Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Ibu Tien, Ia yang Membuat Pak Harto Bertekuk Lutut
28 April 2017 10:00 WIB
Diperbarui 30 April 2020 7:53 WIB
“Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Pak Harto.”
Perkataan itu diucapkan sendiri oleh Pak Harto, menekankan pentingnya Siti Hartinah dalam hidupnya.
Entah tulus atau berkata manis saja, nyatanya sampai akhir hayat Pak Harto memang memilih bersetia pada Bu Tien.
Di balik ratusan kontroversi dan masalah yang nyata membuat dia jadi dalang di balik perkara, Pak Harto hampir tak pernah bermasalah soal perempuan.
Agaknya, ancaman “pemberontakan yang terbuka” itu benar sedemikian menyeramkannya bagi Pak Harto.
Tidak berlebihan, memang. Keduanya, Pak Harto dan Bu Tien, membangun kejayaan dari nol. Bahkan awalnya, Pak Hartolah yang sempat minder dengan Bu Tien.
Saat bibinya, Ibu Prawiwihardjo—yang menjadi keluarga angkat Soeharto—menyodorkan nama Siti Hartinah untuk ia nikahi, Soeharto yang ketika itu masih berusia 26 tahun, takut ditolak.
“Apa dia akan mau?” tanya Soeharto ke bibinya.
“Apa orang tuanya akan memberikan? Mereka orang ningrat. Ayahnya wedana, pegawai Mangkunegaran,” kata Soeharto muda, mengeluh.
Dan ketakutan Soeharto memang terjustifikasi. Saat itu, meski sudah berpangkat Letnan Kolonel, Soeharto hanyalah keturunan petani biasa asal Bantul, Yogyakarta. Sementara orang Jawa selalu memandang kedekatan dengan keraton sebagai sesuatu yang luar biasa.
Upaya perjodohan dilangsungkan. Siti Hartinah, yang sebelumnya telah menolak banyak pinangan, melihat prajurit muda itu “cakep dan ganteng”.
“Pada suatu malam saya bermimpi bertemu dengan seorang tentara, seorang prajurit memakai mantel atau semacam jaket. Saya dirangkul dan kemudian mengenakan jaketnya kepada saya,” ucap Bu Tien ihwal mengapa ia menolak banyak pinangan sebelum Pak Harto.
Syahdan, Soeharto dengan sedan dinas De Soto menyusul Siti Hartinah ke Solo. Pernikahan mereka berlangsung bernaung temaram cahaya lilin sore hari. Tak megah, tak meriah.
Hanya beberapa anggota keluarga Bu Tien datang, sementara Soeharto hanya ditemani Sulardi, adik angkatnya.
Sejak saat itu, Bu Tien selalu mengikuti ke mana Pak Harto berada. Dari Solo, berpindah ke Yogya, Semarang, Bandung, hingga Jakarta. Termasuk ketika Indonesia menghadapi malam paling jahanam sepanjang sejarah merdekanya: 30 September 1965.
Beberapa hari sebelum G30S berlangsung, Pak Harto dan Bu Tien tengah berada di Rumah Sakit Gatot Soebroto. Saat itu Tommy tengah dirawat.
Sebelumnya, Bu Tien dan Pak Harto tengah berada di rumah, hendak makan malam dengan menu sup kaldu tulang sapi kesukaan anak-anak mereka. Sial, Tommy, anak laki-laki terakhir dan kesayangan Pak Harto, berlari-larian menubruk Bu Tien yang sedang membawa panci panas berisi sup tersebut.
“Air sup tumpah dan mengguyur sekujur tubuhnya. Kulitnya terbakar dan melepuh-lepuh,” ucap Bu Tien seperti dikutip dari biografinya, Siti Hartinah: Ibu Utama Indonesia.
Tommy dirawat beberapa hari, sampai hari terakhir bulan September 1965. Namun meski putranya tengah berada dalam kondisi nahas, Bu Tien punya hal lain untuk dipikirkan.
Malam Jumat tanggal 30 September, ia dan Pak Harto masih menunggui Tommy di rumah sakit. Namun, pukul 12 ia memaksa Pak Harto untuk pulang ke rumah.
“Mamiek sendirian, umurnya baru setahun,” katanya.
Kebetulan hari itu tak ada yang menunggui Mamiek di rumah. Meski sudah terlelap, tetap saja Bu Tien tak tenang meninggalkan anak bungsunya itu.
Entah intuisi atau kebetulan, Pak Harto yang pulang ke rumah menemui kejutan tak menyenangkan. Bawahannya, Hamid dan Mashuri, melapor di pagi buta. Para jenderal diserang dan dibunuh.
Pada suatu malam, beberapa hari setelah G30S pecah, Pak Harto sempat tak kunjung pulang ke rumah. Bu Tien resah luar biasa, sampai-sampai Probosutedjo, adik tiri Soeharto yang tinggal bersama keluarga Pak Harto dan Bu Tien, dibuat kerepotan.
