Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Go Break a Leg, Girl! Cerita Patah Kaki di Kota Tujuh Bukit, Istanbul.
13 Maret 2025 10:06 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Thalita Koumi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kisah navigasi hidup seorang diplomat wanita yang mengalami kecelakaan ketika bertugas di Istanbul, Turkiye.

ADVERTISEMENT
Idiom "Break a Leg!" cukup sering kita dengar. Break a leg (patahkan satu kaki) merupakan ungkapan yang dulunya sering digunakan di dunia seni peran sebagai pembangkit semangat bagi aktor teater yang akan mementaskan suatu peran di panggung. Ungkapan ini muncul karena adanya kepercayaannya bahwa mendoakan/memberikan harapan baik justru akan mengundang kemalangan. Menyiasati kepercayaan ini, ungkapan "Break a leg!" diharapkan justru akan membawa peruntungan bagi penerima ucapannya.
ADVERTISEMENT
Be careful of what you wished for. Sebagai seorang diplomat yang akan bertugas, kawan dan kolega saya menyemangati saya di bandara dengan"Break a leg, Thal~!", kata mereka. Maksudnya tentulah agar saya mendapatkan nasib baik selama bertugas di Istanbul. Dua tahun pertama masa tugas saya di sana ternyata aman-aman saja. Namun, di tahun ketiga, tepatnya pada 4 April 2023, pukul 22.55 TRT, saya yang sedang jalan-jalan malam dengan anjing saya tergelincir, berguling sejauh 10 meter, dan sungguh-sungguh patah kaki!
Seorang diplomat diharapkan harus siap menghadapi segala situasi. Tak jarang, situasi kritis yang acap kali tidak terprediksi. Kecelakaan saya adalah salah satunya. Setelah berhenti berguling, saya lihat, Aikido, anjing saya baik-baik saya, tidak menunjukkan kesakitan, hanya terlihat kaget. Saya mencoba menggerakan tangan saya. Saya pegang kepala saya, saya raba untuk memastikan tidak ada darah yang mengucur. Semoga hanya kaki, tapi karena rasa sakit jatuh berguling, saya tidak bisa bangun dan berbaring di tepi jalan yang sedikit tertutup ilalang. Saya coba teriak, tapi suara tidak keluar. Tidak ada tenaga. Di titik ini rasa panik mulai merayap.
ADVERTISEMENT
Seorang diplomat harus bisa menggunakan akal sehat di bawah tekanan. Kepala, aman. Saya lanjut menggerakkan kaki kiri saya. Aman. Ketika saya coba menggerakkan kaki kanan saya...tidak bergerak. Rasa takut mulai menyerang. Saya coba gerakkan pinggang, aman. Untungnya, malam itu saya membawa telpon seluler dan dompet. Skenario terburuk hilang kesadaran, saya yakin identitas saya ada di badan saya. Malam itu, usaha terakhir saya adalah minta tolong dengan mengirim pesan di grup whatsapp: "Tolong, saya jatuh, tidak bisa bangun."
Ternyata, diplomat hanyalah manusia biasa yang butuh bantuan dan bersandar pada manusia lain. Untungnya, lokasi jatuh saya tidak jauh dari KJRI Istanbul yang pada malam itu masih ada staff yang bekerja. Dua orang staff setempat senior datang membantu saya. Mereka mengamankan anjing saya, dan memanggil ambulans. Saya dibawa ke rumah sakit umum di Istanbul.
Too Painfull! Saat itu Unit Gawat Darurat cukup ramai. Paramedis sedang memberikan pertolongan Resusitasi Jantung dan Paru. Para perawat di sana tidak bisa bahasa Inggris. Kendala bahasa membuat saya mendapatkan penanganan yang tidak sesuai. Saya baru mendapatkan pertolongan pertama pada pukul dua belas malam. Dokter membawa saya untuk mendapatkan photo sinar-X, dan merelokasi pergelangan kaki saya yang lepas dari sendinya.
