Konten dari Pengguna

Energi Fosil, 'Musuh dalam Diam' Umat Manusia

Teuku Wafi
Mahasiswa Teknik Metalurgi ITB 2018,
9 September 2021 14:38 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Wafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penampakan Pumpjack (sumber : https://unsplash.com/photos/R5Ob28wpWzo)
zoom-in-whitePerbesar
Penampakan Pumpjack (sumber : https://unsplash.com/photos/R5Ob28wpWzo)
ADVERTISEMENT
“Senjata makan tuan”, itulah peribahasa yang cocok dengan keadaan energi dunia saat ini. Dunia sedang berada di ambang kehancuran oleh ulah manusia di mana bahan bakar fosil terus digali, dieksploitasi, dan dibakar demi kelangsungan hidup. Manusia terus membakar dan memakainya dengan menghiraukan bentuk transformasi hasil pembakarannya, yakni gas CO2 dan gas CO, dapat membunuh manusia bahkan keseluruhan makhluk hidup di bumi ini.
ADVERTISEMENT
Kita terus terlena akan kemudahan yang ada sampai-sampai kita melewatkan berita menggemparkan dari Met Office, layanan meteorologi nasional Negara Inggris, yang telah mengeluarkan pernyataan bahwa konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bumi akan meningkat melewati batas ambang pada tahun ini, tahun 2021.
Batas ambang adalah tingkatan batas yang masih dapat ditoleransi oleh tubuh manusia sehingga apa jadinya bila bumi yang dahulu sangat layak huni menjadi pembunuh dalam diam untuk umat manusia saat ini? Hal ini pertama kalinya terjadi dalam sejarah umat manusia di mana ambang batas angka 400 ppm dari CO2 terlewati.
Seberapa burukkah energi fosil ini? Dimulai dari proses pengambilannya. Minyak bumi sebagai salah satu bagian dari bahan bakar fosil baru dapat ditemukan pada kedalaman rata-rata 5900 kaki (1800 meter) di bawah permukaan bumi. Pengambilan minyak bumi dari bawah tanah umumnya menggunakan alat bernama pumpjack. Pumpjack tidaklah bergerak dengan sendirinya. Kebutuhan listrik rata-rata yang dibebankan pada satu alat ini yakni 9960 kWh tiap bulannya.
ADVERTISEMENT
Energi yang dikeluarkan tiap bulannya ini ekuivalen dengan pemakaian listrik untuk mobil Tesla model 3 selama 3 tahun atau sekitar 56.000 kilometer jauhnya. Belum lagi kita melihat ribuan pumpjack yang tersebar di indonesia maupun di dunia bahkan keadaan offshore oil rig di mana diperlukan energi diesel rata-rata sebesar 300.000 kWh.
Energi ini hanya untuk menarik minyak bumi keluar dari tanah, belum dilakukan proses lebih lanjut. Memompa minyak bumi sendiri bukanlah pekerjaan yang tidak mengeluarkan polusi, gas buang dari generator diesel dan jutaan liter minyak bumi bocor tumpah ke lautan tiap tahunnya menyebabkan kerusakan ekosistem laut secara masif.
Transportasi minyak bumi juga patut diperhitungkan. Pipa pengaliran minyak bumi membutuhkan pompa yang juga membutuhkan energi listrik, kemudian minyak bumi akan diangkut dengan kapal yang mana regulasi pengeluaran emisi gas buang hasil pembakaran belum diregulasikan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Hal ini menyebabkan kapal pengangkut minyak bumi menjadi transportasi yang termurah sekaligus paling mengotori lingkungan. Tidak heran jika kapal pengangkut ini menjadi sumber polusi terbesar di bumi (menghasilkan 1 miliar ton CO2 tiap tahunnya).
Tahap selanjutnya adalah refinery/pemurnian minyak bumi menjadi bahan bakar. Pemurnian minyak bumi umumnya dilakukan dengan proses destilasi bertingkat dengan suhu rata-rata pemanasan 427 oC. Pemurnian minyak bumi sudah menjadi isu global dengan kawasan di sekitar lokasi pemurnian pasti mengalami krisis kesehatan dan lingkungan.
Bahan bakar kemudian didistribusikan ke berbagai stasiun atau penempatan lainnya yang pastinya memerlukan energi dan akhirnya dapat digunakan untuk bahan bakar kendaraan manusia sehari-hari.
