Surat Rindu untuk Sumba

Tiara Hasna R
Journalist and Bachelor of Engineering ITB
Konten dari Pengguna
25 November 2019 16:07 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara Hasna R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Danau Weekuri, NTT. Airnya jernih, cantik sekali. Sjhadoe.
zoom-in-whitePerbesar
Danau Weekuri, NTT. Airnya jernih, cantik sekali. Sjhadoe.
ADVERTISEMENT
Kalau yang ini, sepotong senja Sumba untukmu.
Bukti Warinding, NTT. Bagusssss bangeeeeet.
Matanya berbinar, seolah bicara penuh harap. Semangatnya bahkan mengalahkan calon-calon kepala daerah saat kampanye. Rasanya aku belum pernah melihat manusia bermimpi setinggi itu, tulus, apa adanya.
ADVERTISEMENT
Bertemu adik-adik SDN Bidi Praing, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), di HUT ke-73 RI adalah salah satu pengalaman terbaik dalam hidupku. Aku yang diminta mengajar malah dapat pelajaran lebih banyak. Kalau boleh sedikit menyinggung soal privilege, bagiku kesempatan berbagi langsung dengan mereka sudah bisa dibilang privilege.
Malu dengar ribut-ribut di Ibu Kota, "Umur 23 sudah jadi apa?" Naninu naninu politik dan kekuasaan. Duh, coba lihat sekitar, lihat lebih jauh, jangan bangga punya privilege kalau masih enggak bisa bermanfaat.
Oke, sudah-sudah, aku pun enggan berdebat, toxic. Lebih baik bahas rona bahagia dan mimpi mereka--adik-adik di Sumba, ya, insyaallah lebih menyenangkan.
Saat jadi protokol upacara pengibaran bendera HUT ke-73 RI di SDN Bidi Praing.
Kala itu aku menjadi bagian '1000 Guru', program mengajar di pelosok-pelosok daerah. Menariknya, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI tahun 2018, kami mendapat kesempatan mengajar di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
Setiap orang akan jadi 'guru' untuk satu kelas. Aku dan dua orang lainnya--Nadia dan Raina--mendapat bagian kelas VI. Kami harus mengajar tentang cita-cita. Wah, satu bulan sebelumnya pun aku sudah tidak sabar ingin bertemu adik-adik di sana.
Hari itu pun tiba. Kami sampai di SDN Bidi Praing, disambut hangat dengan tarian adat oleh belasan siswi yang gemulai. Sebelum mengajar, kami melakukan upacara pengibaran bendera Merah-Putih. Aku berlaku sebagai pembawa acara. Degdegan, takut diketawain anak-anak SD, hahaha.
Ini dia foto ibu guru yang pencitraan, heehhehehehehe.
Usai upacara, kami langsung ke kelas masing-masing. Awalnya awkward, takut enggak didengar, takut diisengi kayak guru-guru di drama korea, haduu, campur aduk, deh. Tapi ternyata mereka pemerhati yang baik. Rasa bahagia pun tumpah ruah saat menatap mata mereka satu per satu. Jauh lebih baik daripada ngobrol sama orang-orang yang hanya menatap layar handphone, hehehe.
ADVERTISEMENT
Sederhana saja, kami memperkenalkan beberapa profesi, lalu meminta mereka menuliskan cita-citanya di kepingan kertas berbentuk daun. Dari yang umum seperti dokter dan guru, hingga yang kurang lazim seperti arsitek dan artis. Kepingan daun tersebut kemudian dirangkai menjadi pohon mimpi.
"Alvan mau jadi apa?" tanyaku.
"Presiden dong," jawabnya yakin.
Wah, hebat sekali. Waktu kecil bahkan aku hanya ingin jadi dosen. Kurang percaya diri dan realistis memang beda tipis.
Cerita tentang cita-cita diharap bisa jadi motivasi sebelum adik-adik kelas VI itu beranjak ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Sayangnya, tak banyak yang bermimpi tinggi--mungkin hanya Alvan dan 3-5 anak lain--kebanyakan hanya ingin jadi pedagang atau petani.
Bukan, bukan berarti menjadi pedagang dan petani itu enggak bagus, tapi aku sangat menyayangkan keterbatasan pengetahuan mereka soal profesi lainnya. Padahal dengan memperkenalkan sejak dini, semangat belajarnya pun bisa ikut terpacu.
