Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Terlepas baik atau buruk peran seorang Tien di mata sejarah, tak bisa dipungkiri bahwa ia punya arti penting dalam 32 tahun sejarah Indonesia, seperti halnya sang suami.
28 April 1996, Ibu Tien Soeharto berpulang. Perempuan itu mungkin tak diingat sesering sang suami. Namun “kesaktian”-nya dalam menopang kokoh Soeharto tak perlu dipertanyakan lagi.
Tien lahir di Jaten, sebuah desa kecil berjarak 10 kilometer di pinggir kota Solo, Jawa tengah, 94 tahun yang lalu.
Ia lahir pada hari Kamis, 23 Agustus 1923, saat malam sedang kelam dan wingit-wingit nya. Tangisnya yang pecah malam itu disebut-sebut mengakhiri masa mengandung ibunya yang mencapai lebih dari 12 bulan.
Setelah itu, dalam 72 tahun hidupnya yang panjang dan penuh dengan peristiwa, ia lebih dikenal sebagai istri seorang penguasa di Indonesia.
Tak hanya mendampingi sang suami, ia dikenal kerap turut menentukan keputusan-keputusan yang diambil lelakinya itu. Keputusan yang, mau-tak mau, menentukan jalan hidup republik ini.
Meski begitu, awal perjalanan hidupnya tak “semegah” yang orang-orang kira. Memang betul bahwa ia punya gelar bangsawan—Raden Ayu—karena masih keturunan Mangkunegara III dari garis silsilah ibunya. Tapi selain itu, kehidupan masa kecilnya mencerminkan kondisi Indonesia pra-kemerdekaan yang masih serbaterbatas.
Masa kecil Ibu Tien dihabiskan berpindah-pindah tempat, mengikuti gerak bapaknya yang seorang pamong praja dengan tempat dinas berpindah-pindah.
Setidaknya sampai umur 7 tahun, gadis kecil gemuk dengan lesung di kedua pipinya itu berpindah-pindah sampai empat kali: dari Jaten ke Jumapolo, lalu ke Matesih, Solo, dan Kerjo.
Ia bahkan pernah diangkat menjadi anak orang lain, yakni oleh Abdul Rachman, sahabat orang tuanya yang merupakan seorang polisi dari kota Solo.
Abdul Rachman dan istrinya tak memiliki anak, membuat KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo tak bisa menolak ketika anak perempuan mereka “diminta” oleh keluarga sahabat mereka itu.
Namun itu tak lama. Tinggal bersama Abdul Rachman di Solo, sang anak justru sakit-sakitan. Ia baru sembuh ketika dikembalikan ke orang tuanya di daerah Kerjo, Karanganyar.
Menjadi perempuan dengan kondisi bangsa yang tengah berada di bawah penjajahan tak memberikan Tien kecil banyak kesempatan untuk mengenyam pendidikan.
Beberapa kali, di kemudian hari, ia mengaku hanya menempuh bangku pendidikan hingga Sekolah Dasar Ongko Loro.
“Saya hanya bersekolah Ongko Loro. Karena orang tua saya kurang mampu, saya harus memberi kesempatan bersekolah kepada adik saya laki-laki,” kata Tien suatu masa.
Sekolah Ongko Loro tersebut dari namanya saja jelas berarti Sekolah Dasar dua tahun, sekolah lokal untuk pribumi Indonesia.
Meski begitu, ia sebetulnya sempat mencicipi bangku Hollandsch-Inlandsche School (HIS)—sekolah dasar untuk Belanda dan bangsawan bumiputera, bahkan sebanyak dua kali.
Pertama saat Tien menjadi anak angkat Abdul Rachman, walau akhirnya sekolahnya di HIS terhenti ketika ia harus kembali ke orang tua kandungnya.
Kedua, saat ia telah mulai remaja. Kala itu, Tien yang sempat tinggal bersama neneknya, kembali ke Solo untuk bersekolah di HIS Siswo hingga tahun 1933.
Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan memaksa perempuan kecil itu untuk terus berkarya di usia belia. Selain di sekolah dasar Ongko Loro dan HIS, ia juga menempa diri dengan belajar membatik dan les mengetik.
Bahkan saat Jepang datang ke Indonesia awal dekade 40-an, Tien sempat mengikuti les bahasa Jepang. Agaknya ia ingin mengambil kesempatan, mengingat Jepang datang dengan berbagai janji-janji baik.
Bahkan, Tien yang waktu itu tengah beranjak dewasa, sempat bergabung dengan Barisan Pemuda Putri di bawah Fujinkai—Barisan Wanita bentukan tentara Jepang.
Ketika Fujinkai bubar seiring tamatnya masa pendudukan Jepang di Indonesia, Barisan Pemuda Putri tetap tumbuh. Dan saat organisasi yang diikuti Tien berubah menjadi kesatuan bersenjata bernama Laskar Putri Indonesia (LPI) Surakarta, ia menjadi salah satu pelopornya.
