Konten dari Pengguna

Perlindungan Data Pribadi dan Akomodasi Kognitif di Era Kebocoran Data

Timothee Kencono Malye
Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan
5 November 2024 11:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Timothee Kencono Malye tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi saling keterkaitan, sumber: pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi saling keterkaitan, sumber: pexels.
ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba cepat ini, masyarakat dihadapkan pada tantangan yang kompleks terkait dengan akses dan penyebaran data pribadi. Sebagai contoh, belum lama ini terjadi kebocoran data di Pusat Data Nasional. Kebocoran data telah menjadi isu yang semakin mendesak, di mana informasi individu dapat diakses dan disebarluaskan tanpa izin. Hal ini tidak hanya menimbulkan dampak negatif bagi privasi individu, tetapi juga menciptakan ketidaknyamanan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Dapat saja, akses tanpa izin ini dilakukan oleh entitas-entitas tertentu dengan alasan yang berpotensi diada-adakan, seperti perihal keamanan nasional atau pencegahan terorisme. Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan hak individu atas kontrol informasi pribadi mereka dan menyoroti perlunya kebijakan yang mendukung perlindungan data.
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan utama yang dihadapi masyarakat adalah potensi penyalahgunaan hak akses terhadap informasi. Pihak-pihak tertentu bisa saja mengklaim akses ke data pribadi dengan alasan yang dianggap “penting,” meskipun bisa jadi alasan tersebut hanya dibuat-buat. Dalam beberapa kasus, individu tidak diberikan kesempatan untuk menyetujui atau menolak akses tersebut. Tindakan semacam ini tidak hanya melanggar privasi, tetapi juga dapat menciptakan efek menakut-nakuti (“chilling effect”), di mana orang menjadi enggan untuk berbagi informasi atau menyatakan pendapat mereka.
Saat ini, perlindungan data pribadi di Indonesia telah diatur dalam UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Hal ini menegaskan bahwa individu memiliki hak kontrol atas informasi yang terkait dengan mereka. Pasal 20 Ayat (2) a undang-undang tersebut pada pokoknya menekankan pentingnya persetujuan dari pemilik data sebelum data pribadi dapat diproses oleh Pengendali Data Pribadi (“setiap entitas yang melakukan kendali pemrosesan data pribadi,” misalnya pengelola website). Tindakan akses dan penyebaran data tanpa izin jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, terutama hak atas privasi yang diatur dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabatnya. Adapun perlindungan tersebut mencakup perlindungan atas privasi yang boleh jadi apabila dilanggar akan mengancam jiwa ataupun martabat seseorang. Misalnya, seseorang yang sedang buang air lalu berfoto kemudian fotonya disebarkan secara ilegal oleh pihak tertentu yang mengakses datanya tanpa persetujuannya tentu akan terancam martabatnya apabila memang masyarakat tempatnya tinggal kebetulan menganggap data semacam itu (seseorang yang sedang buang air) adalah “aib”.
ADVERTISEMENT
Ketika data pribadi bocor, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu yang terpengaruh, tetapi juga dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan aman pada masyarakat. Untuk itu, penting untuk menegaskan bahwa perlindungan data pribadi harus berjalan beriringan dengan upaya untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya akomodasi kognitif (sebagaimana dicetuskan oleh Jean Piaget, psikolog Swiss). Akomodasi kognitif adalah proses di mana individu menyesuaikan pemahaman dan nilai-nilai mereka ketika menghadapi informasi baru atau situasi yang tidak sesuai dengan harapan atau nilai yang mereka yakini. Dalam konteks ini, masyarakat perlu belajar untuk menerima bahwa kebocoran data dapat terjadi dan bahwa informasi yang bersifat “sensitif” mungkin sebenarnya tidak perlu dianggap “sensitif” apabila memang proses akomodasi kognitif dalam masyarakat telah ada di level yang sangat maju (bahasa lainnya: “masyarakat toleran”). Apabila masyarakat telah sangat toleran dan paham perihal perbedaan nilai dan perilaku orang lain yang boleh jadi berbeda dengan dirinya, maka perihal penjagaan privasi ini bisa saja pelan-pelan dikurangi. Perlu diingat bahwa bagaimanapun privasi adalah derogable rights. Bila masyarakatnya toleran, maka segala informasi yang tersebar secara transparan bisa saja tidak akan menimbulkan riak, karena toh segala sesuatu dalam hidup (kecuali yang memang secara nyata merugikan negara) sudah dianggap biasa saja dan hanya angin lalu. Bahkan bila ternyata arah umat manusia adalah menuju “singularity” – dan di masa depan segala sesuatu baik manusia dan mesin akan terkoneksi dalam jaringan – maka perihal privasi memang akan tidak relevan lagi, toh segala informasi tentang manusia lainnya akan tersedia secara gamblang dalam jaringan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, konsensus menjadi aspek penting dalam upaya melindungi data pribadi. Setiap individu harus memiliki hak untuk menentukan bagaimana dan kepada siapa data mereka dapat diungkapkan. Transparansi yang dibangun atas dasar persetujuan ini akan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan saling menghormati, di mana individu merasa memiliki kontrol atas informasi mereka. Dengan adanya konsensus, setiap individu akan lebih siap untuk menghadapi kenyataan bahwa informasi mereka mungkin tersebar, tetapi mereka tetap memiliki kekuatan untuk menentukan bagaimana informasi tersebut digunakan.
Menciptakan masyarakat yang resilien dan berkemampuan untuk beradaptasi tidak hanya melindungi individu dari dampak negatif kebocoran data, tetapi juga menciptakan iklim sosial yang lebih harmonis. Ketika individu dapat menerima dan menghargai perbedaan, mereka akan lebih mampu menghadapi tantangan yang dihadapi dalam era digital ini, menjadikan keterbukaan data sebagai kesempatan untuk saling belajar dan tumbuh, bukan sebagai sumber konflik.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, membangun keseimbangan antara perlindungan data pribadi dan akomodasi kognitif adalah langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Perlindungan data pribadi memberikan landasan hukum yang kuat bagi individu untuk mempertahankan hak kontrol atas informasi mereka, sementara akomodasi kognitif menawarkan pendekatan yang lebih luas untuk mengatasi dampak dari kebocoran informasi. Dengan pendekatan yang saling melengkapi ini, masyarakat dapat belajar untuk beradaptasi dan berkembang di tengah tantangan yang dihadapi di era digital, menjaga privasi individu sekaligus membangun rasa saling percaya dan memahami antara anggota masyarakat.
Keseimbangan ini akan menciptakan ruang yang aman bagi individu untuk berbagi informasi tanpa takut akan penyalahgunaan atau penyebaran yang tidak bertanggung jawab, serta mendorong masyarakat untuk lebih terbuka terhadap perbedaan. Dalam akhirnya, pendekatan ini tidak hanya menguntungkan individu, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan meningkatkan kualitas hidup dalam masyarakat yang semakin kompleks dan saling terhubung.
ADVERTISEMENT