya Idul Fitri, Non-Muslim yang tidak mudik tentunya ingin menyantap juga makanan khas atau yang biasanya mereka konsumsi, hal ini bisa saja mereka mengkonsumsi Bipang di waktu Hari Raya.
Menurut hemat penulis, isu ini seharusnya tidak diframingkan, sedikitnya penulis meminjam kata-kata Gus Dur “Gitu aja kok repot”.
Ya, kita mestinya memaafkan apabila ucapan Pak Jokowi dinilai salah, namun tak harus menghujat juga. Lagian sebagai umat Muslim kita, toh, juga tidak mengkonsumsi babi panggang. Lalu untuk apa hal tersebut dihebohkan.
Gitu aja kok repot!
Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh