Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Komunikasi Simbolis di Balik Festival Budaya Tabuik
1 Agustus 2023 11:17 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Puncak festival budaya Tabuik di Pariaman, Sumatera Barat, pada tahun ini baru saja dihelat pada hari Minggu, 30 Juli 2023. Menurut pemerintah Pariaman, sekitar 200 ribu pengunjung turut berpartisipasi menyaksikan dari dekat prosesi akhir mengarak dua buah Tabuik, yaitu Tabuik Pasa dan Subarang, ke pinggir pantai untuk dibuang dan menutup prosesi festival budaya ini.
ADVERTISEMENT
Namun, festival budaya Tabuik Pariaman sejatinya dimulai sejak tanggal 1 Muharram hingga 10 Muharram dan memiliki tahapan proses yang meliputi pra perhelatan Tabuik, prosesi pembuatan Tabuik, dan berakhir pada prosesi Hoyak Tabuik dengan melarungnya di laut. Pada prosesi pra perhelatan, masyarakat merencanakan semua rangkaian prosesi secara strategis.
Selanjutnya, dalam prosesi pembuatan Tabuik diawali dengan prosesi yang disebut Maambik Tanah, yaitu prosesi mengambil tanah di sungai pada tanggal 1 Muharram yang kemudian diletakkan dalam wadah yang disebut daraga. Hal ini menyimbolkan prosesi mengambil jasad mayat cucu Baginda Nabi Muhammad SAW, yaitu Imam Husain, syuhada perang Karbala.
Prosesi kedua dalam pembuatan Tabuik adalah Manabang Batang Pisang, yaitu menebang batang pisang dalam satu tebasan yang dilakukan oleh aktor Tabuik pada tanggal 5 Muharram dan biasanya disertai dengan drama perseteruan yang dikenal sebagai bacakak antara dua kelompok pengusung Keranda Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Dalam prosesi bacakak ini, akan terdengar bunyi-bunyian gendang yang disebut sebagai Gandang Tansa. Hal ini menggambarkan perseteruan antara pasukan Yazid bin Muawiyah versus pasukan Imam Husain yang akhirnya menjadikan Imam Husain sebagai syuhada.
ADVERTISEMENT
Prosesi ketiga adalah Maatam, yaitu prosesi bersedih atas syahidnya Imam Husain di Karbala yang berlangsung pada tanggal 7 Muharram. Kesedihan dalam prosesi ini adalah kesedihan yang bersifat filosofis-manusiawi dan sama halnya ketika Nabi Muhammad ditinggal mati oleh istrinya.
Prosesi keempat adalah Maarak jari-jari, yaitu mengarak bersama-sama simbol jari-jari Imam Husain yang putus ditebas oleh tentara Yazid bin Muawiyah. Prosesi ini masih menjadi rangkaian dari prosesi Maatam menunjukkan kesedihan dan keberpihakan kepada Imam Husain.
Prosesi kelima adalah Maarak Sorban, yaitu mengarak secara beramai-ramai sorban yang menyimbolkan pembelaan terhadap wibawa, kejernihan, dan kesyahidan Imam Husain di Karbala. Dalam prosesi ini juga masih disertai drama konflik antara Tabuik Pasa versus Tabuik Subarang yang diiringi oleh bunyi-bunyian Gandang Tansa.
ADVERTISEMENT
Prosesi Keenam adalah menggabungkan bagian bawah dan atas dari keranda Tabuik sehingga menjulang mencapai 12 meter. Prosesi ini terjadi pada tanggal 10 Muharram. Prosesi ini kemudian mengantarkan kepada prosesi akhir, yaitu Hoyak Tabuik, atau menggoyang-goyangkan Tabuik hingga dilarung ke laut setelah dicabik aktor pertunjukan Tabuik sehingga menjadi serpihan-serpihan kecil (Dalmenda dan Elian, 2017; Refisrul, 2016; Syam, 2018).
