Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
May Day, Upah Minimum, dan Jalan Panjang Ekonomi Aceh
1 Mei 2025 19:28 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

UMP Aceh: Kenaikan yang Tidak Menyentuh Akar Masalah
ADVERTISEMENT
Tanggal 1 Mei, dunia memperingati May Day, hari buruh internasional yang menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan ekonomi. Di Aceh, peringatan ini terasa getir. Pemerintah memang menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi Rp3,6 juta pada 2025, tetapi di tengah realitas ekonomi yang pincang, angka itu lebih menyerupai perayaan simbolik ketimbang solusi nyata.
ADVERTISEMENT
Kenaikan UMP tidak otomatis mengubah kondisi buruh di lapangan. Harga kebutuhan pokok terus melonjak, tarif listrik naik, biaya transportasi mencekik, sementara kesempatan kerja formal tetap sempit. Di hadapan fakta ini, tambahan upah yang dijanjikan lebih terasa seperti ilusi. Daya beli stagnan, kemiskinan tetap membayangi, dan buruh tetap bergulat dalam ketidakpastian.
Di Aceh, sebagian besar pekerja berstatus informal — nelayan, petani kecil, pedagang kaki lima, pekerja lepas — kelompok yang bahkan tidak tersentuh regulasi UMP. Mereka adalah mayoritas yang tidak pernah benar-benar menikmati kenaikan upah setiap kali pemerintah mengumumkannya dengan penuh seremoni.
Kenaikan Upah Tanpa Fondasi Ekonomi Kuat
Masalah di Aceh jauh lebih dalam daripada sekadar soal nominal upah. Kenaikan UMP tanpa diiringi penguatan sektor produktif justru berisiko memperdalam krisis ekonomi. Dunia usaha, khususnya UMKM, menghadapi tekanan berat: biaya produksi tinggi, akses pasar terbatas, dan ketidakpastian investasi. Alih-alih memperkuat tenaga kerja, kenaikan upah yang tidak berbasis produktivitas malah mendorong efisiensi brutal — pemutusan hubungan kerja, outsourcing, dan pekerja paruh waktu menjadi pilihan pragmatis pelaku usaha kecil.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Aceh belum berhasil menghadirkan ekosistem ekonomi yang sehat. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe yang digadang-gadang akan menyerap ribuan tenaga kerja, justru menjadi contoh kemandekan. Investasi mengalir, tetapi lapangan kerja untuk masyarakat lokal tetap terbatas. Tanpa strategi industrialisasi berbasis sumber daya lokal dan keberpihakan terhadap pekerja, setiap kebijakan upah hanya akan menjadi perban bagi luka ekonomi yang menganga.
May Day: Momentum Koreksi Arah Pembangunan Aceh
May Day di Aceh harus menjadi lebih dari sekadar ritual tahunan. Ini adalah panggilan untuk mengoreksi arah pembangunan yang terlalu lama dibangun di atas fondasi ketergantungan: ketergantungan pada dana otonomi khusus, ketergantungan pada sektor ekstraktif yang tidak ramah tenaga kerja, ketergantungan pada proyek-proyek jangka pendek tanpa kesinambungan.
ADVERTISEMENT
Buruh Aceh tidak hanya membutuhkan upah layak, tetapi juga hak atas masa depan yang lebih pasti: hak untuk mendapatkan pelatihan keterampilan baru, hak untuk bekerja dalam sektor produktif, hak untuk terlindungi dari disrupsi ekonomi yang makin brutal. Tanpa perlindungan dan strategi adaptasi ini, generasi muda Aceh hanya akan diwarisi siklus pekerja murah dalam pasar tenaga kerja global yang makin eksploitatif.
Perjuangan hari ini bukan hanya soal bertahan, melainkan soal merebut kembali hak atas pembangunan yang adil. Upah layak harus disertai dengan reformasi ketenagakerjaan, reformasi ekonomi, dan keberanian politik untuk membangun basis industri, agrikultur modern, dan digitalisasi UMKM yang sesungguhnya membuka ruang kesejahteraan.
Suara Buruh Adalah Suara Masa Depan Aceh
May Day 2025 harus menjadi deklarasi bahwa buruh Aceh tidak sekadar menuntut kenaikan angka, melainkan perubahan paradigma. Masa depan Aceh tidak akan lahir dari janji politik kosong atau proyek mercusuar yang gagal menyentuh rakyat. Masa depan Aceh hanya bisa dibangun di atas pondasi keadilan ekonomi, partisipasi buruh dalam proses perumusan kebijakan, dan keberanian rakyat untuk mengoreksi arah pembangunan.
ADVERTISEMENT
Buruh, petani, nelayan, pekerja informal, dan semua rakyat pekerja harus bersatu dalam solidaritas baru. May Day harus menjadi momentum menegaskan bahwa kerja bukanlah subordinasi, melainkan pilar utama pembangunan. Buruh Aceh bukan beban, melainkan kekuatan utama yang harus ditempatkan di pusat kebijakan publik.
Karena itu, perjuangan tidak berhenti pada tanggal 1 Mei. Setiap hari adalah medan perjuangan, setiap kebijakan harus diawasi, dan setiap janji harus ditagih. Aceh tidak akan bangkit dengan sekadar kenaikan upah; Aceh hanya akan bangkit jika seluruh pekerja memiliki kekuatan, perlindungan, dan ruang untuk berdaulat atas masa depannya sendiri.