Tien, bersama puluhan putri Solo lainnya, ikut berjuang di masa-masa genting perjuangan revolusi mempertahankan kemerdekaan. Ia bersama ratusan perempuan muda lain bergerak di dapur umum dan palang merah untuk menyokong aksi pasukan yang bergerilya melawan tentara sekutu.
Sepak terjang Bu Tien di Laskar Putri Indonesia baru berhenti akhir tahun 1946, ketika pemerintah Indonesia mengambil kebijaksanaan Rasionalisasi Kelaskaran Bersenjata, yang berkonsekuensi pada bubarnya LPI.
Meski sebentar, aksi Tien remaja pada masa-masa itu membuatnya menerima gelar pahlawan pada tahun 1996, beberapa saat setelah dia meninggal.
Raden Ajeng Siti Hartinah, atau yang kita kenal dan sebut sebagai “Ibu Tien”, setahun setelah karier perjuangan kemerdekaannya selesai, pada 26 Desember 1947 dipinang oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Lewat piagam penghargaan bernomor 001/XV/1996, Soeharto menetapkan Bu Tien sebagai seorang pahlawan nasional. Di situ, tertulis bahwa perempuan yang menemani hidupnya selama 49 tahun itu pantas menjadi pahlawan atas “Jasa-jasanya yang sangat luar biasa dan tindak kepahlawannya dalam perjuangan melawan penjajah pemerintah kolonial Belanda pada umumnya.”
Namun begitu, pengaruh Ibu Tien di dunia lebih dari sekadar bekerja di dapur umum seperti diceritakan di atas.
Ibu Tien, seperti kita tahu, memengaruhi kehidupan lelakinya yang menguasai Indonesia selama 32 tahun. Sedari awal, ia terus mendorong Soeharto mewujudkan ambisi-ambisi mereka. Hal tersebut terlihat, setidaknya, dari kesaksian yang diceritakan kembali oleh harian Berita Buana pada 24 Maret 1973.
Alkisah pada tahun 1950, Soeharto hendak berhenti dari kesatuannya. Ia mengaku tak tahan atas fitnah-fitnah yang datang menerpa dirinya, walau tak jelas apa masalahnya. Dan itu cukup serius sampai-sampai membuat Soeharto ingin berhenti dari ketentaraan dan memilih untuk menjadi petani atau sopir taksi.
Ibu Tien lalu angkat suara.
“Saya dulu diambil istri oleh seorang prajurit dan bukan oleh supir taksi. Seorang prajurit harus dapat mengatasi setiap persoalan dengan kepala dingin walaupun hatinya panas,” ujar Bu Tien meyakinkan Soeharto, seperti dikutip dari Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita.
Setelah Soeharto menjadi presiden, mau-tak mau Tien juga jadi penting pula untuk Indonesia. Terlebih, Soeharto sangat mengandalkan keyakinan diri sendiri dan teramat memercayai keluarganya. Hal itu misalnya terlihat pada keputusan Soeharto saat mengambil alih komando Angkatan Darat yang kosong di malam jahanam G30S.
Pada biografi karangan O.G. Roeder berjudul The Smiling General: President Soeharto of Indonesia, Soeharto pernah bersaksi bahwa apa yang dilakukannya—menumpas dan memutuskan PKI adalah dalang G30S—merupakan hasil penilaiannya sendiri.
“Saya bertindak atas keyakinan saya sendiri.”
Ketika Soeharto memimpin, Ibu Tien cukup berpengaruh terhadap lahirnya beberapa kebijakan maupun proyek pemerintah di masa Orde Baru . Hal ini akan diulas pada tulisan yang berbeda.
Posisi dan peran penting Ibu Tien tercermin dari bagaimana sepak terjang dan kehidupan Soeharto setelah Ibu Tien tiada. Tien bagaikan pilar kekuatan terbesar Soeharto selama 49 tahun perkawinan mereka.
Tak hanya menyokong Soeharto dalam kehidupan sehari-hari, Ibu Tien juga kerap menjadi sumber “wahyu” Soeharto, termasuk ketika dia mendesak agar Soeharto tak usah lagi maju sebagai presiden pada tahun 1990-an.
Bersumber dari biografi Soeharto berjudul Pak Harto: The Untold Stories, hal itu terjadi pada sebuah acara Golkar tahun 1996. Saat itu, Ibu Tien berujar pada Mien Sugandhi, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, untuk menyampaikan pesan kepada petinggi Golkar.
Pesan itu berbunyi, “Tolong katakan kepada ... (salah seorang petinggi Golkar), agar Pak Harto jangan menjadi presiden lagi. Sudah cukup, sudah cukup. Beliau sudah tua.”
Orang-orang juga percaya, dengan meninggalnya Ibu Tien, hilang pula sumber kasekten alias kesaktian Soeharto.
Soeharto menemukan beban paling berat yang pernah ia hadapi. Bukan desing peluru, bukan karut-marut politik, bukan pula krisis ekonomi yang melanda negara. Melainkan kehilangan satu-satunya sandaran hati.
Ibu Tien pergi meninggalkan Soeharto berjalan sendirian.