ADVERTISEMENT
Pain tolerance saya meregang malam itu. Saya dibawa ke ruangan tindakan, dipiting oleh seorang paramedis, dokter ortopedi menarik kaki saya pada hitungan ketiga. Percayalah, rasa sakitnya dan teriakan nya memecahkan keheningan malam. Saya berteriak seperti di film-film laga, layaknya mata-mata asing yang sedang diinterogasi dengan siksaan. Saya merasa Tuhan sedang menghukum saya malam itu. Saya bertanya pada dokter yang merelokasi pergelangan kaki saya, "Kenapa saya tidak diberikan obat penahan sakit??".
Jawab dokter itu: " Tidak ada obat penahan rasa sakit yang dapat menolongmu pada tahap ini."
Bersiap sebelum perang. Salah satu hal yang saya siapkan sebelum bertugas ke luar negeri adalah asuransi. Asuransi swasta yang saya bayar dari kantung pribadi. Dengan asuransi ini, saya bisa pindah ke rumah sakit yang memberikan pelayanan dalam bahasa Inggris. Pukul dua dini hari, saya dipindah ke rumah lain. Kali ini situasinya berbeda. Dokter dan perawatnya dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Saya dijadwalkan untuk operasi pukul tiga sore di hari yang sama. Operasi berjalan tiga jam. Saya ditunggu oleh Istri diplomat senior yang baik hati.
ADVERTISEMENT
If you think breaking things is hard, try healing it. Masa penyembuhan yang dokter sarankan cukup panjang. Selama 10 minggu, dokter minta kaki saya tidak menapak ke tanah. Pertanyaan terbesar dalam benak saya, bagaimana saya bertahan selama 10 minggu hanya berdua dengan anjing saya? Di sinilah saya sempat menyesali, kenapa saya memilih untuk melajang.
Dalam setiap kesulitan, Tuhan telah menyiapkan malaikat-malaikatnya. Salah satu hal yang saya syukuri dalam profesi ini adalah saya diberkati dengan banyak teman. Teman-teman saya datang bergantian membantu saya di rumah. Ada yang membantu membawa anjing saya jalan sore, ada yang membantu membuang sampah dan membersihkan rumah. Ada yang menemani saya dan membawakan makanan. Saya sungguh berhutang budi.
10 Minggu menyembuhkan jiwa dan raga. Tidak hanya kaki, selama 10 minggu saya banyak merenung. Menjadi seorang diplomat wanita yang bertugas di luar negeri sendirian itu ternyata berat sekali. Wanita independent yang dielu-elukan sebagai salah satu capaian gerakan fenimism itu ternyata sangat berat dan kesepian. Sempat semangat saya turun, dan merasa cobaan ini terlalu berat.
Menjalani impian ternyata tidak seindah yang orang lihat. Cobaan ini membuat saya berfikir dua kali, apakah saya akan melanjutkan profesi saya sebagai seorang diplomat. Sempat terfikir untuk berhenti, namun saya pikir saya juga ada kegilaan tersendiri. Muncul dalam pikiran saya, "tidak semua orang bisa terpilih untuk menjalani pengalaman ini". Dan di sinilah saya, saat ini sedang menjalani sekolah mid-career untuk menjadi diplomat madya dan melanjutkan karir.
ADVERTISEMENT
Saya belajar berjalan dan berlari lagi. Kadang kita tidak mensyukuri nikmat Tuhan. Berjalan, berjongkok, berlari terkadang kita anggap sebagai hal alami yang ada dalam hidup kita. Satu tahun setelah operasi pertama, metal penyangga yang ditanam di kaki saya sudah diangkat. Saat ini saya masih belajar berjalan dengan baik. Tidak lupa, tulisan ini saya dedikasikan untuk dokter Eyup Bakmas yang telah merawat saya dan memberikan harapan disaat saya berada di titik terendah.
Semoga tulisan ini bisa memberi semangat bagi para diplomat Indonesia. Jika berat, mintalah tolong. Jika sudah tidak tahan, letakkan sebentar. Jangan ragu untuk berhenti sejenak. Karena negara ini tidak akan runtuh hanya karena seorang diplomatnya mementingkan kesehatan mental dan raganya, tapi bagi keluargamu, hanya ada kamu satu-satunya di dunia ini.
ADVERTISEMENT