Konten dari Pengguna

Judicial Review Sebagai Senjata Terakhir Keadilan Konstitusional

Tia Setiadevi
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, prodi Hukum Tata Negara.
11 Mei 2025 13:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tia Setiadevi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam panggung demokrasi modern, kita kerap terjebak dalam ilusi bahwa suara rakyat selalu mencerminkan keadilan. Namun, bagaimana jika suara mayoritas justru menginjak-injak hak minoritas? Inilah dilema klasik demokrasi yang mengharuskan keberadaan "wasit konstitusional" yang kita kenal sebagai judicial review.
Ilustrasi Kompleks Mahkamah Agung Republik Indonesia (Foto: ben-bryant)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kompleks Mahkamah Agung Republik Indonesia (Foto: ben-bryant)
ADVERTISEMENT
Ketika Suara Rakyat Bukan Suara Tuhan
Mari kita hadapi kenyataan pahit: demokrasi bukanlah sistem sempurna. Alexis de Tocqueville menyebutnya sebagai "tirani mayoritas"—situasi ketika kekuatan angka mengalahkan keadilan substantif.[1] Dalam konteks inilah judicial review muncul sebagai benteng terakhir perlindungan hak-hak konstitusional.
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi berdiri tegak sejak 2003 sebagai penjaga gerbang konstitusionalitas.[2] Jangankan undang-undang produk parlemen yang notabene wakil rakyat, bahkan kebijakan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat pun bisa dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi. Inilah esensi negara hukum yang menempatkan konstitusi di atas segala-galanya.
Pertarungan Dua Prinsip
Inti perdebatan seputar judicial review sebenarnya adalah pertarungan antara prinsip demokrasi dan prinsip konstitusionalisme. Di satu sisi, demokrasi menghendaki kedaulatan rakyat yang absolut. Di sisi lain, konstitusionalisme menuntut adanya batasan terhadap kekuasaan, termasuk kekuasaan mayoritas.[3]
ADVERTISEMENT
"Judicial review bukanlah ancaman terhadap demokrasi, melainkan pelindungnya," kata Alexander Bickel, pakar hukum tata negara dari Yale.[4] Ketika sembilan hakim konstitusi membatalkan undang-undang, mereka sejatinya tidak sedang melawan kehendak rakyat, tetapi justru mengingatkan rakyat akan komitmen jangka panjang mereka terhadap nilai-nilai konstitusional.
Pedang Bermata Dua
Tentu saja, judicial review bukanlah alat ajaib tanpa cacat. Ia seperti pisau bedah—bisa menyelamatkan nyawa di tangan dokter ahli, tapi berbahaya jika disalahgunakan. Kekhawatiran akan lahirnya "pemerintahan oleh hakim" (government by judges) bukan tanpa dasar.[5]
Dalam sejarah Mahkamah Konstitusi Indonesia, kita telah menyaksikan bagaimana lembaga ini terkadang menghasilkan putusan-putusan kontroversial yang dianggap melampaui kewenangannya. Misalnya, putusan tentang presidential threshold yang oleh sebagian kalangan dianggap terlalu jauh mencampuri ranah politik praktis.[6]
ADVERTISEMENT
Menjaga Si Penjaga
Pertanyaan krusialnya adalah: siapa yang menjaga si penjaga? Jika Mahkamah Konstitusi adalah wasit final, bagaimana jika wasit itu sendiri keliru? Inilah dilema abadi yang dihadapi sistem judicial review di manapun.[7]
Transparansi proses seleksi hakim konstitusi, keterbukaan persidangan, dan kultur akademik yang kritis terhadap putusan-putusan MK adalah beberapa mekanisme untuk menjaga akuntabilitas lembaga ini. Selain itu, Mahkamah sendiri perlu terus mengintrospeksi diri dan membatasi kekuasaannya dalam koridor "judicial restraint" untuk menghindari aktivisme yudisial yang berlebihan.[8]
Ketika Kata-Kata Menjadi Senjata
Judicial review pada hakikatnya adalah pertarungan interpretasi. Hakim tidak hanya membaca teks konstitusi, tetapi juga menafsirkannya dalam konteks kekinian. Proses ini tidak sekadar permainan logika hukum, melainkan juga pergulatan filosofis dan sosiologis yang mendalam.[9]
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, tafsir konstitusi juga harus mempertimbangkan keragaman nilai dan kebutuhan berbagai kelompok masyarakat. Putusan MK yang baik bukan hanya yang solid secara yuridis, tetapi juga yang peka terhadap realitas sosial dan berdampak positif bagi kesejahteraan rakyat.[10]
Melampaui Formalitas
Terlalu sering kita terjebak dalam perdebatan prosedural dan melupakan esensi judicial review: mewujudkan keadilan substantif. Pengujian konstitusionalitas bukanlah sekadar ritual hukum, melainkan alat untuk mencapai cita-cita konstitusi: melindungi hak-hak fundamental dan meningkatkan kualitas hidup warga negara.[11]
Mahkamah Konstitusi perlu terus mengingatkan dirinya bahwa tugas utamanya bukanlah mengagungkan teks konstitusi sebagai berhala, melainkan mewujudkan nilai-nilai konstitusional dalam kehidupan nyata. Putusan yang terlalu legalistik tanpa sensitivitas terhadap konteks sosial hanya akan menghasilkan keadilan semu.[12]
ADVERTISEMENT
Catatan Penutup
Judicial review sejatinya adalah paradoks demokrasi konstitusional: membatasi kekuasaan mayoritas demi melindungi nilai-nilai yang disepakati oleh mayoritas itu sendiri. Ia adalah senjata terakhir keadilan konstitusional yang harus digunakan dengan penuh kehati-hatian.[13]
Di tengah badai populisme yang melanda dunia, termasuk Indonesia, peran Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir konstitusionalisme menjadi semakin vital. Ketika suara-suara populis mengklaim mewakili "kehendak rakyat" untuk mengesampingkan aturan main demokrasi, judicial review hadir sebagai pengingat bahwa demokrasi sejati bukanlah kekuasaan mayoritas tanpa batas, melainkan sistem yang melindungi hak semua warga negara, termasuk mereka yang kalah dalam pemungutan suara.[14]
Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan demokrasi bukanlah seberapa mutlak kekuasaan mayoritas, melainkan seberapa aman minoritas hidup di dalamnya.[15]
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
[1] Tocqueville, Alexis de. (2003). Democracy in America. Penguin Classics.
[2] Asshiddiqie, Jimly. (2010). Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
[3] Mahfud MD, Moh. (2011). Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.
[4] Bickel, Alexander M. (1986). The Least Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of Politics. Yale University Press.
[5] Lindquist, Stefanie A. & Cross, Frank B. (2009). Measuring Judicial Activism. Oxford University Press.
[6] Siahaan, Maruarar. (2012). Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sinar Grafika.
[7] Tushnet, Mark. (2008). Weak Courts, Strong Rights: Judicial Review and Social Welfare Rights in Comparative Constitutional Law. Princeton University Press.
[8] Marzuki, Peter Mahmud. (2014). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
ADVERTISEMENT
[9] Dworkin, Ronald. (1986). Law's Empire. Harvard University Press.
[10] Soekanto, Soerjono. (2018). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[11] Habermas, Jürgen. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. MIT Press.
[12] Widodo, Joko. (2018). Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Jakarta: Media Nusa Creative.
[13] Rawls, John. (1999). A Theory of Justice. Harvard University Press.
[14] Butt, Simon & Lindsey, Tim. (2018). Indonesian Law. Oxford University Press.
[15] Ginsburg, Tom. (2003). Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases. Cambridge University Press.