Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kasus Fidelis Ari Sudarwoto dan Yeni Riawati memang tragis. Sepasang laki-bini yang gigih berjuang melawan kesendirian itu pada akhirnya harus takluk di ujung hunus pedang sang nasib: sedang Ari ditangkap Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Yeni juga harus meninggal karena terhentinya pengobatan yang diupayakan suaminya selama ini.
ADVERTISEMENT
Keadaan Yeni yang didera Syringomyelia sempat membaik karena ekstrak ganja yang ditanam suaminya. Namun ketika Ari ditangkap, semua pengobatan berhenti.
Apa yang dilakukan Ari, dengan membudidayakan ganja demi kesehatan istrinya, memang mengundang dilema banyak pihak. Sementara kita tahu bahwa ganja adalah barang yang (sampai saat ini) jelas dilarang hukum, upaya budidaya yang berlandaskan upaya penyelamatan istrinya membuat aksi Ari juga tak surut mendapat dukungan.
Penangkapan terhadap orang yang menggunakan ganja dengan tujuan medis bukan terjadi kali ini saja. Bahkan tak hanya di Indonesia yang jelas-jelas dilarang. Pengguna ganja medis di negara-negara lain pun kerap menjadi korban ganjilnya penegakan hukum di suatu negara.
Di Texas, AS, misalnya. Seorang kakek ditangkap pihak kepolisian dengan tuduhan kepemilikan narkotika, yaitu ganja. Phillip Blanton, seorang kakek berumur 67 tahun ditahan selama semalam karena membawa beberapa buah ganja medis dan marijuana cookies, kue kecil yang punya kandungan ganja.
ADVERTISEMENT
Penangkapan pada 11 Januari 2017 tersebut terjadi saat Blanton hendak menjenguk cucunya di Texas yang tengah menjalani kemoterapi akibat kanker ganas. Blanton berangkat dari California menggunakan mobil dan menyimpan paket ganjanya di bagasi. Ia, yang telah 10 tahun menjalani perawatan medis menggunakan ganja membawa kue ganja tersebut untuk cucunya.
“Saya adalah seorang kakek, makanya saya berpikir layaknya seorang kakek. Saya pikir, ‘Saya ingin meringankan beban cucu saya,’ maka saya pikir kue tersebut akan baik buatnya. Kue itu akan membantunya menghentikan perasaan mual, pusing, dan muntah-muntah akibat kemoterapi yang dijalani cucu saya,” jelas Blanton soal paket ganjanya, dikutip dari Fox6Now .
Padahal dalam perjalanannya tersebut, Blanton membawa kartu medis yang menjadi izin penggunaan ganja untuk medis. Meski begitu, kepolisian Texas tetap menangkap dan menahannya. California, tempat asal Blanton, memang telah melegalkan penggunaan ganja baik untuk medis maupun rekreasi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Texas yang menjadi tempat tujuannya baru melegalkan ganja untuk perkara medis saja. Itu pun dengan prosedur yang jauh lebih rumit dibanding negara bagian AS lainnya. Blanton sendiri baru bebas setelah keluarganya membayar jaminan sebesar 20 ribu dolar AS kepada kepolisian Texas.
Selain kejadian di Texas, penangkapan terhadap pengguna ganja medis juga terjadi di Halifax, Kanada. Dalam kejadian di tahun 2015, rumah Bob Dillman dan istrinya digeledah oleh pihak kepolisian atas kepemilikan dan pembudidayaan ganja. Padahal, hal tersebut sudah mereka lakukan bertahun-tahun dengan izin yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Kanada. Barang bukti yang ditemukan kemudian disita, meski Dillman dan istrinya tidak langsung ditahan.
Pada Maret 2015, Kanada menolak perpanjangan izin produksi ganja Dillman dan menyuruhnya untuk membeli produk ganja dari produsen yang memang telah disetujui pemerintah. Meski begitu, Dillman mengaku akan memilih dipenjara ketimbang tidak membudidayakan ganjanya sendiri.
ADVERTISEMENT
“Saya tidak mampu membelinya. Saya harus menanamnya sendiri, saya tidak punya pilihan lain,” katanya dilansir Huffington Post Canada . Ia merasa ganja yang resmi dijual terlalu mahal, sementara tubuhnya tidak mampu menahan efek samping dari obat-obatan kimia. Dillman sendiri menggunakan ganja untuk alasan medis tubuhnya yang memiliki riwayat peradangan pada persendiannya dan penyakit kronis lain.
Selain dua kasus tersebut, masih banyak lagi kasus penangkapan pengguna ganja untuk alasan medis. Misalnya saja Kris Lewandowski, seorang veteran militer di AS yang menggunakan ganja untuk mengurangi efek Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)-nya akibat peperangan. Selain itu, ada pula kasus Kettle Five, di mana sebuah keluarga di Washington ditangkap akibat menanam ganja untuk pengobatan anak mereka. Ada pula kasus di Minnesota, di mana seorang anak ditangkap akibat mengantarkan ganja medis ayahnya yang tengah sekarat di rumah.
Kasus-kasus tersebut terjadi di negara seperti AS, yang di beberapa negara bagiannya telah melegalkan penggunaan ganja. Bagaimana di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Penangkapan akibat penggunaan ganja untuk medis belum banyak terjadi di Indonesia. Kasus Ari-Yeni menjadi yang teranyar yang menarik perhatian khalayak. Dorongan untuk legalisasi ganja pun terus ada, meski tidak cukup besar. Banyaknya kasus budidaya ganja ilegal untuk dikonsumsi sebagai candu membuat kampanye legalisasi ganja untuk kebutuhan khusus dipandang skeptis di Indonesia.
Dalam empat bulan terakhir saja, setidaknya ada 5 kasus penangkapan budidaya ganja yang dilakukan secara ilegal. Kasus tersebut dilakukan oleh pemandu wisata yang menanam ganja di kamar kosnya di NTB, Januari lalu; juga kasus warga Riau yang ditangkap polisi akibat menanam ganja di pot belakang rumahnya, awal Januari 2017; juga kasus warga Wonogiri, Jawa Tengah yang ditangkap akibat kasus yang sama akhir Januari lalu; sampai seorang Ketua RT di Bogor yang ditangkap akibat membudidayakan ganja di rumahnya, Februari 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus ini, tentu saja, semakin menguatkan pendirian tegas Pemerintah Indonesia menolak usulan legalisasi ganja yang isunya sudah muncul sejak 2013 lalu. Hal itu sempat ditegaskan oleh Wakil Direktur Kejahatan Transnasional, Kementerian Luar Negeri RI, Spica Tutuhatunewa. Ia mengatakan bahwa Indonesia akan tetap memegang teguh Konvensi 1961 dan menolak legalisasi ganja.