Butet Kartaredjasa: Saya Nderek Gus Dur

3 Desember 2017 22:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pameran tunggal Butet Kertaradjasa (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pameran tunggal Butet Kertaradjasa (Foto: Ulfa Rahayu/kumparan)
ADVERTISEMENT
Butet Kartaredjasa menampilkan 138 lukisan dalam pameran seni rupa perdana berjudul Goro-Goro Bhinneka Keramik. Pameran lukisan keramik itu dibuka pada 30 November, dan akan terus digelar hingga 12 Desember 2017 di Galeri Nasional Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, Butet sebagai pencipta karya seni yang dipamerkan sendiri, bukanlah nama yang diidentikkan dengan karya seni lukis. Ia biasa diidentikkan sebagai rajanya monolog, pemeran teater, aktor film, atau bahkan pelawak dalam sebuah program televisi yang tayang tiap minggunya.
Namun, kali ini Butet mengambil jalur lain. Jalur yang, disebutnya, menjadi “...terminal awal dari perjalanan saya untuk kembali untuk menziarahi masa lalu saya.”
Butet Kartaredjasa dan Goro-Goro Bhinneka Keramik (Foto: Tomy Wahyu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Butet Kartaredjasa dan Goro-Goro Bhinneka Keramik (Foto: Tomy Wahyu/kumparan)
Ia mempersiapkan pameran ini dalam 3 tahun. Itu termasuk menciptakan karya, melobi pihak tempat pagelaran, proses finalisasi sponsor dan pendanaan, hingga memastikan peletakan dan display yang mantap hingga apa yang ingin disampaikannya dalam pameran nanti tercapai.
“Ribet. Kayak mau ngunduh mantu lagi,” ucapnya separuh ketawa.
Butet Kartaredjasa. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Butet Kartaredjasa. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Sebenarnya, yang membikin pameran ini tambah menarik adalah tema dan bahasan yang diangkat oleh Butet sendiri.
ADVERTISEMENT
Di bawah tema besar Goro-Goro Bhinneka Keramik, ia mengangkat optimisme rakyat lewat tema kebhinekaan; menjelaskan keadaan yang genting lewat tema goro-goro dan tolak bala; mengutuk keadaan mencemaskan lewat Panakawan Unfriend; mengangkat pertanda yang mengancam lewat tema Petruk Dadi Ratu; dan yang paling menyejukkan, menonjolkan sosok Wong Suci sebagai mesiah di antara semuanya.
“Gus Dur itu Wong Suci. Dia termasuk orang istimewa yang ada dalam sejarah saya,” ucap Butet saat berbincang di kantor kumparan, Senin (27/11).
Sedemikian berkesannya Gus Dur bagi Butet Kartaredjasa, ia memberikan satu bab dan bagian khusus dari pertunjukannya nanti untuk mengingat kembali betapa penting sosok Gus Dur dalam kehidupannya.
Dalam sebuah foto, berlatar belakang lukisan Gus Dur yang bertelanjang dada tengah naik surga, Butet menuliskan, “Aku nderek Gusdur.” Saya ikut Gus Dur.
ADVERTISEMENT
Wah, ikut bagaimana, Mas Butet?
Mengapa Gus Dur? Pertama, saya mengidolai beliau. Saya senang (dengan) beliau. Saya banyak belajar secara tidak langsung dari pemikiran-pemikiran beliau, dan dia termasuk orang istimewa yang ada dalam sejarah saya. Saya menyebutnya Wong Suci.
Apa yang membuatnya jadi Wong Suci, Orang Suci itu? Ia tokoh toleran di negeri ini yang luar biasa, inspirasi yang luar biasa untuk menghormati kemajemukan kita, pemberani, pembela kebenaran, pembela minoritas. Ya Wong Suci, menurut saya.
Di rumah saya ada satu lukisan Gus Dur dalam posisi yang seperti saya gambarkan itu, dilukis oleh kawan saya Sigit Santosa, Gus Dur Naik Surga. Gus Dur dalam posisi Kristus Raja, sedang melayang menuju surga.
