Konten dari Pengguna

Pencemaran Nama Baik di Media Sosial: Apa Kata Hukum?

Thanesya Situmorang
Mahasiswa Fakukltas Hukum Universitas Sumatera Utara
25 September 2024 16:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thanesya Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perkembangan zaman yang begitu cepat diiringi dengan semakin maraknya penggunaan media sosial. Data penggunaan media sosial tahun 2024 menurut databoks.katadata.co.id mencapai 191 juta pengguna atau setara dengan 73,7% dari total populasi masyarakat Indonesia. Penggunaan media sosial yang saat ini menjadi salah satu kebutuhan masyarakat di belahan dunia bahkan di Indonesia, menciptakan dampak negatif bagi para penggunanya. Semua media sosial memungkinkan siapa saja untuk berbagi opini, informasi, atau bahkan kritik kepada publik dengan sangat cepat dan mudah. Sayangnya, kemudahan tersebut dapat menyebabkan penyalahgunaan media sosial, salah satunya seperti pencemaran nama baik seperti tuduhan ataupun informasi palsu individu dan sekelompok orang. Penyebaran pencemaran nama baik melalui media sosial menjadi lebih sulit dikendalikan karena sifat anonim dari beberapa pengguna. Topik ini menjadi sangat penting, dikarenakan pembahasan tentang pencemaran nama baik di media sosial sangat relevan dalam membantu masyarakat memahami batasan hukum dalam berkomunikasi di media sosial.
ADVERTISEMENT
Kata Kunci: Pencemaran Nama Baik, Media Sosial, Sanksi Hukum, Etika, Elektronik.
Gambar oleh Thanesya Rutshanni Mariani Br Situmorang
Apa itu pencemaran nama baik dari sisi hukum?
Pencemaran nama baik sudah tercantum pada pasal 310 hingga pasal 321 KUHP. Pada pasal 310 ayat (1) KUHP menyatakan, “Ketika orang dengan sengaja ataupun tidak melontarkan ucapan atau melakukan tindakan yang berpotensi menyinggung atau menghina orang lain. Kemudian itu mengakibatkan rusaknya nama baik dari orang tersebut, maka pelaku dapat terancam hukuman pidana.” Namun, hal yang lebih spesifik tentang pencemaran nama baik pada media sosial, terdapat pada Pasal 320 ayat (2) yang lebih menekankan bagi pelanggaran yang terjadi secara tidak langsung, yaitu melalui tulisan atau unggahan pada forum publik. Serta menurut Pasal (27A) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE, pencemaran nama baik adalah tindakan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu. Tindakan ini dilakukan melalui sistem elektronik dalam bentuk dokumen elektronik atau informasi elektronik.
ADVERTISEMENT
Tapi sebenarnya apa yang dapat digolongkan perbuatan pencemaran nama baik?
Jika melihat unsur-unsur yang dinyatakan pada pasal 310 KUHP, perbuatan dapat dikatakan pencemaran nama baik, yaitu:
1. Dengan sengaja;
2. Menyerang kehormatan atau nama baik;
3. Menuduh melakukan suatu perbuatan;
4. Menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum.
Apakah ada dampak yang dapat timbul?
Dampak yang dapat timbul dari perbuatan pencemaran nama baik yaitu reputasi atau citra seseorang yang menjadi buruk. Bukan hanya pada reputasi, juga pada ekonomi, sosial serta pergaulan di masyarakat orang tersebut. Dampak negatif lainnya dapat sangat dirasakan di lingkungan pekerjaan, seperti penyebab gagalnya seseorang naik jabatan, dianggap tidak layak mendapatkan suatu jabatan, bahkan kehilangan profesinya sekaligus.
Bagaimana peran media sosial dalam mempercepat atau memperluas dampak pencemaran nama baik?
ADVERTISEMENT
Media sosial merupakan platform yang memiliki resiko yang cukup banyak bagi para penggunanya dikarenakan cepatnya penyebaran informasi kemana saja. Luasnya audiens dengan jangkauan yang bukan hanya dalam negeri tetapi luar negeri juga, informasi yang sudah dipublikasikan dapat dengan mudah didapatkan siapapun dari kalangan manapun. Dengan tidak adanya proses verifikasi apakah informasi tersebut benar adanya, jika sudah disebarluaskan dalam hitungan detik maka sangat sulit untuk menariknya kembali, sehingga hal tersebut memungkinkan terjadinya pencemaran nama baik. Pengguna media sosial yang biasanya melakukan pencemaran nama baik merupakan pengguna anonim ataupun identitas palsu, para pengguna anonim ini merasa lebih mudah dalam mengekspresikan pendapat mereka dalam media sosial tanpa adanya rasa takut karena mereka merasa bahwa mereka sulit untuk dilacak ataupun ditemukan identitas aslinya sehingga jarang dari mereka terkena sanksi ke ranah hukum. Selanjutnya penggiringan informasi palsu tersebut sangat cepat dilakukan oleh massa, hal-hal tersebut sangat mudah membangkitkan kemarahan publik yang dapat memperpanjang pencemaran nama baik tersebut.
ADVERTISEMENT
Bagaimana UU ITE dan KUHP mengatur pencemaran nama baik di media sosial?
Penerapan sanksi pidana diharapkan menunjukkan keadilan bagi seseorang yang telah melakukan tindakan pidana tersebut. Dalam tindakan pencemaran nama baik, sudah diatur pada Pasal 45 ayat (4) UU ITE, yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Seseorang yang terkena pasal tersebut merupakan seseorang yang memang sudah dinyatakan melakukan tindakan pencemaran nama baik sesuai unsur yang ada pada pasal 27A.
Ketentuan sanksi pidana tentang pencemaran nama baik dalam UU ITE jauh lebih berat dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam KUHP. Pada Pasal 310 ayat (2) KUHP menjelaskan Bagi pelaku pelanggaran mereka akan mendapatkan sanksi yaitu pidana denda Rp 4,5 juta atau hukuman penjara dengan waktu paling lama 1 tahun 4 bulan.
ADVERTISEMENT
Apa yang perlu diperhatikan untuk menghindari pencemaran nama baik saat berinteraksi di media sosial?
Ada beberapa hal yang dapat diperhatikan, yaitu:
1. Memastikan bahwa informasi yang ingin dibagikan ke media sosial benar adanya agar menghindari informasi hoaks.
2. Menggunakan etika dan bahasa yang sopan ketika mengomentari laman pribadi atau kelompok. Hindari komentar yang bersifat diskriminatif, rasis, atau menghina.
3. Bertanggung jawab terhadap informasi yang dipublikasikan. Hindari membagikan berita atau gambar yang bisa memicu ketegangan atau konflik.
Daftar Pustaka
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2OO8 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3. Effendi Kusuma, Sadjijono, “Konsep Hukum Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.”
ADVERTISEMENT