Mengenai keefektifan pembakaran bahan bakar fosil, efisiensi rata-rata pembakaran bensin pada kendaraan ICE (Internal Combustion Engine) hanyalah sekitar 30%-35%. Sayang sekali dengan dampak seperti ini hanya dapat kita ambil manfaatnya kurang dari setengah energi total di dalamnya. Kegiatan ini saja telah menyumbang emisi karbon yang sangat banyak, belum lagi dari sektor industri, agrikultur, pembangunan, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Per 2019, ketergantungan manusia akan bahan bakar fosil berada di sekitar 84% dari total sumber energi yang ada. Indonesia sendiri mengonsumsi bahan bakar fosil di angka yang cukup besar, yakni 152 TWh. Sektor pembangkit listrik dan transportasi mendominasi lebih dari 50% total penggunaannya.
Hal ini perlu kita waspadai karena kedua sektor ini tidak dapat dihentikan bahkan terus bertambah kebutuhannya seiring meningkatnya jumlah populasi manusia. Dengan emisi karbon yang telah disebutkan di atas, sudah selayaknya manusia saat ini untuk beralih ke sumber energi yang bebas emisi karbon dan diharapkan memiliki efisiensi yang lebih baik.
Salah satu jawabannya adalah optimalisasi pengunaan EBT. EBT tentu menjadi energi alternatif yang sangat cocok di indonesia. Sinar matahari untuk dipasangkan PLTS, laut yang luas dan sungai yang tersebar untuk pengembangan PLTA, keanekaragaman dan keberlimpahan makhluk hidup untuk pengembangan energi biomassa, dan sumber EBT lainnya yang terdapat di indonesia perlu untuk dimaksimalkan potensinya.
ADVERTISEMENT
Dapat diambil contoh EBT yang potensial di negeri ini, yakni energi matahari. Sinar matahari yang bersinar sepanjang hari dan relatif stabil membuat indonesia sangat sesuai dipasangkan panel surya untuk kebutuhan sehari-hari.
Walaupun saat ini dapat dikatakan efisiensi rata-rata panel surya di pasaran sekitar 20% dan juga masih relatif mahal dibandingkan bahan bakar fosil, yakinlah dengan percepatan teknologi dan ekonomi yang akan terus mendukung perkembangan energi terbarukan ini.
Hal ini terlihat jelas bahwa para ilmuwan di dunia telah berhasil menciptakan panel surya dengan efisiensi 46% (hampir setengah energi sinar matahari dapat dikonversi menjadi energi listrik) serta harga panel surya dan baterai penyimpanannya berangsur-angsur turun setiap tahunnya.
EBT ini tidak dapat dipungkiri bahwa kelimpahannya di suatu tempat belum tentu dapat langsung dipakai sehingga di sinilah perlu peran pemerintah dan akademisi untuk melakukan survei analisis, dan kajian lebih lanjut. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan EBT apa yang paling cocok dipakai dan dikembangkan di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Karena masifnya peran dan kontribusi pembangkit listrik berbahan bakar fosil sebagai pemasok utama listrik indonesia, sulit rasanya untuk mentransformasikan pembangkit listrik massal dalam waktu yang relatif singkat dan dalam area yang luas, kecuali dilakukan tiap-tiap rumah atau bangunan.
Jadi, transformasi di sektor transportasi menjadi pilihan yang tepat untuk kita memulai pengaplikasian EBT. Tesla, Toyota, Hyundai, dan beberapa industri otomotif lainnya tengah gencar-gencarnya mengembangkan kendaraan mobil listrik (Electric Vehicle, EV) yang mana EV ini terbukti dapat dengan mudah dihubungkan dengan perangkat pembangkit berbasis EBT, ramah lingkungan, dan tidak menghasilkan emisi karbon saat digunakan. Indonesia pun saat ini telah mengembangkan mobil listrik dengan bekerja sama dengan Hyundai bahkan motor listrik Gesits (Garansindo Electric Scooter ITS) sudah memasuki tahap pemasaran. Memang saat ini sumber listrik untuk EV masih diproduksi melalui pembakaran bahan bakar fosil pada kebanyakan pembangkit listrik di indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, hal ini dapat mengurangi tingkat polusi sekitar akibat pembakaran di dalam kendaraannya. Selain itu, efisiensi EV jauh lebih tinggi dibandingkan pembakaran pada ICE yang mana efisiensi energi dari baterai menjadi energi gerak mencapai lebih dari 90%. J
ika penggunaan EV sudah relatif merata dan banyak, pemerintah dapat mempertimbangkan stasiun listrik agar dapat dikolaborasikan dengan EBT dan memulai secara masif untuk mentransformasikan pembangkit listrik ke arah energi bersih, baru, dan terbarukan.