Dari semua prosesi panjang festival Tabuik ini memiliki esensi makna simbolik dan sosiologis yang mudah dipahami walaupun multi-tafsir. Secara simbolik, beberapa entitas memiliki pemaknaan yang bersifat sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat lokal, misalnya simbolitas air sungai, tanah, dan wadah tanah bernama daraga dalam prosesi awal Maambik Tanah yang mudah dipahami sebagai makna yang bersifat transendental terkait kematian. Simbol penebasan batang pisang dapat dipahami sebagai nuansa makna dan representasi dari kekejaman Yazid. Sementara itu, simbolitas mengusung jemari dan Sorban Imam Husain dapat diartikan sebagai nuansa makna dari keberpihakan kepada kejernihan nalar dan kebenaran.
ADVERTISEMENT
Sedangkan secara sosiologis, ramainya pengunjung menyimbolkan keingintahuan dan kerinduan setiap pengunjung terhadap kedalaman makna yang tersimpan dalam adat dan budaya lokal. Tetapi, secara semiotik-strukturalis, nilai-nilai heroisme tentu menjadi pesan komunikasi yang paling utama dalam festival budaya ini. Pesan komunikasi tentang keagungan Imam Husain dalam mempertahankan haknya dan menjadikannya syuhada yang akhirnya dijemput oleh malaikat kematiannya, disimbolkan oleh dua kuda Buraq Tabuik.
Gandoriah sebagai Simbol Komunikasi Ruang yang Belum Tertata Maksimal
Ruang juga menyiratkan makna. Ruang berkomunikasi kepada setiap pengunjung. Dalam puncak perayaan Tabuik 2023 yang diadakan di Pantai Gandoriah, Pariaman, masih terlihat kurang tertib dan disiplin, serta runyamnya jalur keluar masuk kendaraan. Penunjuk arah belum banyak digunakan secara efektif untuk membantu pengunjung, seperti yang lazim digunakan di destinasi wisata negara-negara maju.
ADVERTISEMENT
Tempat parkir juga masih sangat terbatas dan belum rapi. Banyak kendaraan diparkir sembarangan di tepi jalan, yang akhirnya menciptakan kemacetan tinggi menjelang puncak acara dan menyulitkan saat festival berakhir. Pergerakan saat acara festival berakhir benar-benar berbahaya karena terjadi penumpukan manusia dan kendaraan secara bersamaan, yang membuat eskalasi kemacetan semakin meningkat dan membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk mengurai kemacetan.
Sampah berserakan menjadi masalah lain yang harus diatasi dengan menyiapkan tempat sampah yang banyak dan mudah diakses. Pengunjung juga harus dipersiapkan dengan papan-papan petunjuk lokasi tempat sampah dan papan-papan informasi untuk mendorong inisiatif mereka sendiri dalam memungut dan membuang sampah, serta menjaga kebersihan pantai dan menghindari pembuangan sampah sembarangan di lokasi wisata.
ADVERTISEMENT
Lokasi penjaja kuliner lokal juga harus ditata dengan menarik dan para pelayan perlu diberikan pelatihan agar ramah dan memberikan kesan yang baik bagi pengunjung. Masih terlihat penumpukan penjaja kuliner di beberapa tempat, yang mengurangi keleluasaan dan kenyamanan maksimal bagi pengunjung.
Terakhir, taman-taman bermain juga harus di-maintenance agar selalu menarik bagi pengunjung yang memiliki anak-anak. Terlihat taman-taman bermainnya mulai tak terawat dan kusam. Selain itu, taman-taman untuk berteduh juga harus semakin apik dan rapi sehingga pantai Gandoriah terasa nyaman dan memberikan kesan ramah lingkungan.
Alhasil, ruang dan alam di sekitar Gandoriah secara simbolik mengisyaratkan panggilan jiwa kepada semua elemen, baik dari masyarakat lokal, pemerintah setempat, maupun swasta, untuk ditata secara maksimal agar event budaya keagamaan dan pariwisata ini mendatangkan banyak manfaat bagi Sumatera Barat.
ADVERTISEMENT
----------------------------------------------------------------
Oleh: Muhammad Thaufan Arifuddin, MA (Pengamat Media, Korupsi, Demokrasi dan Budaya Lokal. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas)