Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pukul 01.00 WIB dini hari, kondisinya benar-benar turun. Denyut nadi melambat meski alat pacu jantung terus bekerja keras. Pagi itu, maut dan alat medis elektronik buatan manusia tengah berduel, di tengah kencang untaian doa sanak saudara.
ADVERTISEMENT
Imam Topik Hidayat sudah tak sadarkan diri sejak hari pertama masuk ke ruang ICU. Namun meski kondisi Imam drop secara drastis, Erlin Triyanti tak pernah benar-benar kehilangan harapan. Istri Imam tersebut berpikir, “Mungkin ini fase naik turun seperti biasanya.”
Dengan keyakinan itu, Erlin memutuskan untuk menyimpan sendiri kabar memburuknya kesehatan Imam. Beberapa petugas dari Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DKPB) Kota Bandung yang ikut berjaga di rumah sakit, tak luput ia paksa untuk tidak mengabari soal kondisi terkini suaminya kepada rekan-rekan yang tengah bertugas.
Pukul 04.30 WIB, dokter Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin meminta persetujuan Erlin untuk menghentikan kerja alat pacu jantung yang sudah dipasang sejak sehari sebelumnya.
“Kasihan jantungnya dipompa terus,” ucap Erlin menirukan ucapan dokter yang berjaga.
ADVERTISEMENT
Dalam diam Erlin tahu, nyawa suaminya sudah tak tertolong. Ia menyetujui saran dokter, dan setengah jam kemudian, Imam meninggal dunia.
Bella Bhakti, rekan Imam dari sesama regu penyelamat Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DKPB) Kota Bandung, dua hari kemudian mengatakan, “Itu nggak dikabari dulu biar temen-temen yang jaga nggak syok. Biar nggak ganggu pas mereka jaga.”
Sepaham itu ia tentang kerja pemadam kebakaran, Erlin memaksa tak memberi tahu rekan-rekan Imam soal kondisi sang suami. Ini agar mereka yang tengah piket di Markas Komando DKPB Kota Bandung tak menjadi tertekan dengan kabar kesehatan suaminya yang terus memburuk.
Sebab: syok, rasa sedih, dan mental tertekan tentu bukanlah komposisi bagus apabila sewaktu-waktu bencana datang dan mereka harus bertugas.
ADVERTISEMENT
Baru, ketika Imam telah benar-benar meninggal dunia pukul 05.00 WIB, dan yakin kompatriot suaminya yang berjaga sudah bangun dan memulai kegiatan, Erlin menyebar kabar duka itu ke seluruh rekan-rekan kerja sang suami.
Tak hanya Erlin, sekali lagi, Kota Bandung kehilangan pahlawannya.
Sebelumnya, Kota Bandung sudah ditinggal Trisna Supriatna, sesama petugas pemadam kebakaran yang kebetulan sahabat dekat Imam Topik. Mereka berdua tengah mendapat giliran tugas ketika api berkobar di sebuah gudang pabrik tekstil CV Sandang Sari, Jalan AH Nasution, Sindanglaya, Arcamanik, Kota Bandung.
Pukul 01.35 WIB, DKPB mendapat laporan api di lokasi kebakaran sudah cukup besar. Tak kurang 17 armada pemadaman dan penyelamatan dikerahkan menuju lokasi.
Pukul 05.00 WIB saat api padam dan petugas melakukan overhaul (pendinginan), malapetaka justru bermula.
ADVERTISEMENT
Patut dipahami, setiap harinya terdapat satu peleton pasukan pemadam dan penyelamat --berisi 45 orang anggota-- yang berjaga. Namun begitu, kebakaran di bangunan seluas 2.000 meter persegi tersebut memaksa puluhan petugas lain yang tengah menikmati libur, harus turut serta dalam operasi pemadaman api.
Kerja berat 4 jam memadamkan kebakaran kelas A yang disebabkan oleh benda padat non-logam macam kain dan karpet tentu menguras stamina para pasukan. Di situlah, pada pukul 05.30 WIB, Trisna dan Imam yang sama-sama menjadi operator armada masing-masing pasukan, masuk ke dalam gedung untuk menyuplai minuman buat petugas yang kelelahan.
Tapi, bahaya mengintai. Meski api padam, bukan berarti bencana sudah minggat sepenuhnya. Struktur bangunan dari beton dan baja telah terpanggang selama berjam-jam, membuatnya rapuh dan sewaktu-waktu bisa roboh tanpa bisa diantisipasi baik.
ADVERTISEMENT
Malang tak dapat ditolak, justru ketika berada di garis depan para pasukan, dinding beton dan rangka atap baja jatuh tepat menimpa keduanya.
“Sempet syok, nggak sangka ada rekan kami yang tertimpa. Setelah kami lihat, cek, betul ada dua orang,” kata Iqbal, anggota regu pemadam yang ikut menggali reruntuhan yang menimpa dua almarhum
Saat dinding dan atap runtuh, Iqbal tengah berada di tempat pengisapan air. Namun, debam dinding runtuh yang keras, ombak debu yang menggulung, dan raungan minta tolong membuatnya bergegas menuju garis terdepan. Di sana, yang tak terbayangkan terjadi.
“Yang satu, Imam Topik, yang sekarang masih kritis, posisinya kepala terlihat. Ada sebagian badan yang tertimpa, tapi kepala enggak. Almarhum memang tertimpa reruntuhan. Posisi kepala di samping baja yang tebal dari bangunan,” ujar Iqbal kepada kumparan, Kamis (14/9).
ADVERTISEMENT
Sementara tubuh Trisna teruruk sepenuhnya, jatuh tertelungkup dalam posisi seperti orang bersujud. Iqbal dan puluhan regu yang semula fokus pada pendinginan, bergegas menggali reruntuhan dan mengevakuasi dua rekan mereka.
“Kondisi Trisna masih ada detak jantungnya, nadinya masih ada waktu saya pegang. Cuma mungkin di rumah sakit Allah berkata lain, sampai saya dapat kabar, almarhum meninggal.”
Saat wawancara dilakukan, Kamis pertengahan bulan ini, Iqbal tak tahu bahwa kurang dari 24 jam setelahnya, Imam juga mengembuskan napas terakhir. Doa bagi keselamatan Imam, yang ia tuntut dari kami saat wawancara usai, pupus sudah.
Mengapa dari sekitar 90-an pemadam yang bertugas di kebakaran Sindangjaya haruslah Trisna Supriatna dan Imam Topik yang gugur, bisa dilihat sebagai satu rangkaian kebetulan yang datang bertubi-tubi.
ADVERTISEMENT
Yang pertama, keduanya adalah sahabat dekat. “Di tempat kerja juga semua orang bilang, ‘Ini bener-bener temen deket,’ ke sana ke sini bareng,” ucap Erlin, menceritakan hubungan kedua almarhum kepada kumparan, Sabtu (16/9).
Yang kedua, keduanya sama-sama operator di masing-masing regu pasukan. “Kalau suami saya kan operator rescue, kalau Kang Trisna operator pemadaman,” kata Erlin.
Operator di sini berarti pengemudi armada pemadam kebakaran. Trisna menjadi pengemudi armada pemadaman, dan Imam sebagai pengemudi armada regu penyelamatan.
Meski begitu, bukan berarti kerja operator pada pemadam kebakaran sebatas mengendarai kendaraan mereka, secepat-cepatnya dari markas komando ke titik bencana terjadi. Seperti namanya, operator, Trisna dan Imam harus paham betul kerja sebuah armada yang amat vital dalam setiap misi pasukan pemadam kebakaran.
ADVERTISEMENT
Selain teknik mengemudi kendaraan besar di belantara kota yang padat agar cepat tiba di lokasi, Trisna dan Imam juga ahli mengoperasikan pengelolaan tekanan air untuk memadamkan api dan penguasaan alat-alat penyelamatan. Dus, ketika keduanya menyuplai minuman untuk pasukan di barisan depan, tak pernah ada standar operasional prosedur (SOP) yang dilanggar.
“Saya kira tidak (ada prosedur yang dilanggar). Semua (petugas) kami lengkapi dengan skill, kemampuan yang komprehensif. Seorang operator bisa juga menjadi seorang pemadam. Seorang pemadam, pada tugas tertentu, bisa melakukan evakuasi. Jadi simpel, kami tidak terisolasi pada bidang tugas,” ucap Ferdi Ligaswara, Kepala DKPB Kota Bandung.
Yang ketiga, Trisna dan Imam sama-sama baru bekerja sebagai pemadam selama 8 bulan terakhir. Keduanya pasukan DKPB yang diangkat sebagai pegawai dalam gelombang yang sama, menjadi bagian dari realisasi janji Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil , dalam “pemenuhan sumber daya yang mengurus masalah harian Kota Bandung”.
ADVERTISEMENT
Mereka sama-sama Pekerja Harian Lepas (PHL), petugas pembantu pemadam yang jerih payah penuh risikonya dibayar hanya dengan upah Rp 10.000 per jam.
Trisna dan Imam bertemu ketika pemerintah Kota Bandung membutuhkan tenaga kerja sebanyak 100 orang sebagai petugas pembantu pemadam kebakaran dan operator unit mobil pemadam kebakaran pada Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Kota Bandung.
Seleksi administrasi, kemampuan fisik, dan psikotes berhasil mereka lalui. Terhitung terlalu tua untuk menjadi pasukan pemadam di baris depan, Trisna dan Imam ditempatkan pada pos operator armada.
“Kebetulan usianya sudah 32 tahun, digeser karena (pasukan damkar dan penyelamat) harus 27. Waktu itu pengemudi (damkar) memang kurang. Pas, karena anak saya itu udah paham bawa mobil-mobil kayak gitu,” ucap Yayat, ayah almarhum Imam Topik.
ADVERTISEMENT
Dari situ, harapan membubung tinggi. Profesi pemadam kebakaran yang penuh risiko masih dinilai lebih baik ketimbang pekerjaan Imam sebelumnya sebagai sopir tanki air bersih, dan pekerjaan Trisna sebelumnya lagi menjadi sales di sebuah perusahaan distributor barang.
Apalagi dengan bumbu kebanggaan dan kesempatan berbakti pada masyarakat, yang bagi keduanya merupakan porsi penting mengapa pekerjaan dengan risiko tinggi macam pemadam kebakaran mereka terima.
“Dia semangat kerjanya. Karena dia itu udah ingin, biar dia nebeng-nebeng sama temen buat kerja karena nggak punya kendaraan, tetep semangat. Jadi nggak ngeluh,” jelas Yayat mengenai anaknya.
Meski begitu, Yayat tak memungkiri Imam pernah beberapa kali meminta tambahan ongkos untuk pulang dari kantornya di Kota Bandung ke Cimahi Tengah, tempat anaknya mengontrak rumah.
ADVERTISEMENT
“Buat sehari-hari masih ada kurang kayaknya. Dapet gaji barangkali juga habis pake bayar kontrakan.” Padahal, biaya kontrak rumahnya tak besar-besar amat, “hanya” Rp 700 ribu per bulan.
Meski demikian, bagi PHL macam Trisna dan Imam, angka Rp 700 ribu adalah sepertiga dari gaji satu bulan. Belum ditambah biaya pengeluaran rumah tangga sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anak mereka.
Paling penting, angka Rp 2,4 juta jelas minim untuk pekerjaan mereka yang berisiko kematian.
Sistem kerja pasukan pemadam kebakaran dan penyelamat di DPKB Kota Bandung tergolong tak biasa. Untuk membagi 200 orang agar terus berjaga tiap hari, siang dan malam, dibuatlah sistem shift khusus.
Keseluruhan pasukan dibagi menjadi tiga peleton, yang masing-masing peletonnya terdiri dari rata-rata 45-60 orang. Misal, pada hari pertama, peleton A berjaga, mulai pukul 08.00 WIB hingga 08.00 WIB di hari selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Hari kedua, peleton B berjaga dari 08.00 WIB hingga 24 jam ke depan. Begitu pula di hari ketiga dengan peleton C, dan hari keempat dengan peleton A. Begitu seterusnya, sepanjang tahun.
Dengan sistem kerja tersebut, setiap pasukan akan bekerja selama 10 hari dalam satu bulan--satu hari masuk selama 24 jam, yang diikuti libur selama dua hari. Selama satu bulan, total pasukan pemadaman dan penyelamatan akan bekerja selama 240 jam.
“Karena klausulnya pegawai harian lepas, sehingga kami mengacu pada peraturan wali kota tentang upah pegawai non-PNS, harian lepas. Jatuhnya 10 ribu per jam. Karena mekanisme kerja di kami 24 jam,” ucap Kurnia Saputra, Kepala Bidang Kesiapsiagaan, Operasi Pemadaman dan Penyelamatan.
ADVERTISEMENT
“Jadi satu hari itu Rp 240 ribu, dan anggota ini sebenarnya kerjanya hanya 10 hari setiap bulannya. Sepuluh hari kali Rp 240 ribu berarti Rp 2,4 juta tiap anggota mendapat penghasilan,” imbuhnya.
Angka Rp 2,4 juta ini tak jauh dari upah minimum regional (UMR) Kota Bandung pada 2016, ketika Ridwan Kamil memutuskan akan menambah tenaga PHL untuk urusan dalam kota.
Pada 2016, UMR Kota Bandung Rp 2,62 juta. Tahun berikutnya, 2017, UMR Kota Bandung naik tipis menjadi Rp 2,84 juta.
Meski UMR, penyamarataan upah pemadam kebakaran dan tenaga-tenaga PHL lain tentu pantas menjadi bahan perdebatan. Dibanding, misalnya, PHL petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang juga menerima UMR, tentu saja PHL pemadam kebakaran menerima risiko kerja jauh lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Padahal asuransi hanya bergantung pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang menyediakan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, dan asuransi kematian --yang dua terakhir tentu saja, kalau bisa, lebih baik dihindari.
Lebih jauh lagi jika membandingkan penerimaan para PHL tersebut dengan mereka yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil di DKPB Kota Bandung. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kurnia Saputra, selain mendapat gaji pokok sesuai Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, pegawai negeri sipil (PNS) di Bandung menerima pendapatan tambahan yang dinamakan Tunjangan Kerja Dinamis (TKD).
“Karena TKD untuk petugas pemadam kebakaran, yang anak buah saya itu, tunjangan di luar gaji pokok sekitar Rp 7,5 juta per bulannya. Semua, yang PNS-nya,” ucap Kurnia.
Pendapatan PHL, dengan beban kerja tak kalah berat, hanya sepertiga dari tunjangan pemadam yang PNS.
Menjadi pemadam kebakaran adalah menjadi dekat dengan Tuhan. Dengan Maut. Dengan Duka. Dengan Luka, Jerih Payah, dan Pengorbanan Diri. Maka, tak heran apabila, yang non-material menjadi tujuan sakral.
ADVERTISEMENT
Karena: apalagi selain konsep ikhlas, sabar, dan janji kehidupan lebih baik setelah mati nanti, yang mampu mendorong pekerja dengan risiko mati untuk puas dengan upah Rp 10.000 per jam?