Tragedi Rohingya dan ASEAN yang “Diam”

31 Agustus 2017 12:55 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengungsi Rohingya di Bangladesh (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya di Bangladesh (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
ADVERTISEMENT
Saat Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang 30 pos polisi dan militer di wilayah Rakhine, Jumat (25/8), konflik yang jauh lebih besar telah siap kembali menyapa.
ADVERTISEMENT
Lima hari setelahnya, 100 orang tewas, 1.500 rumah dirusak, 10 area terbakar; dan tak kurang dari 3.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
ARSA, kelompok yang memicu kerusuhan pada konflik kali ini, merupakan kelompok militan Rohingya yang aktif di hutan-hutan tropis di utara kota Rakhine, Myanmar. ARSA merupakan singkatan dari Arakan Rohingya Salvation Army, kelompok yang punya tujuan “membentuk negara muslim demokratis Rohingya”. Kelompok tersebut aktif mulai Oktober 2016, menyerang pos perbatasan Myanmar dan petugas keamanan yang berjaga di wilayah Rakhine.
Kehadiran ARSA itu sebetulnya tak mengagetkan-mengagetkan amat. Di wilayah manapun di dunia, represi berlebih selalu melahirkan kelompok penentang. Dan untuk menghadapi kekerasan yang disponsori pemerintah Myanmar pada Rohingya, ARSA menjadi jawabannya--meski mungkin tak secara bulat didukung oleh orang Rohingya sendiri.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, menghadapi kekerasan dengan kekerasan tentu bukan solusi pilihan pertama. Dan melihat tendensi pemerintah Myanmar yang sama tidak menjanjikannya dalam menyelesaikan masalah ini, harapan kemudian ditumpahkan pada mereka yang dirasa punya otoritas lebih tinggi: dari mulai Tuhan yang Maha Esa, PBB, sampai ASEAN.
Sayangnya, menyebutkan nama terakhir punya segudang masalahnya tersendiri. Maka, sebelum menuntut terlalu banyak dari ASEAN, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu sikap dan polemik dalam entitas internasional satu ini.
Peringatan HUT ke-50 ASEAN (Foto: Yudhistira Amran/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peringatan HUT ke-50 ASEAN (Foto: Yudhistira Amran/kumparan)
Berbeda dengan Uni Eropa, ASEAN bukanlah badan supranasional bagi negara-negara anggotanya. Sepuluh negara yang menjadi anggotanya sedari awal memang tidak memberikan sebagian kedaulatannya untuk diatur oleh semacam “Dewan ASEAN” yang lebih tinggi, sebagaimana negara Eropa ke European Council.
ADVERTISEMENT
ASEAN juga punya beberapa prinsip yang membuatnya justru tak mampu bergerak banyak. Yang paling utama adalah kebijakan non-interference, yang dijadikan salah satu syarat utama oleh Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura saat kelima negara tersebut membentuk ASEAN pada 1967.
Ada empat prinsip utama ASEAN, yaitu 1) penyelesaian masalah dengan cara damai; 2) penghindaran penggunaan kekuatan bersenjata; 3) prinsip non-interference; dan 4) pembuatan kebijakan secara konsensus. Keempat prinsip ini kemudian diletakkan secara lebih terstruktur pada Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) di 2003 dan selanjutnya lewat ASEAN Charter pada 2008.
Selain prinsip pembentukan kebijakan secara konsensus, tiga prinsip sebelumnya secara umum menggarisbawahi satu hal: negara satu tak boleh semena-mena pada negara lainnya, semuanya harus diselesaikan dengan baik-baik dan tanpa kekerasan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, kebijakan non-interference justru menjadi prinsip yang menghalangi ASEAN untuk bertindak lebih jauh pada masalah internal mereka sendiri.
KTT Asean di Manila, Filipina (Foto: Dok. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)
zoom-in-whitePerbesar
KTT Asean di Manila, Filipina (Foto: Dok. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)
Katakanlah, permasalahan kemanusiaan di Timor Timur pada 1999 dan Gerakan Aceh Merdeka di 1999-2005. Ada pula konflik Mindanao-Filipina yang sudah terjadi sejak 1997 dan masih terus menyisakan letupan-letupan kecil sampai kini. Masih ada pula kasus kudeta di Thailand (2006), dan pemberontakan di selatan Thailand (mulai 2003).
Konflik-konflik tersebut dinilai sebagai konflik internal, dan ASEAN dianggap tak seharusnya ikut campur.
Meski begitu, tak seterusnya ASEAN diam saat terjadi krisis/konflik di negara anggotanya. Terhitung, cuma dua kali ASEAN mengintervensi permasalahan dalam negeri negara anggotanya. Pertama, dalam kasus kudeta Kamboja pada1997, dan kedua, pada kasus Aung San Suu Kyi sejak 1997-2007.
ADVERTISEMENT
Jumlah studi kasus memang sedikit, dan ada beberapa hal yang menjadi alasannya.
Pengungsi Rohingya (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: Reuters)
Pertama kali ASEAN ikut campur dalam permasalahan dalam negeri negara anggotanya adalah saat terjadi kudeta di Kamboja pada 1997. Saat itu, Kamboja memiliki sistem politik dengan dua perdana menteri yang diatur dan disupervisi oleh PBB setelah pemilihan umum pada 1993.
