3 Jalan Keluar untuk Akhiri Lara Rohingya

31 Agustus 2017 15:21 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
ADVERTISEMENT
Konflik Rohingya terus berlarut, sejak Jumat (25/8) ketika Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang 30 pos polisi dan militer di wilayah Rakhine. Terhadap aksi ARSA, pemerintah Myanmar jelas tak tinggal diam: menggebuk militan Rohingya digencarkan.
ADVERTISEMENT
ARSA yang kalah jumlah mau tak mau terpecah-belah. Lebih dari 100 orang tewas karena pertempuran tersebut, dan hampir 90 persennya disebut terdiri dari militan ARSA. Rumah-rumah sekalian dibakar militer dan itu menjadi pemandangan biasa. Laporan European Rohingya Council (ERC) bahkan menyebut tentara tak sungkan menembaki siapa saja --dari perempuan sampai anak-anak.
Problem tak berhenti di situ. Orang-orang Rohingya yang berada di Rakhine kena getahnya. Kaum yang dijuluki PBB sebagai “etnis paling tersiksa di dunia” itu terpaksa melakukan segala cara untuk bertahan hidup. Termasuk dengan melarikan diri ke Bangladesh yang ada di barat laut wilayah mereka.
Gara-gara konflik ini, 18 ribu Rohingya mengungsi hanya dalam waktu tiga hari --dan diusir penjaga dari perbatasan Bangladesh, diminta kembali ke Myanmar yang mereka tinggalkan demi cari selamat.
ADVERTISEMENT
Konflik Rohingya mulai menjadi pada 2012. Pasang surut dari tahun ke tahun, dan hingga kini tak ada tanda-tanda untuk segera selesai. Jadi apa yang bisa dilakukan?
1. Kembali ke Dalam Negeri
Aung San Suu Kyi (Foto: RETUERS/Soe Zeya Tun)
zoom-in-whitePerbesar
Aung San Suu Kyi (Foto: RETUERS/Soe Zeya Tun)
Pada dasarnya, isu Rohingya adalah perkara kewarganegaraan. Myanmar menganggap Rohingya merupakan warga asli Bangladesh, dus, mendapatkan panggilan Bengali. Padahal, orang Rohingya telah tinggal di Myanmar sejak berabad-abad sebelumnya --tepatnya pada abad 8 saat Rakhine masih merupakan salah satu bagian dari Kerajaan Arakan.
Sialnya, Bangladesh juga tak mengakui Rohingya sebagai warga negara. Mereka menganggap Rohingya sudah menjadi bagian dari Myanmar. Menerima Rohingya, bagi Bangladesh, hanya akan memberi tanggungan ekonomi lebih besar sementara ia sendiri negara miskin. Sungguh repot.
ADVERTISEMENT
Maka --sebetulnya-- jawabannya mudah: Myanmar harus memasukkan Rohingya sebagai etnis minoritas ke-136 yang diakui oleh pemerintah. Selain itu, Myanmar juga harus memberikan hak kewarganegaraan bagi Rohingya.
Alasan bahwa Rohingya bukan merupakan bagian dari bangsa Myanmar adalah omong kosong --mereka sudah ada bahkan sebelum Myanmar merdeka sebagai bangsa yang mandiri.
Namun mengakui Rohingya sebagai warga negara Myanmar, konflik berdarah harus dibereskan terlebih dahulu. Dan untuk membereskannya, pemerintah Aung San Suu Kyi dan National League for Democracy (NLD)-nya mutlak harus mendapatkan dukungan dari militer. Bukan perkara gampang, memang.
2. Militer Myanmar
Naiknya Suu Kyi ke atas tampuk politik Myanmar tak akan pernah bisa dilakukan tanpa peran besar militer.
Dalam konstitusi yang diratifikasi tahun 2008, militer benar-benar mendapat pos kekuatan yang amat besar di peta politik Myanmar. Selain memegang 25 persen kursi di parlemen, militer Myanmar juga diberi pos di kementerian yang mengurusi persoalan dalam negeri, pertahanan, dan perbatasan.
ADVERTISEMENT
Militer juga punya peran besar di National Defense and Security Council (NDSC) Myanmar. Di badan yang cuma punya 11 anggota tersebut, terletaklah keputusan-keputusan penting terkait banyak hal di Myanmar. NDSC merupakan otoritas tertinggi bagi hal-hal kenegaraan Myanmar, dan anggotanya didominasi oleh militer atau orang-orang dekat mereka.
Mengingat NDSC dan beberapa pos kementerian didominasi militer, pandangan kubu tersebut dapat dipahami lebih berpengaruh ketimbang NLD yang didominasi sipil. Maka, di tengah peta dan struktur politik hybrid yang terdiri dari militer dan pemerintah sipil, Suu Kyi dan Presiden Htin Kyaw harus terlebih dahulu memenangkan pendapat militer yang sangat berpengaruh.
Meski begitu, upaya tersebut dipastikan sulit tercapai dalam waktu dekat. Keputusan militer menembaki orang-orang Rohingya serta membakari daerah-daerah di Rakhine, sebetulnya memang bertujuan untuk membuat orang Rohingya angkat kaki dari Myanmar.
ADVERTISEMENT
Laporan Anders Corr dari Forbes menyebutkan, bahwa tanah dan ladang yang ditinggal orang Rohingya yang mengungsi disulap menjadi lahan agribisnis bagi petinggi-petinggi militer Myanmar.
Lalu apabila pihak-pihak di dalam negeri tidak bisa diandalkan, siapa lagi?
3. Peran Agresif ASEAN
Peringatan HUT ke-50 ASEAN (Foto: Yudhistira Amran/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan HUT ke-50 ASEAN (Foto: Yudhistira Amran/kumparan)
ASEAN pernah berhasil dalam memediasi konflik junta Myanmar dan Aung San Suu Kyi di awal 2000-an. Maka, maklum saja apabila ASEAN memperoleh banyak desakan untuk lebih aktif dalam masalah Rohingya ini.
Meski demikian, ASEAN punya beberapa prinsip yang justru mempersulit efektivitas geraknya. Satu yang paling nyata adalah prinsip non-interference. Prinsip tersebut, sederhananya, melarang sebuah (atau lebih) negara mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Penjelasan lebih lanjut bisa dibaca di sini.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh ASEAN untuk terlepas dari cengkeraman prinsip tersebut? Salah satunya, adalah dengan mengubah cara pandangnya dalam melihat isu Rohingya.
Selama ini, Rohingya masih dilihat sebagai konflik yang terjadi di dalam negeri. Namun sebetulnya, ASEAN bisa menggeser cara pandang tersebut ke permasalahan pengungsi yang dihasilkan. Pengungsi dari Rohingya telah mencapai 150 ribu di seluruh dunia, dengan negara-negara Asia Tenggara sebagai tujuan mengungsi pertama.
Pada titik ini, ASEAN bisa mengubah persepsi soal Rohingya dari sekadar konflik komunal Myanmar menjadi isu ancaman pengungsi yang bekerja secara regional. Dengan ini, ASEAN semestinya bisa mendesak pemerintah Myanmar lebih jauh untuk memediasi dan mencari jalan keluar bagi jutaan warga Rohingya lainnya. Semoga.
ADVERTISEMENT