Sabda Juang Tan Malaka

21 Februari 2017 15:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tan Malaka (ilustrasi). (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
"Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi!"
ADVERTISEMENT
Hari ini, 21 Februari 68 tahun yang lalu, Tan Malaka dijemput maut.
Dan 68 tahun setelah hari kematiannya, janji yang ia pekikkan benar adanya: suaranya jauh lebih keras daripada ketika ia masih sehat berada.
Karyanya terjaga, ramai menyebar, dan tak berhenti diedarkan.
Kita tak lagi jarang melihat buku-buku karyanya seperti Semangat Muda, Aksi Massa, Madilog, Gerpolek, sampai Dari Penjara ke Penjara.
Dari beberapa karyanya itu, kita dapat membayangkan hambatan apa yang harus ia hadapi pada masanya hidup.
Tan sudah bersuara, mari kita dengarkan!
Madilog
Tan Malaka Madilog (Foto: Teplok Press)
Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin.”
Madilog diselesaikan Tan tahun 1943, saat ia kembali ke Indonesia usai Belanda dikalahkan oleh pasukan Nippon.
ADVERTISEMENT
Madilog --berarti Materialisme, Dialektika, dan Logika-- ia ciptakan sebagai kritik atas kebiasaan dan watak pemikiran masyarakat Indonesia yang ia sebut kolot.
Buku tersebut ia kerjakan selama 8 bulan, dari 15 Juli 1942 hingga 30 Maret 1943. Ia membikin Madilog dengan tujuan menyediakan kaum proletar Indonesia sebuah landasan berpikir, untuk dapat mencapai pencerahan, untuk meninggalkan kebuntuan logika mistika, untuk meninggalkan keadaan yang “...masih tebal diselimuti ilmu buat akhirat dan tahayul campur aduk.”
ADVERTISEMENT
Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.
Aksi Massa
Tan Malaka Aksi Massa (Foto: Teplok Press)
Akuilah dengan yang putih bersih, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka memenuhi kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat.”
Tak perlu menjadi yang lain. Yang lain bisa dipelajari, benar. Tapi yang dipelajari adalah ilmu. Kita tak usah menjadi mereka.
Agaknya itu yang Tan maksudkan dalam buku Aksi Massa yang ia selesaikan Januari 1926. Ia mendedah perjalanan sejarah Indonesia dari awal, memulai narasi cerita kebangsaan Indonesia lewat enam bab, dari Pengaruh Hindu hingga zaman Diponegoro.
ADVERTISEMENT
Ia kritis terhadap mereka, salah satunya dengan melihat bahwa aksi Diponegoro yang diterima luas sebagai aksi putus asa seorang kontrarevolusioner yang terdesak kekuasaan baru.
Diponegoro menunjang kesuburan modal serta perluasan jalan. Karena itu, ia menghalang-halangi kenaikan penghasilan atau secara ekonomi, kontrarevolusioner. Tak pernah kita baca bahwa ia menentang kapital-imperialistis dengan menghidupkan kapital nasional. Pendeknya, ia tidak mempunyai program politik atau ekonomi. Ia merasa didesak oleh kekuasaan baru dan setelah dia lihat bahwa kekuasaan baru itu mempergunakan kekuasaan Mataram yang bobrok itu sebagai alat, maka kedua musuh (Mataram dan Kumpeni) itu pun diterjangnya.”
ADVERTISEMENT
Tan lanjut menerangkan keadaan Indonesia pada saat itu. Ia menggolongkan imperialisme yang tengah dialami Indonesia, bagaimana bedanya dengan negara-negara Asia lain layaknya India dan Filipina, kondisi terkini soal keadaan real sosial-politik di Indonesia, dilanjutkan dengan kemungkinan modal, cara, dan sifat revolusi yang bisa dikejar oleh masyarakat Indonesia.
Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim. Ia juga didorong oleh kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menindas dan menghina mereka.”
Gerpolek
Tan Malaka Gerpolek (Foto: Penerbit Djambatan)
Sudah kepinggir kita terdesak!
Begitulah Tan mengawali karya 96 halamannya tersebut.
Ia mengkritik. Ia geram dengan dua tahun kemerdekaan Indonesia yang habis di meja runding. Tak ke mana-mana.
Upaya-upaya diplomasi Indonesia dianggap Tan hanya berakhir pada pecah-belahnya rakyat Indonesia sendiri.
ADVERTISEMENT
SATU TENTARA TERPISAH DARI RAKYAT UNTUK MENINDAS RAKYAT ITU SENDIRI, ia cetak tebal-tebal. Terpisah-pisah. Itulah singkatnya yang Tan lihat dari dua tahun kemerdekaan Indonesia.
Kerugian-kerugian yang dialami bangsa membuatnya menyimpulkan satu: rakyat harus turun berperang untuk menyita dan merebut kembali hasil tanah dan tenaga murba Indonesia setelah 350 tahun.
Tetapi, jika pemerintah Indonesia kembali dipegang oleh kaki tangan kapitalis asing walaupun bangsa Indonesia sendiri, dan 100 persen perusahaan modern berada ditangan kapitalis asing, seperti di zaman 'Hindia Belanda' maka Revolusi Nasional itu berarti membatalkan Proklamasi dan kemerdekaan Nasional dan mengembalikan kapitalisme dan imperialisme internasional.”
ADVERTISEMENT
Dari Penjara ke Penjara
Tan Malaka Dari Penjara ke Penjara
Sudah tentu pekerjaan mendidik anak-anak Indonesia tetap saya anggap pekerjaan yang tersuci dan terpenting di masa itu dan sekarang.
Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, tiga buku seri yang dikumpulkan dari tulisan-tulisan Tan yang terpisah itu tak ragu ia tuliskan dengan daya yang mengalir dan mendayu. Meski demikian, tetap saja condong pikir Tan dapat terbaca dari tiga bukunya tersebut.
Di Dari Penjara ke Penjara I, Tan banyak berbicara mengenai betapa pendidikan sangatlah penting bagi masyarakat.
Ucapannya bahwa “Tujuan kami bukan mendidik murid menjadi juru tulis seperti sekolah gupernemen. Melainkan, selain untuk mencari nafkah diri sendiri dan keluarga, juga untuk membantu rakyat dalam pergerakannya,” selaras dengan sabdanya di Madilog, “Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin.
ADVERTISEMENT
Lain daripada itu, sepeduli-pedulinya Tan dengan bangku pendidikan, yang ia pentingkan bukan simbol semata. Ia berkata, “Perkara ijazah itu menjadi perkara yang kedua, yang terpenting ialah perkara bisa.
Serta, satu hal yang terus membuat Tan melangkah, meski terus “terbentur, terbentur, terbentur,” sebelum “terbentuk,” adalah bahwa “Kebenaran, akhirnya harus saya tegakkan.”
Lihat jejak Tan Malaka di sini