Aku bersama sebagian adik-adik kelas VI.
Mereka juga sangat menggebu-gebu saat cerita perjuangannya setiap hari agar bisa sampai ke sekolah.
ADVERTISEMENT
"Dia.. Dia itu, kak, (berjalan) 1,5 jam," jawab seorang adik.
"Kalau aku harus lewat hutan, sungai, kak," timpal adik yang lain.
Seketika macetnya ibu kota jadi tak seberapa kalau dibandingkan kisah mereka. Pun berjalan jauh, mereka tetap bersemangat usai sampai di pintu kelas. Sungguh ajaib, kalau aku, habis jalan sejauh itu, sih, mungkin malah mabal ke kantin buat beli es teh manis. Ckckck.
Alvan, Dirli, dan Herman lomba bakiak. Eleuh eta Pak Gurunya semangat pisan.
Momen seru berikutnya adalah lomba 17-an! Aku, Nadia, dan Raina ikut degdegan sambil berteriak kencang saat adik-adik kelas VI, yang diwakili Alvan dkk, lomba bakiak melawan kelas IV dan V.
Atas berkat rahmat Tuhan YME dan jiwa ambis yang meronta-ronta, akhirnya kelasku jadi juara! Yuhuuuuu! Bangga aku, tuh.
Aku dan Nadia (kiri) melawan 'ibu-ibu' guru kelas lain.
Enggak cuma adik-adiknya yang lomba, guru-gurunya pun diminta ikutan. Demi jadi teladan (dan pencitraan) yang baik, akhirnya aku dan Nadia berkorban.
ADVERTISEMENT
Padahal pendukung kami yang paling kompak dan kencang banget teriakannya, tapi memang enggak bakat, akhirnya cuma jadi juara 2. Meskipun enggak juara 1, adik-adik kami tetap senang dan berlarian memeluk kami setelahnya. Uwuwuu, terharu.
Sejujurnya lupa-lupa ingat, ini saat apa, ya.... Tapi begitulah, keseruan dan kebahagiaan cukup terpancar, kan?
Kalau boleh ajak bus Damri dan ikan julung-julung--yang ada di buku Semua Ikan di Langit dan tulisan Terima Kasih Indomie--aku akan memasukkan mereka ke dalam bus dan membawanya jalan-jalan memutari dunia. Boleh ke mana saja, yang penting seru-seruan.
Cepat sekali waktu berlalu, aku yang baru beberapa jam bersama mereka pun sudah dibuat jatuh hati. Rasanya masih ingin ada di sana, bermain, bercerita, belajar dengan mereka.
Mengapa kita bertemu, bila akhirnya dipisahkan~ Yovie & Nuno - Sempat Memiliki.
Aku pun enggak ngerti kenapa harus dipertemukan dengan mereka--adik-adik Sumba, ya--kalau harus secepat itu dipisahkan. Sebelum pulang, kami semua bersalaman--mengular seperti halal bi halal. Rasa sedih itu tak terbendung lagi, aku sedih sekali. Sampai sekarang pun aku masih bisa merasakan emosinya.
ADVERTISEMENT
Ah, apa kabar, ya, adik-adikku, Marsandra, Anasta, Jhon, Mira, Juven, Ignas, Alvan, Indri, Herman?
Semoga kalian selalu sehat, tetap semangat sekolah hingga kelak bisa jadi dokter, guru, pilot yang hebat. Semoga karya-karyamu di masa depan membawa negeri kita meraih kejayaan. Semoga ada kesempatan dan waktu yang bisa kembali mempertemukan.
Sekaligus ingin mengucapkan selamat hari guru, untuk semua pahlawan tanpa tanda jasa dari Sabang sampai Merauke. Aku yakin pendidikan Indonesia akan jadi lebih baik karenamu. Semoga para guru bisa lebih banyak mendengar dan menemukan bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri--seperti kata Mendikbud Nadiem.
ADVERTISEMENT
Katanya, rindu yang paling dahsyat adalah kerinduan saat tak lagi bertemu dan berbincang, namun diam-diam saling mendoakan.
Dan begitulah rinduku padamu, adik-adik Sumba.