Konten dari Pengguna

Founding Fathers dan Kontektualisasi Kiri Moderat dan Kiri Radikal di Indonesia

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
18 Januari 2024 15:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Patung Bung Karno, pemikir yang banyak meletakkan filsafat politik untuk Indonesia. Foto: https://www.pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Patung Bung Karno, pemikir yang banyak meletakkan filsafat politik untuk Indonesia. Foto: https://www.pexels.com
ADVERTISEMENT
Jika membaca sejarah politik yang konkret di Indonesia, kita akan menemukan spektrum pemikiran politik yang cukup menarik dan membedakan antara kiri moderat dan kiri radikal. Kiri moderat diwakili oleh Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Sjahrir, sedangkan kiri radikal diwakili oleh Tan Malaka.
ADVERTISEMENT
Bung Karno mencoba menemukan sosialisme berkarakter Indonesia (Latif, 2021). Bagi Bung Karno, terdapat perbedaan karakter kapitalisme industrial yang menjadi objek kritik Karl Marx dan Engels di Eropa dengan kapitalisme di Indonesia yang masih bercorak agraris. Bung Karno ketika turun ke bawah (Turbah) melihat desa Cigereleng, sebelah selatan kota Bandung bertemu dengan seorang petani mandiri yang mengolah alat produksinya untuk dirinya sendiri tetapi masih mengalami verelendung (pemiskinan-pemelaratan-proletarisasi).
Petani itu bernama Marhaen. Bung Karno kemudian menciptakan pemikiran yang disebut dengan Marhaenisme atau filsafat politik kaum wong cilik merujuk kepada karakter Marhaen, petani desa Cigereleng, Jawa Barat. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Marhaen adalah akronim dari nama pemikir politik idola Bung Karno yaitu Marx, Hegel dan Engels (Latif, 2021).
ADVERTISEMENT
Inilah pemikiran yang digunakan oleh Bung Karno untuk memberdayakan masyarakat kelas bawah. Bung Karno selalu berpikir tentang strategi politik untuk membela kaum Marhaen termasuk ketika merumuskan teori sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasinya yang berkarakter kolektivisme dan pemikiran Trisaktinya yaitu kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kebudayaan yang kuat.
Tak hanya itu, Bung Karno juga mencoba adaptif dengan mengembangkan titik temu antara Nasionalisme, Islam, Marxisme. Pemikiran ini sangat maju di zamannya karena mencoba merangkum energi-energi perubahan dari pemikiran nasionalisme yang menekankan persamaan nasib sejarah, Islam non-sontoloyo yang mendorong kepedulian sosial dan baldatun thoyyibatun warabbun gafur, dan Marxisme yang tegas membela kaum proletariat dan bahkan mendorong kaum proletariat untuk membentuk pemerintahan kaum tertindas yang dikenal dengan istilah diktator proletariat.
ADVERTISEMENT
Tak berbeda, Bung Hatta menkontekstualisasikan pemikiran ekonomi kerakyatan yang perlu dan penting bagi rakyat kecil di Indonesia. Bung Hatta belajar ekonomi koperasi di Skandinavia jauh sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1925. Bung Hatta melihat pentingnya ekonomi koperasi untuk mendorong kemandirian ekonomi bangsa Indonesia secara kolektif yang hanya mampu mengelola ekonomi lapisan bawah. Dengan kata lain, koperasi sejatinya alat untuk melawan ekploitasi kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir elit ekononomi.
Bung Hatta begitu kritis menulis pentingnya kontekstualisasi koperasi bagi rakyat kecil Indonesia dalam memoirnya pada tahun 1925 bahwa kelemahan ekonomi rakyat ternyata pada keadaaan rakyat Indonesia hanya mengerjakan segala yang kecil, pertanian dan perdagangan kecil. Segala yang besar ada di tangan kulit putih, pertanian dan perdagangan besar, impor dan ekspor, pelayaran besar, bank dan lain-lain. Ekonomi menengah, ekonomi perantaraan 90% di tangan orang-orang China, India dan lain yang disebut vreemde oosterlingen.
