Bali, Benoa, dan Perjalanannya Menuju “Kehancuran”

18 April 2017 9:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Turis berjalan di pinggir Pantai Bali. (Foto: Reuters/Nyimas Laula)
Mendengar kesaksian para pelancong Bali di era 70-80an menyadarkan banyak pihak, bahwa dalam 30 tahun saja, Bali yang asri, hijau, dan kudus beralih menjadi sebuah situs wisata metropolitan yang bising dan sesak.
ADVERTISEMENT
“Saya merindukan wajah Bali yang dulu, tidak ramai dan sesak seperti sekarang,” ujar Clifford White, fotografer profesional dari Australia. Ia pernah menghabiskan lima minggu di Bali pada tahun 1977, mengabadikan rupa ayu Bali yang masih otentik.
“Ya, Bali tidak lagi ramah. Semua hotel tempat kami tinggal (sekarang) memang cantik, tapi sekali anda pergi ke luar, kondisi jalan sangat mengerikan,” kata White, menyesalkan wujud Bali di tahun 2011 kala ia kembali ke sana. [Baca ]
Bandara Bali dari atas langit pada tahun 1977 (Foto: Dok. Clifford White)
White yang tahu bentuk awal Bali merasa rindu. Lawatan lanjutannya 34 tahun kemudian, tahun 2011, menyadarkannya bahwa harga yang dibayar untuk modernisasi dan pengembangan fisik Pulau Bali terlalu mahal. [Baca ]
ADVERTISEMENT
“Tentu saja Bali era 70-an adalah pulau indah yang masih otentik, dan kini sebagian besar (wilayahnya) berubah menjadi tempat yang kacau. Saya lebih suka mengingat tempat dan orang-orang saat itu, yang kemudian kemurniannya hilang ketika melihat Kuta yang penuh sesak hari ini,” ujar White.
Kembali ke masa itu? Yang benar saja, White.
Kondisi Pantai Bali yang penuh sesak (Foto: Reuters/Beawiharta)
Saat ini, Bali telah (dan masih) menjadi primadona wisata Indonesia --dan dunia. [Baca: ]
Konsekuensinya jelas: pembangunan dan pengembangan kawasan hanya berpatokan pada maksimalisasi komersialisasi dan banyak sedikitnya pundi-pundi uang yang hadir.
Bayangkan saja, Bali yang hanya punya 500 kamar penginapan di akhir tahun 70-an, kini dipenuhi 54.824 kamar yang tersebar di berbagai destinasi wisata di seluruh provinsi. Naik 110 kali lipat dalam jangka waktu 35 tahun.
ADVERTISEMENT
Walau dengan angka itu pun, tak ada tanda-tanda Bali akan berhenti mempersolek diri membangun hotel, resor, dan bangunan-bangunan serupa. Bahkan, kegiatan-kegiatan tersebut sering terlihat dipaksakan meski telah mendapat tentangan dari warga lokal.
Yang paling jelas adalah proyek reklamasi Teluk Benoa. Proyek senilai 15 miliar dolar AS tersebut rencananya akan mengubah teluk di selatan Bali tersebut menjadi daratan seluas 800 hektare.
Polemik Hukum
Rencana pembangunan megaproyek reklamasi Benoa dipresentasikan tahun 2012 dan langsung menuai kontroversi. Pada 2012, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika mengeluarkan SK Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa.
Isi dari surat keputusan tersebut adalah memberikan izin reklamasi kepada PT. Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI) di kawasan perairan Teluk Benoa, Kabupaten Badung, seluas 838 hektare. Nantinya, di kawasan tersebut akan dibangun 12 pulau artifisial yang menjadi kawasan wisata.
ADVERTISEMENT
Reklamasi Teluk Benoa melibatkan dana investasi dalam jumlah besar, disebut sebagai proyek pembangunan terbesar di Bali. Selusin pulau buatan yang direncanakan dibangun bakal dilengkapi dengan vila, pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, gedung perkantoran, dan taman. Benoa, nantinya, akan menjadi zona eksklusif nan mewah.
PT TWBI, sang pengembang reklamasi Benoa, adalah bagian dari perusahaan Artha Graha milik Tommy Winata, seorang pengusaha kelahiran Pontianak yang telah lama bergerak di bidang perbankan, properti, dan infrastruktur.
Protes muncul. Surat Keputusan soal Benoa dinilai melanggar peraturan yang ada di atasnya, yaitu Peratuan Presiden Nomor 45 Tahun 2011. Pada perpres yang mengatur soal tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) tersebut, pemerintah menyebut perairan Tanjung Benoa sebagai wilayah konservasi.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi idealnya adalah, kawasan tersebut tak bisa dikomersialkan menjadi bentuk bisnis, apalagi menjadi gugusan pulau-pulau yang menggantikan kekayaan bahari Teluk Benoa itu sendiri.
Setahun kemudian, Gubernur Bali kembali mengeluarkan surat keputusan. Kali ini ia menerbitkan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali.
Surat keputusan ini sekilas membatalkan surat keputusan sebelumnya, dengan cara mengakomodasi kemauan masyarakat atas butuhnya studi kelayakan. Meski begitu, ForBALI menolak anggapan tersebut.