“Mbakyu Harto adalah seorang muslimah yang menganut pula paham kejawen. Dia punya kebiasaaan membuat sesajen pada hari-hari khusus,” ucap Probosutedjo.
Termasuk malam itu, ketika Pak Harto tak pulang-pulang dan entah di mana keberadaannya.
“Ketika suasana tegang menguasai hatinya lantaran Mas Harto tidak diketahui keberadaannya, Mbakyu Harto lalu berniat membuat sesajen dan melakukan doa-doa,” ucap Probosutedjo dikutip dari memoarnya, Saya dan Mas Harto, via Historia .
Probosutedjo mau-tak mau menuruti apa kata kakak iparnya. Ia keluar rumah dan membeli beberapa hal seperti kue tradisional, kopi, hingga bunga-bunga. Namun itu belum semua.
“Dik Probo, tolong carikan nasi kebuli. Saya perlu untuk sesajen,” pinta Bu Tien. “Saya waswas terus dengan kondisi Mas Harto,” imbuhnya.
Masalahnya, nasi kebuli sulit ditemukan di Jakarta malam hari tahun 1965. Probosutedjo yang kehabisan akal akhirnya membeli nasi Padang yang diberi kuah. Ia pikir, nasi Padang boleh juga.
Namun, murka Bu Tien harus ia hadapi setibanya ia di rumah dan menyerahkan barang-barang pesanannya itu.
“Ini nasi apa sih? Ini bukan nasi kebuli, tapi nasi Padang!” Bu Tien mengomel.
Untung saja beberapa saat kemudian, Bob—ajudan Pak Harto—datang ke rumah. Ia yang sebelumnya tak mau mengaku di mana Pak Harto berada, luluh juga ketika dibentak habis-habisan oleh Probosutedjo. Katanya, Pak Harto tengah berada di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, mengendalikan situasi.
Pengaruh Bu Tien dalam kehidupan Pak Harto tak terbantahkan. Bahkan ada rumor bahwa Bu Tienlah orang yang berada di balik terbitnya larangan poligami di kalangan Pegawai Negeri Sipil Indonesia.
Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan penyempurnaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, pemerintah mempersulit pegawai negeri untuk berpoligami. Secara khusus, dua PP tersebut mewajibkan pada PNS yang ingin memiliki istri lebih dari seorang, untuk mendapatkan izin dari pejabat-pejabat di atasnya.
Kesaksian soal pedulinya Bu Tien pada tingkah laku Pak Harto juga tercermin dalam penuturan mantan ajudan presiden itu, Eddie Marjuki Nalapraya. Ia yang saat itu hendak memancing dengan Pak Harto, dititipi pesan khusus dari Bu Tien.
“‘Jangan memancing ikan yang rambutnya panjang, ya!’ Begitulah pesan Ibu Tien kepada saya dengan tersenyum jenaka,” ucap Eddi dikutip dari biografi Pak Harto: The Untold Stories.
Keadaan sudah banyak berubah pada tahun 1996. Soeharto yang di awal hubungannya dengan Siti Hartinah hanya berpangkat Letkol, kini telah menjadi orang nomor satu di Indonesia yang telah memerintah selama 30 tahun.
Ketika di masa awal pernikahan, mereka berdua kerap berpisah karena harus berjuang di lapangan, pada hari nahas itu mereka terpisah karena menekuni hobi masing-masing: Pak Harto tengah memancing di Selat Sunda ditemani kapal perang TNI AU, sedangkan Bu Tien tengah berjalan-jalan di sentra pembibitan Taman Buah Mekarsari.
Sore itu tak biasa buat Pak Harto. Seperti pertanda, ia yang biasanya mendapatkan banyak tangkapan, hanya berhasil mendapat dua potong ikan selama memancing.
“Ini kok tidak seperti biasanya?” ujar Pak Harto mengeluh. Ia tak tahu dua hari setelahnya, ia akan kehilangan Bu Tien.
Diduga karena kecapaian berkebun di Mekarsari, pukul 04.00 pagi pada tanggal 28 April, Bu Tien mengalami kesulitan dalam bernapas. Ia langsung dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto. Ia dirawat langsung oleh dokter kepresidenan, Hari Sabardi.
Meski ditangani tenaga medis terbaik Indonesia, nasib berkata lain. Ibu Tien Soeharto , sekitar pukul 05.10, dinyatakan meninggal dunia.
“Piye to, kok ora bisa ditulung?” tanya Pak Harto, pelan—sadar ia telah kehilangan teman, pelindung, pendorong, sekaligus sumber kasekten alias kesaktiannya.
Saat jasad Bu Tien dibaringkan di rumah duka, Pak Harto hanya terduduk bersila, tampak tak sadar dan tak peduli akan peziarah yang berkunjung.
Ia tahu, mungkin, bahwa setelah kepergian perempuannya, yang ada hanyalah jalan turun, terjal, yang harus dilalui sendirian.