ADVERTISEMENT
Dalam bidang itu, orang Indonesia hanya 10% itupun pada tingkat sebelah bawah pula. Mereka sanggup memperoleh tempat itu karena mereka giat berusaha dan mempunyai modal sendiri sebagai pokoknya, modal yang diperoleh turun-temurun dari nenek mereka, yang mereka jalankan sebagai harta keluarga. Itu sudah bagus apabila mereka dapat mempertahankan kedudukannya.
Dalam sistem kapitalisme dengan dasar free competition tidak dapat diharapkan bahwa orang Indonesia yang hanya pandai melaksanakan segala yang kecil akan dapat naik kelas. Melihat contoh-contoh yang terdapat di Inggris dan beberapa negeri lain di daratan Eropa hanya koperasi yang berhasil meningkatkan selangkah demi selangkah ekonomi rakyat jelata (Hatta, 1982).
ADVERTISEMENT
Bung Sjahrir lebih rasional melihat pemikiran kiri. Ia cenderung melihat sosialisme dari perspektif kemanusiaan dan pencapaian filsafat politik Barat. Ia mengutip Robert Owen, pendiri sosialisme, bahwa sosialisme yang kita perjuangkan seharusnya bertujuan memerdekakan dan memanusiakan manusia serta membebaskan manusia dari eksploitasi manusia lain (Latif, 2021).
Bung Sjahrir malah menuliskan lebih detail dan konkret kebijakan sosialisme yang bisa menyelesaikan masalah ekonomi politik kolektif dan dapat diterapkan di Indonesia secara tepat dan visioner yaitu (1) Memastikan standar penghidupan minimum (2) Upah yang layak untuk setiap individu (3) Pesangon/pensiun bagi orang tua (4) Bebas pajak bagi orang berpenghasilan minim (5) Kerja 8 (delapan) jam per hari (6) Anak di bawah 15 tahun tidak boleh menjadi buruh (7) Perempuan hamil tidak boleh bekerja.
ADVERTISEMENT
(8) Uang pengganti ongkos berobat (9) Ekstra gaji bagi buruh yang mendapat kecelakaan (10) Perlunya negara membuat aturan pajak progresif (11) Membuat undang-undang sosial keselamatan kerja (12) Menetapkan batas upah minimum (living wage) (13) Menghapus hukuman sanksi rodi dan segala bentuk kerja paksa (14) Mengeluarkan undang-undang anti-riba (15) Peraturan yang mewajibkan semua orang untuk menyekolahkan anak-anaknya dan bebas uang sekolah kepada anak-anak-anak miskin hingga umur 15 tahun (16) Memerangi buta huruf melalui pengurusan rakyat dan pendidikan umum (Sjahrir, 2000).
Jika Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Sjahrir cenderung adaptif dengan ide-ide kiri revolusioner menjadi ide-ide strategis bernuansa strukturalis-reformis, maka model kontekstualisasi Tan Malaka cenderung konsisten dengan ide radikalnya yaitu transformasi sosialisme-Marxisme menjadi sosialisme ala Indonesia (Latif, 2021) yang mendorong perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan ini tertuang dengan baik dalam karyanya "Naar de Republiek Indonesia (1925)." Tan Malaka melihat perlunya komunis internasional beradaptasi dengan ide Pan-Islamisme Al-Afghani yang mendorong perjuangan melawan kolonialisme terutama di negeri-negeri mayoritas pemeluk Islam (Anderson, 1972).
ADVERTISEMENT
Alhasil, spektrum kontekstualisasi pemikiran revolusioner menjadi pemikiran yang bermakna dan relevan bagi Indonesia telah dilakukan sejak dulu oleh founding fathers kita. Tetapi, benang merah dari kontekstualisasi ini adalah keberpihakan kepada rakyat kecil dan kepentingan yang lebih besar untuk negara ini. Tentu, ini penting sebab politik tanpa rasa dan keberpihakan kepada rakyat bisa digantikan oleh robot AI. Semoga elite politik kita dan generasi zillenial bisa belajar dari kecerdasan filsafat politik founding fathers dalam berpikir mendorong perubahan besar di negeri ini.