Aliansi masyarakat sipil Bali yang menolak kebijakan reklamasi Teluk Benoa itu menganggapnya sebagai langkah yang tak menyelesaikan polemik reklamasi. Surat keputusan tersebut hanya memerintahkan kepada PT TWBI untuk melakukan studi kelayakan. Meski SK sebelumnya dibatalkan, SK baru ini hanya menunda jalannya proyek reklamasi dan hanya sebatas revisi dari SK sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Poin-poin yang mewajibkan PT TWBI untuk menggandeng perguruan tinggi setempat pun, menurut ForBALI, dilakukan PT TWBI dengan cara menggandeng pihak-pihak yang pro semata. Sementara LSM seperti ForBALI tidak pernah diikutkan dalam studi kelayakan.
Mereka juga melihat bahwa kedua SK yang diterbitkan oleh Gubernur Bali tersebut tetap saja melanggar Perpres Nomor 45 Tahun 2011.
Teluk Benoa (Foto: http://terraceatkuta.com)
Baru pada tahun 2014 arus permainan berganti. Sebelum turun dari jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi kado “manis” untuk para investor dengan mengeluarkan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 45 Thn 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita.
Inti perpres baru ini adalah mengubah status konservasi Teluk Benoa menjadi zona penyangga atau kawasan pemanfaatan umum. Sederhananya, dengan terbitnya perpres tersebut perairan Teluk Benoa bukan lagi termasuk dalam wilayah konservasi, dan karenanya boleh dikembangkan dan dimanfaatkan secara komersial.
ADVERTISEMENT
Hal itu masih disusul dengan penerbitan izin lokasi reklamasi Nomor 445/MEN-KP/VIII/2014 dari Menteri Kelautan dan Perikanan pada Agustus 2014.
Pro dan Kontra
Selain kritik atas landasan hukum pembangunan proyek tersebut yang kontroversial dan terkesan dipaksakan, para pemerhati lingkungan menyoroti akibat yang ditimbulkan dari pembangunan megaproyek tersebut.
Sudah berkali-kali demonstrasi besar-besaran digelar di berbagai wilayah di Bali. Masyarakat menyuarakan ketidaksetujuan mereka atas reklamasi Benoa.
“Tidak ada orang Bali, kecuali mungkin pejabatnya, yang setuju dengan reklamasi Benoa,” kata Wayan Mudi, seorang warga Denpasar, Bali.
Sementara pemerintah daerah Bali memilih bersisian dan mendukung jalannya proyek yang tinggi nilai komersialnya tersebut.
Dukungan pemerintah tercermin jelas dari pernyataan-pernyataan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Baginya, klaim aktivis lingkungan bahwa proyek tersebut akan menyebabkan banjir, tak masuk diakal.
ADVERTISEMENT
"Jika permukaan laut tidak naik, (air) tidak akan naik drastis,” ujarnya seperti dilansir Deutsche Welle.
Ia juga menjelaskan bahwa dari proyek ratusan hektare tersebut, separuhnya akan menjadi hutan mangrove, baru sisanya digunakan sebagai fasilitas umum dan wahana rekreasi komersial.
"Di bagian lain dunia, negara-negara lain juga melaksanakan proyek reklamasi. Singapura terus reklamasi tanah, Belanda bahkan reklamasi seluruh provinsi. Apa mereka tenggelam? Tidak," tambah Pastika, menyodorkan argumen.
Ia justru yakin bahwa proyek Benoa dan hutan mangrove yang menyertainya akan berguna buat lingkungan Teluk Benoa ke depannya, misalnya dalam menghalau tsunami.
Tetap saja, protes bermunculan. Bagi pemerhati dan aktivis lingkungan, reklamasi Teluk Benoa lebih banyak memberikan akibat daripada guna kepada Pulau Bali.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari situs resminya, ForBALI menyatakan bahwa proyek tersebut buruk bagi lingkungan hidup Teluk Benoa. Yang pertama, soal vegetasi mangrove di kawasan Benoa yang dinilai sensitif terhadap sedimentasi (pendangkalan). Pembangunan pulau-pulau baru itu jelas akan mempercepat proses sedimentasi dan bahkan berpeluang menyebabkan banjir.
ForBALI bahkan mengklaim, jika Teluk Benoa diguyur hujan selama 4 jam, akan ada kenaikan air laut setinggi 0,4 meter yang berarti daerah-daerah seperti Tanjung Benoa, Semawang, dan Sanur akan terendam banjir.
Pantai Sanur, Bali. (Foto: Anggi Kusumadewi/kumparan)
Lalu apa yang telah dilakukan?
Gubernur Bali telah mengatakan ingin permasalahan ini cepat selesai.
"Harus ada kepastian, apakah (reklamasi) ini akan dilanjutkan atau tidak. Karena kewenangan untuk Perpres (Peraturan Presiden) itu adalah di Presiden. Bukan di saya," ujarnya dikutip dari Berita Bali. Ia jelas menyerahkan kelanjutan proyek tersebut --seperti amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) dan izin pembangunan-- ke presiden.
ADVERTISEMENT
PT TWBI sendiri mengklaim perusahaannya mengikuti prosedur dan peraturan terkait rencana reklamasi Teluk Benoa. TWBI juga siap menyempurnakan amdal hingga dianggap lengkap.
Sementara itu, apa kata Presiden Joko Widodo? Kata-kata Jokowi tentang protes masyarakat terhadap reklamasi Teluk Benoa, seperti diceritakan Made Mangku Pastika di bawah ini, bisa menjadi tolak ukurnya.
“[...] Ini demo besar-besaran yang bayar siapa? ‘Saya tidak tahu,’ saya bilang begitu. Beliau yang tanya sama saya loh, ‘Pak Gub, ini yang bayar siapa?’ Saya bilang, saya gak tahu Pak,” ujar Pastika mengulangi percakapannya dengan Jokowi.
Ya, sudahlah.