Masalah hadir ketika Perdana Menteri Kedua, Hun Sen, dari Partai Rakyat Kamboja (CPP), menyingkirkan Perdana Menteri Pertama, Norodom Ranaridh, dari Partai Royalis (FUNCINPEC). Pada kudeta berdarah itu, lebih dari 100 orang yang kebanyakan dari FUNCINPEC dan tentara kerajaan tewas.
Kejadian itu berlangsung saat Kamboja tengah mendaftarkan diri sebagai negara anggota ASEAN. Awalnya, ASEAN menolak ikut campur dan tak mau memberikan sikap resmi atas konflik itu.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, sikap ASEAN berubah tak lama kemudian. Dalam pertemuan menteri luar negeri negara-negara ASEAN pada Juli 1997, mereka memutuskan untuk menunda proses masuknya Kamboja ke ASEAN sebelum konflik kudeta di negaranya berhenti.
Intervensi lain juga dilakukan: ASEAN mengirimkan delegasi yang terdiri dari menteri luar negeri Indonesia, Thailand, dan Filipina ke Kamboja untuk memediasi pihak Hun Sen dan Norodom.
Mengapa ASEAN berubah pikiran? Hal tersebut --sederhananya-- terjadi karena negara-negara besar yang menjadi partner dagang utama dengan ASEAN macam Amerika Serikat, negara Uni Eropa, dan Jepang, terus menggunakan pengaruh ekonominya dan mendesak ASEAN untuk turun tangan di Kamboja.
Kasus kedua intervensi ASEAN, ironisnya, adalah untuk menyelamatkan Aung San Suu Kyi yang kini diam saja melihat masalah Rohingya.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, Myanmar tengah dipimpin oleh junta diktator sejak 1989. Pemerintahan diktator ini enggan menyerahkan kuasa politik ke partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi, yang pada 1990 memenangkan pemilihan nasional. Malah, Suu Kyi dikenakan tahanan rumah dari 1989 hingga 1995; 2000 hingga 2002; dan 2003 hingga 2007.
Joko Widodo bertemu Aung San Suu Kyi (Foto: Dok. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)
zoom-in-whitePerbesar
Joko Widodo bertemu Aung San Suu Kyi (Foto: Dok. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)
Tak seperti Kamboja, Myanmar bisa masuk menjadi anggota ASEAN pada 1997 meski muncul keberatan dari AS dan Uni Eropa terkait catatan buruk hak asasi manusia dan demokrasi Myanmar. Waktu itu, pertimbangan ASEAN untuk tidak menunda masuknya Myanmar didasari atas ketakutan bahwa Myanmar akan mendekat ke China --padahal, Myanmar punya sumber daya alam yang mantap dan potensi pertumbuhan ekonomi yang kuat.
ADVERTISEMENT
Cerita berubah saat Suu Kyi dikenai hukuman tahanan rumah untuk ketiga kalinya pada 2003. Gara-gara itu, negara-negara Barat kembali unjuk kekuatan dengan menekan ASEAN untuk segera menyelesaikan masalah Suu Kyi. Contohnya, Uni Eropa memboikot segala pertemuan dan kerjasama dengan ASEAN apabila ada Myanmar di situ. AS juga menghentikan pembahasan perdagangan bebas dengan ASEAN untuk menekan satu-satunya organisasi regional yang berhasil di Asia itu.
Ketika tak ada kemajuan berarti dalam proses menekan junta Myanmar ini, AS dan negara-negara Uni Eropa ganti mengancam untuk tidak menghadiri ASEAN Summit 2006 yang dituanrumahi oleh Myanmar. Hasilnya efektif. Negara-negara kuat ASEAN macam Malaysia, Singapura, dan Indonesia terus menekan Myanmar untuk melepas posisi ketua ASEAN yang memang digilir tiap tahunnya itu.
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
Dari pemetaan intervensi-atau-tidaknya ASEAN ke negara anggota, tampak ada dua faktor penting yang amat memengaruhi keputusan ASEAN. Pertama, besar-tidaknya negara yang mengalami konflik tersebut.
ADVERTISEMENT
ASEAN sampai saat ini tidak pernah melakukan intervensi terhadap lima negara pendiri ASEAN, yaitu, Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Kebetulan, lima negara tersebut juga memiliki kekuatan ekonomi paling besar di antara negara-negara lainnya, dus, paling berpengaruh.
Alasan kedua, kehadiran tekanan dari negara-negara besar dunia yang menjadi partner utama ASEAN.
Konflik Myanmar sendiri punya satu dari dua faktor tersebut. Myanmar, seperti di awal dekade 2000-an, masih negara sekunder ASEAN apabila dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Meski tak masif, dorongan dari luar negeri macam AS juga sebetulnya sudah hadir menyuarakan Myanmar agar lebih terbuka terhadap pemeriksaan pelanggaran HAM di Rohingya.
Akankah dua resep ini bisa membawa ASEAN tak lagi diam melihat konflik Rohingya? Kita tunggu saja. Semoga sebelum semua terlambat.
ADVERTISEMENT