ADVERTISEMENT
Nah, ikon itu yang saya kembangkan dalam karya-karya saya ini. Dan semua saya kasih judul, Wong Suci. Jadi, Gus Dur misalnya berdiri di pucuk belahan rembulan. Gus Dur berada di persimpangan, dia berada di satu salib dalam posisi kristus raja. Gus Dur hadir di antara letusan magma sebuah gunung. Saya kasih judul Wong Suci Dihantar Energi. Saya bikin Gus Dur bersayap, saya kasih judul, Gus Dur Mengangkasa.
Saya punya kesan tersendiri secara personal kepada pribadi tokoh ini. Dan saya begitu hormat, begitu mengagumi, maka saya mencoba menerjemahkan pikiran saya itu di dalam karya visual ini.
Bukannya yang sampeyan sebut Wong Suci itu, juga banyak kelemahannya? Saya tidak mempedulikan, andaikan ada kelemahan dan lain tidak ada urusannya. Saya betul-betul mendapatkan satu inspirasi dari sosok ini. Begitu hormatnya saya. Saya mengidolai total.
ADVERTISEMENT
Gus Dur bicara banyak soal kemajemukan. Apa gentingnya masalah itu terbukti sekarang ini? Kita tahu hari ini bagaimana kebhinekaan kita sedang terancam. Kita berada dalam situasi ketar-ketir ketika kebhinekaan kita itu dikoyak. Pilkada DKI kemarin sudah membuktikan itu. Betapa kejahatan terhadap kebhinekaan itu sedang terjadi dan akan terus terjadi setidaknya sampai 2019 nanti. Tugas kita yang masih punya akal sehat adalah merawat kesadaran kita akan kebhinekaan.
Jadi kalau misalnya karya saya dimaknai menjadi bagian ikhtiar kita bersama merawat kebhinekaan, ya memang itu. Itu saya pikir menjadi kewajiban kita bersama, tugas kita bersama untuk saling mengingatkan betapa pentingnya kita untuk saling bertoleran. Meskipun sejumlah pihak di sana-sini sedang merongrong kebhinekaan kita.
ADVERTISEMENT
Tapi orang mengklaim “baik-baik saja” kok. Baik-baik aja gimana, anggaran DKI sedang dirancang untuk dirampok secara kolektif. Masa kayak gitu baik. Itu yang harus terus diingatkan. Jadi kita harus tetap menjaga kewarasan dan akal sehat kita. Terbukti kan semuanya kemarin bahwa, kemenangan itu diraih dengan cara memecah belah kita. Itu fakta.
Kalau kita masih punya akal sehat, kita punya kewarasan, kita punya penghormatan kepada sejarah kita, ya mau tidak mau kita harus berada dalam kesedaran akal sehat itu. Jangan sampai kita mengkhianati para leluhur bangsa ini yang dengan susah payah mendirikan indonesia dengan semangat kebhinekaan. Sumpah pemuda itu puncak kebudayaan kita. Itu harus kita jaga betul. Justru karena kemajemukan kita menjadi sebuah bangsa.
ADVERTISEMENT
KTP saya asli Jogja. Tapi kan saya ngeliat Pilkada DKI itu bukan sekadar DKI-nya. Itu kan semacam latihan. Latihan untuk menghancurkan keindonesiaan kita di tingkat nasional 2019 nanti. Saya memaknainya seperti itu. Jadi sekarang ini semakin tergerak untuk, untuk selalu menggedor kesadaran orang tentang semangat bertoleransi.
Serial pertunjukan saya Indonesia Kita yang selalu kami mainkan di Taman Ismail Marzuki, namanya aja Indonesia Kita. Tagline kami adalah jangan pernah kapok menjadi Indonesia. Itu kesadaran penuh bahwa ini menyadari keindonesiaan melalui jalan kebudayaan. Panggilan pribadi untuk memberikan andil dikit aja untuk merawat kebhinekaan. Hendaknya, orang-orang yang punya akal sehat, punya kesadaran kebangsaan melakukan hal yang sama.
Lalu bagaimana melawannya? Bukan melawan, kita mengimbangi. Mengimbangi membangun kesadaran bersama, melawan ya kok kayak kurang kerjaan aja. Karena kita punya kesadaran, kita mengimbangi. Kalau nggak ada orang yang mengerjakan untuk menciptakan perimbangan itu, itu sangat berbahaya.
Butet Kartaredjasa di Bincang kumparan (Foto: Tomy Wahyu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Butet Kartaredjasa di Bincang kumparan (Foto: Tomy Wahyu/kumparan)
ADVERTISEMENT